
Wanita kelahiran Jakarta, 10 September 1980, ini menuntaskan studi sarjananya dengan mengambil bidang Media dan Literatur di Universitas Swinburne, Melbourne, Australia. Ia lebih dahulu menggeluti dunia penulisan daripada film. Wanita pengagum sineas Stanley Kubrick, Michael Haneke, Abbas Kiarostami, dan Hirokazu Kore-eda ini bahkan mengaku bukan orang yang selalu mengejar tayangan film terbaru di bioskop.
Persinggungannya dengan dunia film terjadi saat ia membuat proyek film sebagai bagian dari tugas kuliah. Baru saat menuntaskan gelar master, ia memperdalam passion barunya di bidang film dan pertelevisian dari Universitas Bond, Queensland.
Ia berhasil menemukan chemistry antara dunia menulis dan film, yang sejatinya merupakan bentuk visual dari tulisan. Dua film pertamanya, Fiksi dan What They Don’t Talk About When They Talk About Love, ditulis dan disutradarai sendiri olehnya.
Adakah kelebihan jika kedua peran ini, penulis skrip dan sutradara, diambil sekaligus dalam pembuatan sebuah film?
Mouly: Kelebihannya mungkin adalah sebuah kontrol kreatif yang cukup menyeluruh. Sebagai penulis, saya menuliskan sebuah fondasi untuk nanti saya visualkan. Ketika saya menyutradarai, saya menulis ulang, terkadang juga mengoreksi cerita tadi dengan gambar.
Saya sangat memisahkan kedua peran ini. Ketika menulis, saya tidak membayangkan saya yang akan menyutradarai, dan ketika menyutradarai, saya melupakan bahwa saya sendiri yang menulis. Dengan cara ini, saya bisa selalu menantang ulang ide awal saya. Saya orang yang senang observasi dan membaca. Dari dua kegiatan inilah ide-ide segar mengalir.
Apa yang membuat Anda tertarik terjun ke film?
Mouly: Menurut saya, profesi ini lebih cocok disebut sebuah panggilan daripada sebuah ketertarikan. Saya berkarier di sini dan terus berkarier di sini karena di filmlah saya merasa bisa. Saya bukan ‘jack of all trades’, alias orang yang bagus dalam segala hal. Saya tidak pandai berolahraga, tidak pandai mengatur uang, apalagi hal-hal yang butuh keterampilan tangan. Saya hanya bisa membuat film, tidak ada opsi lain!
Pernah merasa gagal?
Mouly: Pastinya pernah. Ketika menggarap Fiksi. Film ini tidak begitu laku di bioskop Indonesia. Bahkan, menghilang dalam hitungan hari dari peredaran bioskop. Jujur, saya agak shock. Memang bukan film yang mudah dinikmati. Saat itu saya belum mengenal ragam penonton di sini.
Namun, beberapa bulan kemudian film Fiksi menang piala Citra (untuk kategori Film, Sutradara, dan Skenario Terbaik) dan berhasil masuk ke berbagai festival film internasional. Ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah: ‘When one door closes, another one opens’.
Genre film apa yang Anda sukai? Mouly: Sebagai pembuat film, saya menonton hampir semua genre film. Saya tidak membeda-bedakan genre. Dua kategori yang saya anut sekarang hanyalah bagus dan jelek. Namun, ketika saya memosisikan diri sebagai penonton awam, saya suka genre film perang dan drama. Saat ini saya sedang terinspirasi oleh film Killing of a Sacred Deer dan 120 Battlements per Minute (BPM).
Selanjutnya: WANITA MULTIDIMENSIONAL
Topic
#wanitahebat, #moulysurya, #sutradara, #film, #filmindonesia