Profile
Inilah Bukti Kecintaan Renatta Moeloek Pada Makanan

28 Jul 2019


Foto: Dok. Femina/Ricko Sandy


Dunia kuliner memiliki makna yang dalam bagi Renatta Moeloek. Proses penyajian makanan, mulai dari bahan dasarnya hingga menjadi sajian yang bisa dinikmati orang lain sangat disukainya. Ia akan merasa bahagia bila orang senang mencicipi masakannya.
 
Bahkan, kecintaannya yang besar pada makanan juga ia tuangkan pada tato-tato yang terlukis di tubuhnya. Tato pertamanya adalah bulu babi yang ia lukiskan dalam ukuran besar di bahunya yang memanjang hingga ke lengan atas. “Pekerjaan pertama saya di Prancis dulu adalah membersihkan bulu babi hingga berkeranjang-keranjang. Sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan,” kenangnya.
 
Ia memang sudah menyukai aktivitas memasak dan menyajikan masakan untuk dirinya sendiri dan untuk teman-teman sekolahnya saat duduk di bangku SMP dan SMA. “Kalau teman-teman main ke rumah, saya pasti masakin makanan buat dimakan rame-rame,” katanya.
 
Alumnus SMA Kolese Gonzaga Jakarta ini mengatakan bahwa keadaanlah yang membuatnya terpaksa harus memasak. Ibunya, Radianti, yang merupakan single mother, tidak bisa memasak sedikit pun. Bahkan, untuk memasak mi instan saja gagal. “Tidak memiliki pengalaman memasak, ditambah lagi tidak memiliki kesempatan memasak karena sibuk bekerja sebagai wanita bisnis. Kami pun tidak pernah merasakan sajian makanan yang dimasak Mama sendiri,” kenangnya.
 
Walau berawal dari keterpaksaan, lama-lama Renatta justru makin mencintai kegiatan memasak. Apalagi kalau mendapat pujian dari teman-temannya, jika masakannya enak. Diakui Renatta, kecintaannya pada masak-memasak tak ingin hanya dijadikan sebagai hobi semata. Maka dari itu, sebelum lulus SMA, ia pun mencari beragam informasi sekolah memasak lewat internet. Ia menjatuhkan pilihan untuk sekolah di Le Cordon Bleu Culinary Art, Paris, Prancis. “Saya lebih memilih Prancis dibandingkan dengan negara lain seperti Australia, karena saya menyukai Kota Paris,” katanya.
 
Keinginannya untuk kuliah di bidang hospitality sempat hampir tidak direstui oleh ibunya. Bagi ibunya, menjadi koki itu bukan sesuatu yang menjanjikan. Namun, Renatta meyakinkan sang ibunda bahwa apa yang ia rencanakan adalah sesuatu yang terbaik untuk dirinya. Akhirnya, pada  tahun 2012, Renatta berangkat ke Prancis dan menjalani masa pendidikan selama sekitar satu tahun. Kemudian ia melanjutkan magang di restoran Micheline star, Grance Saint Domique Paris, selama sekitar 6 bulan.
 
Jika mengenang masa-masa magangnya di Prancis dan membandingkannya dengan di tanah air, Renata berpendapat bahwa industri kuliner di Indonesia masih dalam tahapan berkembang. Bukan dalam arti yang buruk. Ia justru melihat sudah ada perkembangan yang besar jika dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu.

Misalnya, di Indonesia khususnya kota-kota besar, masyarakat memilih sebuah restoran karena sekadar ingin merasakan masakan yang enak atau hanya kumpul- kumpul. Beda dengan di Prancis, yang umumnya masyarakat di sana menjadikan seorang koki sebagai sebuah pertimbangan untuk makan di sebuah restoran.
 
Bagi Renatta, makanan tidak hanya entertainment dan pleasure semata. Lewat makanan, kita bisa menjadi makhluk sosial yang seutuhnya. Di zaman prasejarah, ketika manusia pertama kali menemukan api, makananlah yang menyatukan manusia hingga menjadi makhluk sosial.
 
Walau nyaman karena sangat dihargai sebagai seorang koki di Paris, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menetap di Jakarta,   karena merasa ada tanggung jawab yang lebih besar yang harus ia ambil di Indonesia. Ia ingin mengaplikasikan ilmu dan pengalaman yang ia dapatkan selama di Paris.
 
Sekembalinya ke Indonesia, di tengah kesibukannya memberikan layanan private dining, Renatta bersama dengan chef Maxie Millian menggelar demo masak pop up di berbagai hotel dan restoran di beberapa negara di Eropa, seperti  Belanda, Belgia, dan Spanyol.
 
Mereka membawa masakan modern Indonesia dengan menyajikan sekitar 20 jenis menu, seperti rujak buah, nani ura, masakan khas Batak, serta rawon dengan menggunakan pipi sapi yang empuk.
 
Ia pun menaruh harapan agar orang Indonesia jauh lebih peduli pada bahan- bahan makanan yang mereka makan. Indonesia kaya akan rempah-rempah yang berkualitas dan itu bisa jadi sesuatu yang berharga di luar negeri.
 
“Harusnya kita bangga dengan masakan kita sendiri, walau hanya tempe. Seperti halnya orang Prancis, yang menganggap bahwa makanan yang terbaik adalah masakan Prancis,” katanya, serius. (f)

Baca Juga:
Namira Zania : Penari & Model Down Syndrome yang Buktikan Pengidap Disabilitas Intelektual Juga Bisa Berkarya
5 Fakta Tentang Chyntia Tan Yang Merancang Jas dan Kemeja Batik Untuk Konser Westlife
 


Topic

#chef, #profil