
Foto: Hermawan
Awalnya, ia mulai berjalan tanpa menggunakan alas kaki sejauh ratusan kilometer selama beberapa waktu, untuk menggalang dana demi mendukung gerakan kemanusiaan organisasi Solemen di Bali, yang membantu anak-anak telantar. Namun kemudian, salah satu pendiri organisasi Solemen Indonesia, Robert Epstone, yang bertekad tidak mengenakan alas kaki hingga tidak ada satu pun anak telantar di Indonesia, menginspirasinya untuk meneruskan aksi ‘nyeker’ dan menyumbangkan dana bagi mereka yang membutuhkan.
“Perlu satu tahun bagi saya untuk menguatkan diri agar bisa menjadi soleman. Termasuk memikirkan ratusan pertanyaan yang memenuhi otak, ‘bagaimana kalau penghasilan saya menurun karena tidak pakai sepatu, bagaimana kalau ‘nyeker’ dan tidak boleh masuk pesawat, bagaimana kalau kaki saya menginjak paku dan lain sebagainya,” kenangnya.
Namun, segala kekhawatirannya tersebut sontak runtuh ketika Robert menunjukkan sebuah sepatu berdesain khusus tanpa sol, sehingga kaki bisa tetap menapak bumi. Sejak saat itu ia pun siap masuk dalam sebuah kehidupan yang mendekatkannya pada bumi dan mendedikasikan tiap langkah kakinya untuk mengumpulkan dana bagi mereka yang membutuhkan.
Bertahun-tahun hidup tanpa alas kaki, Gobind belajar menyingkirkan perasaan untuk mengidentifikasi dirinya sendiri ataupun orang lain dan melepaskan kekhawatiran ‘apa kata orang’. “Apa yang dipikirkan orang lain itu bukan tentang diri saya, melainkan tentang persepsi baik atau buruk yang dipikirkan olehnya terhadap suatu hal. Apa yang mereka pikirkan tentang saya bukanlah urusan saya,” ujarnya, bijak.
Selain itu, gelombang elektro negatif yang ia dapatkan dari menginjak bumi secara langsung membuatnya merasa lebih sehat, emosi lebih stabil dan ketika terjadi inflamasi lebih cepat sembuh. Lebih dari itu, ia jadi lebih akrab dengan alam dan peka terhadap lingkungan sekitar. Diakui Gobind, ia bisa merasakan jika akan terjadi sesuatu pada bumi.
“Susah dijelaskan secara harfiah, tapi ada getaran yang aneh jika akan terjadi suatu bencana. Misalnya, jika akan ada badai atau gempa seperti di Jepang beberapa tahun lalu, beberapa jam sebelumnya saya bisa merasakan hal tertentu ketika menapak bumi,” jelas pria yang lahir dan besar di Surabaya, Jawa Timur, ini.
Ada banyak titel yang tersemat dalam diri Gobind: motivator, inspirator, penulis, pelatih penyembuh trauma, hingga pembicara publik. Akan tetapi, putra ketiga dari lima bersaudara pasangan Vashdev Ramchand dan Bhaga ini enggan disebut demikian. Baginya, ia hanya seseorang yang bekerja dengan hati. Ketika ia ingin membantu orang lain mengatasi trauma, ia melakukan hal itu karena panggilan hatinya. Juga ketika ia ingin menyebarkan virus cinta damai melalui cerita kebijaksanaan yang ia tulis dalam buku, itu karena hatinya menginginkan kebahagiaan bagi semua orang. Tidak mengherankan, ia menulis di akun Facebook-nya sebagai ‘a heart worker’, si pekerja hati. (f)
Baca Juga: