Profile
Prof. Dr-Eng. Eniya Listiani Dewi, B.Eng., M.Eng Profesor Energi yang Senang Lobbying

14 Apr 2020

Foto: Do. Femina


Saat mengunjungi kantor Prof. Dr-Eng. Eniya Listiani Dewi, B.Eng., M.Eng (45) yang akrab disapa Prof. Eniya ini di Gedung BPPT, Jakarta, femina dikejutkan dengan jajaran penghargaan yang menghias dinding dan bufet panjang. “Penghargaan saya sampai sekarang ini jumlahnya sekitar 31,” ungkap Prof. Eniya, menjawab pertanyaan femina yang terkagum-kagum melihat jajaran penghargaan miliknya. 

Menjadi seorang peneliti dengan puluhan penghargaan dan ratusan jurnal, seperti yang telah ia capai saat ini, bukanlah perjalanan yang mudah. “Memang harus termotivasi dan memiliki target. Buat saya, mendapatkan penghargaan  tiap tahun dan menghasilkan jurnal itu adalah target sebagai seorang profesor yang saya tularkan kepada seluruh anggota tim peneliti saya,” ungkap wanita yang berhasil menyelesaikan kuliah doktoral Science Engineering pada usia 28 tahun ini, santai.

Kembali ke Indonesia pada tahun 2003, setelah menyelesaikan kuliah S-1 hingga S-3 di bidang science engineering selama sembilan tahun di Universitas Waseda, Tokyo, Jepang, Prof. Eniya mengaku harus banyak beradaptasi dengan lingkungan kerjanya di BPPT. “Selama berada di laboratorium Waseda, semua fasilitas lengkap dan memudahkan saya bekerja. Ketika kembali ke Jakarta, saya menemukan keterbatasan mulai dari fasilitas laboratorium hingga sistem kerja,” katanya.

Namun, wanita kelahiran Magelang, 14 Juni 1974, ini tak ingin keterbatasan tersebut menjadi penghalang. Ia tak mau melambatkan ritme kerjanya dan mencari solusi untuk  tiap hambatan yang ia temui dalam bekerja. Alhasil, kemampuannya untuk melobi banyak pihak justru kian terasah. “Kalau mau proyek atau penelitian saya berjalan, artinya tidak bisa saya sendiri. Saya harus bisa bekerja sama dengan pihak ketiga, yang bisa memenuhi kebutuhan penelitian saya,” jelasnya.

Misalnya, ketika ia harus keluar masuk laboratorium kampus-kampus besar di Indonesia untuk menemukan orang yang mau membuatkan lempengan membran yang menjadi bagian dari fuel cell ciptaannya. “Banyak laboratorium yang menolak, karena mereka takut justru akan merusak peralatan yang mereka miliki. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang pemilik bengkel di Yogyakarta. Setelah mengobrol, ternyata dia justru tertantang untuk membuat pesanan saya dan berhasil. Jadi, memang butuh orang-orang yang sedikit ‘gila’,” katanya.

Berkat ini pula, ia berhasil menyelesaikan proyek fuel cell-nya yang kemudian dipakai sebagai penghasil energi listrik untuk berbagai kebutuhan. Fuel cell ciptaannya bahkan dipakai oleh BTS-BTS milik provider seluler sebagai pengganti genset. “Walaupun fuel cell ini harganya bisa tiga kali lipat dari genset, biaya maintenance-nya sangat murah dan menjadi solusi bagi provider seluler yang merugi akibat genset di BTS kerap dicuri orang. Dalam sebulan mereka bisa mengurangi kerugian hingga Rp3 miliar,” katanya. Khusus untuk proyek ini, Prof. Eniya bekerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat untuk memproduksi alat yang mampu menghasilkan listrik 5 kilowatt.

Fuel cell ciptaannya yang kemudian dikembangkan menjadi berbagai produk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia ini tak lepas dari penelitian panjang yang ia lakukan sejak tahun 2003. Kala itu, secara tak sengaja ia menemukan katalis --satu-satunya di dunia-- yang mampu mentransfer hingga 10 elektron. “Katalis yang sudah ada sebelumnya hanya mampu mengantar 2 elektron,” jelasnya. Temuan tersebut mengantar Prof. Eniya menerima penghargaan Mizuno Award dari Waseda University, Jepang pada tahun 2003.

Penemuan lain Prof. Eniya yang patut diapresiasi adalah membran sel bahan bakar menggunakan material lokal yang diberi nama Thamrion atau Thamrin-Ion. Nama tersebut diberikan karena membran ini ia temukan di Jl. Thamrin, tempatnya bekerja. Thamrion adalah plastik super tipis yang mampu mereaksikan hidrogen menjadi listrik. Temuan ini membuat BPPT tak kalah bersaing dengan Jepang dan Amerika Serikat dalam menghasilkan alat transportasi berbasis bahan bakar hidrogen.

Berkat penemuannya dalam fuel cell ini pula yang mengantarkan ia menerima dua penghargaan bergengsi dari mantan presiden RI Prof. Dr. Ing. Bj. Habibie. Yaitu Habibie Award Implementation of Science and Engineering dari The Habibie Center (2010) karena menemukan plastik yang bisa mengalirkan elektron dan BJ Habibie Teknologi Award Bidang Teknologi Energi (2018) berkat keberhasilannya dalam membuat prototype fuel cell serta penguasaan di bidang engineering dan penulisan jurnal. Sampai saat ini, ia masih menjadi peneliti termuda yang menerima penghargaan Habibie Award Implementation of Science and Engineering. Selain itu ia juga mendapatkan penghargaan Satyalancana Wira Karya tahun 2016 dari pemerintah.

Semua pencapaian tersebut menurut Prof. Eniya tak lepas dari dukungan dan nasehat Profesor-nya saat berada di kampus Waseda. “Profesor saya ini orangnya unik. Waktu saya lulus doktoral, dia bilang ini baru step pertama. Setelah belajar dan masuk ke dunia kerja, semua akan diukur dalam 10 tahun. Dia bilang, ‘Laporkan ke saya, pencapaian kamu dalam 10 tahun. Kamu bisa jadi profesor tidak’,” katanya yang juga menciptakan sepeda motor hidrogen.

“Mendengar itu saya hanya tertawa. Tapi apa yang profesor saya sampaikan itu seperti menjadi target buat saya, membuat saya menerima segala tantangan-tantangan dan ingin menciptakan sesuatu,” katanya. Ia pun menunjukkan keberhasilannya kepada sang Profesor ketika dalam 10 tahun bekerja di BPPT sebagai peneliti, ia mampu mencapai predikat profesor peneliti di usia 38 tahun. Posisi tertinggi dalam jenjang karier fungsional sebagai peneliti di BPPT.  


Baca Selanjutnya: Wanita di Bidang STEM 


Faunda Liswijayanti


Topic

#profil, #peneliti, #feminawomen, #womeninstem