Tiap manusia memiliki resiliency atau ketangguhan untuk bangkit dari trauma fisik maupun psikis. Namun, mereka yang pernah mengalami kejadian traumatis dalam hidupnya, tetap harus melewati proses pemulihan psikologis dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Menurut Nirmala Ika, psikolog dari Yayasan Pulih, untuk sembuh dari trauma ditentukan oleh banyak faktor, yang terpenting justru kekuatan dari dalam diri.
Kejadian bom Thamrin sudah berlalu lebih dari satu bulan. Namun, Andi Dina Noviana (30), yang waktu itu menjadi salah satu korban yang selamat dari kafe yang terkena ledakan bom, masih belum bisa melupakannya. Dina mengalami gangguan pendengaran serta luka-luka yang perlu dijahit pada kaki dan tangan, juga perlu menjalani pengobatan.
Sejak kejadian yang menimpanya itu, Dina mengalami kesulitan tidur, takut keluar rumah, dan selalu merasa seperti dikejar-kejar orang, terutama ketika hari mulai gelap. Selain mimpi buruk, detik-detik kejadian yang menimpanya itu juga berulang-ulang muncul dalam ingatan Dina.
“Kalau ingatan itu membuat saya sedih, saya bisa tiba-tiba menangis. Tapi, kalau ingatan itu sedang membuat saya tidak terima dengan kenyataan, saya hanya bisa marah-marah dan berteriak,” ungkap Dina.
Demikian juga yang terjadi pada Fenty (41). Sebagai salah satu orang yang selamat dari bencana tsunami di Aceh, yang terjadi 11 tahun lalu, Fenty juga sempat mengalami banyak ketakutan. Ketika bencana tersebut terjadi, Fenty sedang dalam perjalanan bisnis. Dari hotel tempatnya menginap, ia dan beberapa orang lain yang tidak ia kenal, berhasil lari untuk mencapai posisi yang cukup tinggi sehingga tidak terseret air. Saat terjebak di atas dinding dari pagi hingga bantuan datang di malam hari, Fenty melihat banyak korban yang tidak terselamatkan lagi di bawahnya.
“Selama 1-2 bulan setelah kejadian itu, saya tidak bisa tidur, mudah panik, tidak berani menyetir mobil atau pergi sendiri. Terlebih lagi, saya juga tidak berani naik pesawat karena terkena guncangan sedikit saja saya langsung panik luar biasa dan keluar keringat dingin hingga ke jari-jari kaki,” tutur Fenty, yang sampai sekarang mengaku belum sepenuhnya lupa akan kejadian yang menimpanya ketika harus bepergian saat bekerja.
Pada dasarnya, seseorang dapat didiagnosis secara klinis sebagai penderita trauma, ketika ia masih mengalami gejala-gejala traumatis hingga 3-6 bulan setelah kejadian. Menurut Ika, ketika seseorang tidak bisa tidur, selalu terbayang-bayang, atau masih ketakutan selama 1-2 minggu setelah peristiwa, itu adalah proses pemulihan trauma yang masih wajar. Tapi bukan berarti sepele, karena mereka juga tetap butuh pendampingan orang-orang terdekat.
Ika menjelaskan, seseorang bisa dikatakan mengalami trauma hebat ketika gejala-gejala yang ia alami tidak juga berkurang intensitasnya, dan sudah mulai mengganggu kehidupannya. Misalnya, ia jadi tidak bisa bekerja dan beraktivitas lain sebagaimana mestinya. Dari pengalamannya menangani beberapa survivor dari berbagai peristiwa ledakan bom di Jakarta beberapa tahun silam, Ika memberi gambaran secara umum tentang kemungkinan seseorang perlu ditangani ahli.
“Tidak semua orang perlu ditangani ahli. Misalnya, jika pada suatu peristiwa bencana ada 100 korban yang selamat, rata-rata 80 orang akan lupa dengan sendirinya. Sementara 20 orang sisanya akan butuh tempat berbagi cerita dan waktu yang lebih lama untuk sembuh. Di antara 20 orang ini, rata-rata hanya ada 1-2 orang yang butuh penanganan lebih lanjut dengan psikolog atau psikiater,” jelasnya. (f)