Foto: Dok. Tempo
Dunia kesehatan dan intelektual Indonesia kembali kehilangan tokohnya. Dr. Kartono Mohamad berpulang pada Selasa sore 28 April 2020. Beritanya cepat beredar di kalangan wartawan karena beliau juga memang dekat dengan dunia pers semasa hidupnya, termasuk dengan Femina. Kabar ini dikonfirmasi oleh dr Halik Malik dari PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia), yang menyebut dr Kartono Mohamad wafat setelah menjalani perawatan di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan. Almarhum dirawat karena ada riwayat penyakit stroke dan sempat bolak balik ke rumah sakit menjalani perawatan. Sebelum tutup usia, Ketua Umum IDI, dr Daeng Fakih dan para pengurus IDI sempat menjenguk Almarhum di rumah sakit.
“Meski Kartono negatif Covid-19, kami mentaati protokol jaga jarak. Kami yakin Almarhum juga akan menghargai itu,” kata Hatma Wigati, istri almarhum didampingi budayawan dan wartawan senior Goenawan Mohamad, adik Almarhum. Taat pada protokol pemakaman di tengah pandemik virus corona, pemakaman Almarhum hanya dihadiri keluarga dekat.
Lahir di Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939, dokter angkatan laut dengan pangkat terakhir Mayor yang pernah menjadi Ketua IDI periode 1985-1988, ini merupakan ‘bidan’ kelahiran Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEKI). Anggota majelis penting ini adalah para dokter dari berbagai angkatan, berlatar belakang berbagai agama, budaya, etnis, dan keahlian.
Kartono juga mendirikan Badan Pembelaan Anggota PB IDI. Sehingga setiap dokter yang menghadapi masalah etika kedokteran bisa mendapat pendampingan. Ia juga menggagas lembaga pengaduan IDI untuk menampung aspirasi keluhan pasien yang masuk ke organisasi. Di masa kepemimpinannya, PB IDI berani membuka suara lebar untuk mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru dalam bidang kesehatan.
Ia juga pendiri dan pemimpin majalah kedokteran Medika dan aktif menulis kolom (tak cuma soal-soal menyangkut dunia kedokteran). Aktif di berbagai gerakan dan kampanye kesehatan masyarakat. Misalnya saja, di Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) dengan posisi terakhir sebagai Ketua Dewan Penasehat. Selain itu menjadi penasihat di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, pengurus Yayasan AIDS, ikut aktif dalam Koalisi untuk Indonesia Sehat, pengurus Bina Antar Budaya dan sebagainya.
Sebagai dokter cita-citanya sangat tinggi dalam meningkatkan kualitas kesehatan dalam masyarakat. Ia ingin ada perlindungan kepada masyarakat sejak dalam kandungan hingga tua (healthy people in every stage of life) serta memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat di mana pun berada (healthy people in healthy places). Sama seperti yang juga diperjuangkan pemerintah Amerika Serikat. ”Puskesmas dulu tujuannya mulia untuk melindungi kesehatan masyarakat, tapi sekarang bergeser menjadi tempat pengobatan,” kritik Kartono Mohamad, seperti dikutip dari KOMPAS (26/6/2009).
Di keluarga besar femina, Almarhum dr. Kartono Mohamad akrab disapa sebagai Mas Ton. Almarhum tak pernah tercatat resmi sebagai ‘orang femina’, tapi rasanya tak ada ‘orang femina’ tak kenal Mas Ton. Terutama tim femina di era 80an – 90an. Tiap kali mampir ke meja redaksi, Mas Ton selalu dikerumuni, khususnya oleh teman-teman jurnalis kesehatan yang digawangi Noesreni S, Meliala.
Beliau adalah konsultan ahli untuk rubrik Tanya Jawab Kesehatan dalam jangka waktu yang sangat lama dari era 70an hingga era 90an. Boleh percaya boleh tidak, banyak artikel-artikel kesehatan tampil di femina, dari awal berdiri hingga era 90an, sedikit banyak ada campur tangan dan konfirmasi akurasi data dari almarhum. Dapat dikatakan gaya tulisan kesehatan Femina yang bertahan hingga saat ini juga turut dibentuknya.
“Dr Kartono itu menulis artikel kesehatan di Femina, dan di Kompas. Gaya nulisnya kita suka karena ilmah populer , bukan seperti tulisan jurnal kesehatan. Dia pernah dicibir sesama dokter karena menulis dengan gaya begitu. Tapi Kartono jalan terus karena di Amerika dan Eropa, majalah wanita menulis dengan gaya ini juga. Akurat tapi mudah dipahami awam. Dia tidak menakut-nakuti pembaca. Itu yang paling saya suka,” cerita Widarti Gunawan, salah satu pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Femina.
Dr Kartono Mohamad juga tercatat menjadi konsultan menjelang terbitnya Majalah MensHealth Indonesia dan WomensHealth Indonesia, dua majalah franchise yang pernah diterbitkan grup Femina di era 2000an. Kedua majalah ini kental konten kesehatannya dengan pendekatan populer dalam bungkus gaya hidup. Dr Kartono menjadi figure yang pas mendampingi saat itu.
Walaupun secara pribadi saya tidak begitu mengenal dekat Mas Ton, tapi saya mengenal sangat dekat buah pikirannya. Selalu saya baca kolom-kolomnya di berbagai media. Kolom-kolom dengan artikulasi menarik, enak dibaca dan tak bikin kening berkerut. Tak melulu ihwal kesehatan, tapi juga kolom ihwal etik dan moral, pembangunan sosial, bahkan kemiliteran. Pemikiran dan minatnya sangat luas, kritis dan tajam. Tidak berlebihan jika dikatakan dunia intelektual Indonesia kehilangan salah satu putera terbaiknya.
Selamat jalan, Mas Ton. (f)
Penulis : Heryus Saputra Samhudi
Baca Juga:
Pandemi COVID-19 Menyebabkan Banyak Orang Sulit Tidur, Berikut Cara Mengatasi Insomnia Saat Di Rumah Saja
Imunitas Tubuh Selama Puasa dan Risiko Terjangkit COVID19
3 Temuan Baru Tentang Gejala COVID-19
Topic
#obituary