Travel
Pesona Kota Tua dan Desert Safari Dubai

16 Apr 2016


Selain bisa berwisata belanja dan memeluk penguin, Dubai memiliki banyak pesona lain. Femina berkesempatan mencicipi hal-hal menarik dari Dubai atas undangan Dubai Tourism Board. 
 

Foto: IA

Pesona Kota Tua
Burj Khalifa boleh jadi ikon Kota Dubai yang modern. Berada di lantai 148 gedung tertinggi ini adalah pengalaman yang tak mungkin saya lupakan. Begitu pula ketika saya menginjakkan kaki di Burj al Arab, hotel berlabel bintang tujuh yang membuat dunia menoleh pada Dubai. Tapi, jujur saja, ketika mengunjungi kawasan Burj Dubai, saya malah sangat terkesan dengan bangunan-bangunan lawas yang seakan membawa saya ke zaman yang berbeda. Inilah sisi tua Dubai. Sama halnya dengan jajaran kapal tradisional yang parkir di tepi sungai dengan segala aktivitasnya.

Menarik, saya menemukan ‘surga’ di Spice Souk (pasar rempah) yang berlokasi di kawasan Deira. Aneka macam rempah-rempahan yang selama ini hanya saya lihat saat browsing di internet, kini melimpah di hadapan saya. Mulai dari aneka ragam rempah bubuk hingga saffron berkualitas.

Melangkahkan kaki ke salah satu toko yang ada di pasar ini, saya langsung menangkap aroma kopi yang jelas tercium. Tak hanya kopi, toko ini juga menjual teh dengan berbagai aroma, hingga tisane dari berbagai macam bunga. Begitu pula dengan daun zaitun yang bisa menjadi buah tangan yang unik. Beragam rupa kurma juga tersedia. Hampir semua toko menjajakan barang yang sama. Jika ingin membeli, harus jeli memilih toko sekaligus mengasah kemampuan menawar harga.

Bersebelahan dengan Spice Souk, ada Gold Souk (pasar emas). Salah satu toko di pasar emas ini, yang memajang cincin terbesar di dunia versi Guinnes Book of Record, tampak ramai dikunjungi wisatawan. Bagi orang Indonesia yang berkunjung ke Dubai dan senang berinvestasi emas, perhiasan di pasar ini menjadi incaran karena konon  kualitas emas di sini lebih baik daripada emas di tanah air.


Foto: IA
 
Makan Siang Berbudaya
Tepat di seberang Spice Souk, menyeberangi sungai dengan kapal tradisional dan dilanjutkan dengan mengendarai mobil, tibalah kami di Al Bastakiya Historical Area. Memasuki kawasan tertua di Dubai ini kita seperti dibawa menembus gerbang waktu menuju ratusan tahun silam.

Tujuan kami adalah menikmati hidangan makan siang di Sheikh Mohammed Centre for Cultural Understanding (SMCCU) yang terletak di kawasan ini. SMCCU menempati rumah tradisional yang dibangun dari batu bata dan batu koral. Sebuah aula kecil dengan lantai berlapis karpet dan bantal-bantal di lantai menyambut kehadiran kami sekaligus menjadi tempat perjamuan siang itu. Di dalam ruangan, udaranya terasa lebih dingin. Rata-rata rumah di kawasan ini memang dibangun berbentuk menara angin yang membuat suhu ruangan terasa lebih adem daripada di luar.

Makan siang kali ini memang bukan makan siang biasa, karena bagian dari program Cultural Meals. Program ini merupakan sebuah wadah bincang-bincang dalam balutan suasana santai makan bersama di rumah penduduk lokal. Adalah Yang Mulia Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Wakil Presiden dan Perdana Menteri UAE sekaligus Pemimpin Dubai, yang menggagas program ini karena merasa perlu menjembatani budaya lokal dengan budaya asing. “Jadi, siapa saja boleh bertanya apa pun tentang UAE di sini,” sahut Dahlia, tuan rumah makan siang hari itu, dalam bahasa Inggris yang fasih.

Ditemani secangkir kopi dan camilan kurma, obrolan santai dengan berbagai pertanyaan pun mulai terlontar dan dijawab Dahlia dengan bahasa yang sangat baik dan logika yang realistis. Di tengah perbincangan seru, makan siang pun tersaji. Obrolan tetap berlanjut sembari kami menikmati machoos (nasi rempah khas Arab) lengkap dengan lauk-pauknya, dan hidangan pencuci mulut.


Foto: IA
 
Desert Safari
Mobil SUV yang kami tumpangi melaju kencang menuju pinggiran Kota Dubai. Tujuannya tentu saja ke Dubai Desert Conservation Reserve untuk menjelajah gurun pasir. Dari cerita teman yang sudah pernah mengikuti desert safari membuat saya penasaran dengan atraksi menantang menaiki mobil yang berlari kencang hingga seakan melayang di atas gurun pasir.

Tiga puluh menit perjalanan, kami tiba di gerbang konservasi seluas 225 km2. Arif dan Ibrahim, pemandu dari Platinum Haritage (salah satu operator wisata premium), meminta rombongan kami untuk turun dari mobil. Kami pun disambut jajaran mobil klasik Land Rover tahun 1950 beratap terbuka. Tinggal pilih mau naik yang mana. Tapi, sebelum melayang di atas pasir, Ibrahim mendandani saya dengan sorban merah khas Timur Tengah. Mobil Land Rover berwarna baby blue yang kami tumpangi dipacu dengan tidak terlalu kencang, tanpa guncangan berarti. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya gundukan pasir. Embusan anginnya bersahabat, sehingga tak sampai membuat mata perih karena pasir halus yang beterbangan.

Batas cakrawala menyatu dengan padang pasir yang menjadi rumah bagi tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi. Celotehan Ibrahim mengenai kijang putih, tanaman gurun, dan kehidupan suku Bedouin, penduduk gurun, mengiringi perjalanan membelah gurun. Saat kijang memperlihatkan sosoknya, Ibrahim menghentikan mobil supaya kami bisa lebih jelas melihatnya.

Di satu tempat di padang pasir, mobil berhenti. Kami diberi kesempatan untuk menikmati pasir yang ternyata terasa halus. Uniknya, meski matahari sangat panas, suhu pasir justru dingin, sehingga nyaman berjalan tanpa alas kaki. Kesempatan langka ini pun tak kami sia-siakan.

Puas bermain pasir dan berfoto, kami lalu bergegas untuk menyaksikan pertunjukan elang. Karpet Persia merah menyambut dengan bantal-bantal di atasnya. Setelah duduk, kami disuguhi jus anggur dingin bersoda dalam gelas champage sebagai penyegar. Di hadapan kami ada seorang wanita yang berdiri dengan seekor elang bertengger di tangan kirinya. Dengan latar belakang matahari yang mulai terbenam, wanita yang ternyata seorang pelatih elang itu menyapa dan bercerita tentang elang yang hadir bersamanya. Ia kemudian memperlihatkan kebolehan elang dalam berburu mangsa. Mengibaratkan bagaimana dahulu kala suku Bedouin berburu bersama binatang peliharaannya ini. Di akhir aksinya, kami diperbolehkan memegang dan mengangkat si elang.

Saat matahari terbenam Ibrahim mengantar kami ke kamp khas Timur Tengah yang cantik. Terdiri dari dua buah tenda, panggung kecil di bagian tengah, dan karpet luas lengkap dengan bantal shisha, kamp tersebut terlihat terlalu besar untuk rombongan kami yang hanya terdiri dari 12 orang. Sambil mengobrol dan menanti hidangan makan malam, kami disuguhi kopi dan buah kurma. “Seperti inilah kehidupan suku Bedouin,” ujar Ibrahim.

Makan malam pun terhidang, diawali dengan roti khas suku gurun dan sup. Berlanjut dengan nasi biryani dengan sayuran, lauk kambing dan ayam yang dimasak dalam tungku yang dipendam di bawah tanah, hingga  makanan vegetarian. Sebagai penutup tentu saja ada Arabian donut, kue manis yang mirip seperti donat, dessert khas Timur Tengah. Malam pun ditutup dengan mengisap shisha di bawah langit bertabur bintang. (f)


Topic

#WisataDubai