
Foto: TN, VL, dok. Jumaliana
Tak banyak yang tahan banting melakoni profesi food stylist untuk kebutuhan television commercial (TVC). Ada perlakuan berbeda untuk produk yang bergerak dibanding still image. Efek keju burger yang meleleh, minuman yang menyembur kencang, serta serat ayam yang berasap dan memperlihatkan serat sempurna ketika disobek. Atau mi instan yang mengilap dalam sekian jam syuting atau dua saus yang saling menyatu dalam satu kolam saus besar. Belum lagi kompromi dengan model yang belum tentu sempurna dalam sekali take! Semua ini bisa membutuhkan hingga ratusan mock up.
Di antara sekian banyak stylist asing, hanya ada sedikit pelaku lokal yang diperhitungkan di industri ini, Juma salah satunya. Beruntung femina bisa menemuinya setelah tiga media lain menyerah dengan jadwalnya yang padat!
Bagaimana Anda memulai karier?
Saya menjadi redaktur di sebuah majalah makanan selama 6 tahun, bersama-sama Puji Purnama, food stylist ternama, yang dulu pernah bekerja di Femina Group. Karena permintaan job di luar membeludak, sementara saya belum bisa meninggalkan tim redaksi, saya menyepakati masuk hanya sekian hari dalam seminggu. Saya akhirnya memutuskan mundur karena merasa tak adil jika fokus saya tak sepenuhnya di kantor.
Bagaimana akhirnya bisa terjun ke produksi TVC?
Mungkin karena keberuntungan. Stylist Australia kepercayaan sebuah restoran ayam goreng cepat saji enggan syuting karena situasi Mei 1998. Ketika ditawari advertising agency, saya menginformasikan bahwa saya tak berpengalaman menangani TVC. Paling banter di print ad. Untungnya produser kala itu sabar.
Apakah tantangan di lapangan sesuai ekspektasi?
Persiapan beauty shot sebuah chicken burger itu di luar dugaan. Satu contoh, ada 200-an bun (roti burger) yang akhirnya dibutuhkan, sementara saya cuma pesan setengahnya. Bun susulan tentu tak bisa datang cepat. Kalau sudah begini, semua telunjuk dan emosi mengarah ke stylist. Di situ saya ‘berdarah-darah’, mempelajari produk agar mencapai efek yang dibutuhkan.
Mental rupanya penting selain pemahaman styling. Benarkah?
Agency selalu bertanya, mengapa nyaris tidak ada profesional lokal yang mau menerima job TVC, ketika di lain sisi tenaga asing berlomba merajai bidang ini. Alasannya, besar kemungkinan karena banyak stylist belum siap melepas ego dan menekan idealisme untuk memenuhi kebutuhan klien. Suasana syuting sangat keras dan didominasi pria. Saya pernah membuat telur mata sapi sempurna dikelilingi 10 kru yang berkacak pinggang.
Apakah kru di lokasi selalu ‘bertaring’?
Ya, karena letih. Kita harus siap dicaci-maki jika tak mencapai speed dan food effect tertentu. Ini yang banyak stylist enggak terima. Banyak orang baru mau kerja kalau kondisinya nyaman. Apalagi wanita, jika hati tertoreh, akan setengah hati bekerja. Saya baru bisa tahan mental di lima tahun pertama. Menangis di lokasi karena saya cewek? No way. Saya baru nangis di rumah, ha... ha... ha…!
Bisa gambarkan persiapan syuting?
Ada tim pencari alat, tim bahan, dan tim produksi (di hari-H). Tim bahan misalnya, sudah tahu kebun atau supplier mana yang menjual cabai yang masih ada daunnya. Awal-awal dulu, saya pernah syuting dalam suasana gelap gulita di pantai dengan penerangan lampu mobil karena tim genset sudah meninggalkan lokasi! Tim alat belajar dari pengalaman, memastikan adanya tenda, meja-meja, chiller, freezer, keran air, dan penerangan di lokasi.
Memangnya tak ada buku panduan food styling?
Efek yang diinginkan pada produk makanan selalu beda, sehingga ilmu ‘MacGyver-nya’ selalu baru dan dicari sendiri. Ilmu tak beredar karena masih banyak stylist merahasiakan trik. Ketika syuting di luar negeri, kru bingung karena tim saya bekerja tanpa partisi, tak seperti stylist lain. Mungkin karena orang Indonesia filosofinya: ‘rezeki enggak ke mana’, ha... ha... ha...!
Menata makanan di TVC tak semudah yang dikira?
Banyak yang sulit, seperti sup dalam mangkuk bening, es krim, dan pizza. Burger patty misalnya, harus dibuat sehari sebelumnya, dibekukan sekian kali dalam temperatur terkendali. Ada stylist baru yang salah kaprah membuatnya di hari-H, sehingga juice daging ‘keluar’ dan tak memperhitungkan tingkat susut daging setelah masak. Nyatanya, jika director ingin ketebalan patty naik 30%, ada ukuran presisi untuk ketebalan daging mentah. Terkesan mudah bagi yang tak paham, tapi sebaliknya, sulit bagi yang memahami.
Stylist tak bisa digantikan di lokasi, berbeda dengan kru pendukung. Berapa lama Anda sanggup kerja tanpa tidur?
Dulu pernah syuting selama 5x24 jam untuk mi instan. Kini hanya mampu 2x24 jam. Saya cuma cerewet pilih sopir, yakni bisa nyetir pelan karena saya cuma sempat merem di mobil. Production house berpengalaman umumnya bisa mengatur timeline sehingga stylist tak harus hadir subuh sesuai crew call, padahal syuting makanannya malam. Tapi, ada kala saya harus stand by karena klien ingin melihat siapa stylist-nya dan ingin cek mock up.
Anda sudah syuting di mancanegara. Bedanya?
Equipment dan utility sudah disiapkan sehingga saya tinggal pasang badan. Durasi efektif, dengan 8 jam kerja karena planning tidak main-main. Anak bangsa kini bisa bersaing, dan ini kesetaraan yang membanggakan.
Seberapa tinggi tarif jasa Anda?
Tarif mengikuti kesulitan persiapan dan syuting. Toleransi saya besar untuk makanan Indonesia. Saya pernah mendapat penawaran berbujet minim langsung dari perusahaan raksasa di AS. Job-nya, menata makanan Indonesia, pitching dengan 4 stylist asing. Saya paksa suami pasang harga miring untuk syuting di Singapura itu. Saya enggak ikhlas makanan Indonesia ditata stylist yang belum memahami kaidah makanan kita. Untuk suatu saat, ini akan menjadi karya yang dibanggakan dan tak ternilai. Semua tak melulu asal kantong penuh.
Ada yang mendiskreditkan kemampuan Anda?
Ya, umumnya klien baru yang melihat harga di quotation, ha... ha... ha...! Suami saya, selaku manajer, bertugas meyakinkan. Di lapangan, saya yang buktikan. Sering kali satu produk memakai saya untuk print ad, tapi karena alasan bujet, memakai stylist lain untuk TVC. Saya pernah mendapat 16 kali miscall saat dini hari dari agency yang frustrasi, diminta menggantikan stylist di lokasi yang belum mampu mencapai efek tertentu.
Pernah ditegur tim restoran di lapangan karena makanan terlalu ‘indah’ di foto?
Ha... ha... ha… pernah! Suatu kali kami syuting lumpia kegedean karena klien sendiri belum memiliki produk jadi. Ini namanya overpromise. Stylist harus bertanya, sejauh mana batas toleransi produk bisa dipercantik.
Banyak stylist junior berguru kepada Anda. Tak takut tersaingi?
Persaingan dibutuhkan agar kita menjaga kualitas. Ada yang bilang saya sombong karena hanya mau mengerjakan TVC dan print ad untuk consumer goods dan merek besar lain. Padahal, ini saya kerjakan karena SDM-nya masih sedikit dan saya tak mau setengah-setengah jika melakukan sesuatu. Saya banyak menyarankan stylist junior untuk mencoba lahan lainnya yang jarang tergarap, seperti produksi makanan untuk program televisi.
Kapan Anda libur?
Tak pernah, meskipun saat hamil. Saya pernah menata bubur bayi untuk pemotretan kemasan, 3 hari sebelum melahirkan. Saya cuma berani libur kalau sudah janji traveling dengan anak. Saya enggak mau dicoret jadi emak! Anak saya atlet renang, dan liburan adalah reward atas hal-hal positif yang dilakukannya tanpa kehadiran saya.
Trifitria Nuragustina, Valentina Limbong
Topic
#KartiniKini