
Pengobatan menggunakan tanaman obat (herba) termasuk pengobatan tradisional, tradisi yang sudah turun-temurun mengakar di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, rata-rata 34% masyarakat Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional untuk memelihara kesehatan mereka.
Pemerintah pun telah mengeluarkan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal 48 ayat 1 tentang upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional dengan memanfaatkan herba. Tahun 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
Indonesia adalah negara yang kaya akan bahan baku tanaman obat. Karena itu, besar potensinya untuk mengembangkan khasiat obat tradisional. “Ada sekitar 940 spesies tanaman yang sudah diteliti untuk obat. Dari 9.000 spesies tanaman obat, masih banyak yang belum digali dan diteliti khasiatnya,” kata Dr. Hardhi Pranata, Sp.S MARS, Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Tim Dokter Kepresidenan RI.
Popularitas obat herba kemudian menjadi rancu ketika gempuran iklan-iklan obat memakai nama ‘herba’ sebagai bentuk promosi. “Padahal, mereka menggunakan bahan-bahan yang belum diteliti, apalagi manfaatnya,” ungkap dr. Hardhi. Ia mengambil contoh buah merah yang pernah digembar-gemborkan dapat mengobati penyakit kanker, ternyata belum terbukti secara klinis menyembuhkan kanker.
Menurut dr. Hardhi, secara medis obat pelangsing dari bahan herba dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis:
Pertama, herba yang memiliki khasiat untuk mengurangi nafsu makan. Contohnya adalah teh hijau (camellia sinensis), teh oolong atau teh hitam yang mengandung kafein dalam jumlah antara 16 – 40 mg per cangkir. Namun, konsumsi kafein yang terlalu tinggi akan membuat mual, jantung berdebar, serta keringat dingin. Selain teh, ada psyllium (Plantago ovata), yang sering dikenal sebagai fibre slim. Herba ini bekerja dengan cara menyerap air sehingga menimbulkan rasa kenyang serta mempercepat peristaltik di usus besar.
Kedua, herba yang berfungsi sebagai laksansia atau pencahar, mempercepat proses peristaltik usus sehingga membuat lemak dan zat-zat lain dalam makanan tidak sempat diserap oleh tubuh. Penggunaan obat ini biasanya menyebabkan diare. Orang yang mengonsumsi obat jenis ini berat badannya memang cepat turun, namun tanpa gizi. Contohnya adalah daun senna (Cassia Senna Lineo Leaves) dan daun jarak cina (Jatropha mulitifida).
Ketiga, herba yang menghambat peran lipase (enzim yang diproduksi pankreas untuk membantu pemecahan lemak). Salah satu yang terkenal adalah tanaman jati belanda (Guazuma ulmifolia lamk). Ini salah satu obat herba yang rasional dan aman dikonsumsi. Namun, perlu mencermati aturan pemakaiannya, yaitu 15 gram daun kering dipanaskan dengan 600 cc air putih. Diminum 2 kali sehari. Hasil ini sudah diteliti oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional pada tahun 2010.
Keempat, herba yang punya khasiat diuretika (pelancar kemih). Misalnya, daun putri malu (Mimosa pudica), daun jombang atau dandelium (Taraxacum officinale), dan sejenis seledri (Radix petroselini). Jika mengonsumsi herba ini, maka akan membuat pemakainya sering buang air kecil. Hasilnya, berat badan akan turun dalam waktu singkat. Namun, konsumsi dalam jangka panjang berbahaya karena akan menyebabkan dehidrasi, darah mengental, gangguan elektrolit, dan gangguan ginjal.
Pada dasarnya, mengonsumsi herba yang berkhasiat sebagai laksansia dan diuretika tidak dilarang, asalkan dalam takaran yang dianjurkan, juga sesuai kondisi dan toleransi masing-masing tubuh. “Yang perlu diingat, penurunan berat badan sebaiknya tidak lebih dari 2 kg per minggu,” kata dr. Hardhi.
Lebih lanjut dr. Hardhi menjelaskan, dalam mengonsumsi obat pelangsing dari herba perlu diwaspadai efek samping yang dihasilkan. “Jika setelah mengonsumsi obat pelangsing herba Anda sering buang air kecil atau sering buang air besar, sebaiknya tidak dikonsumsi dalam jangka waktu lama,” jelas dokter yang tergabung dalam Tim Dokter Kepresidenan ini. Menurutnya, obat-obat herba palsu racikan kapsul atau ramuan obat-obat yang beredar di pasaran menggunakan dosis yang tidak tepat aturan.
Padahal, bila merujuk pada keterangan Bahdar Johan Hamid, Deputi Bidang Pengawas Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen BPOM menjelaskan, saat ini istilah obat pelangsing tidak ada dalam kategori obat. ”Yang kita izinkan adalah obat penurun kadar lemak dalam tubuh,” ungkapnya.
Dalam perizinan sertifikasi BPOM, produsen obat harus melalui jalur resmi. Dimulai dari permohonan izin, diteliti kandungan zat obat tersebut, jika lolos baru masuk ke bea cukai dan dapat dijual ke masyarakat. Banyaknya obat penurun lemak palsu yang beredar bebas di pasaran, menurut Bahdar, karena obat-obatan pelangsing itu tidak melalui standar perizinan yang benar. ”Kebanyakan obat tersebut masuk ke Indonesia karena penyelundupan di pelabuhan atau dijual secara online,” jelasnya.
BPOM pun sudah menarik obat-obat pelangsing yang mengandung sibutramin karena berbahaya bagi jantung. Belum lagi, karena tidak jelas pembuatannya, disinyalir obat tersebut dapat tercemar logam berat, seperti timbal, seng, dan aluminium dalam proses pembuatannya.
“Jika sudah tercemar logam berat, dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu lama, berbulan-bulan, bisa menyebabkan kerusakan ginjal,” jelas dr. Hardhi. Menurutnya, obat pelangsing sebaiknya tidak digunakan oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui, serta mereka yang lanjut usia.
Dokter Grace pun berpendapat, meski menyandang nama ‘herba’ obat pelangsing jenis ini belum bisa dikatakan aman. Menurutnya, obat pelangsing farmasi dari segi efficacy jauh lebih membantu daripada obat herba. Begitu pula dari segi keamanan, jauh lebih aman obat farmasi.
“Umumnya obat herba diekstrak dari tanaman. Kelemahan obat herba adalah tidak ada studi yang pasti,” ujar dr. Grace. Studi untuk meneliti satu substansi ini biasanya membutuhkan dana minimal 1 miliar rupiah, dengan responden mencapai 1.000 orang. “Keterbatasan biaya inilah yang membuat perusahaan jarang ada yang mensponsori suatu tanaman untuk digunakan sebagai obat tertentu,” imbuhnya.
Ia mengambil contoh tanaman hoodia, yang berasal dari Afrika Selatan, tahun ‘80-an diekstrak oleh sebuah perusahaan farmasi besar. Namun, di tengah jalan penelitian dihentikan. “Ada sesuatu entah dari segi keamanan atau kemanjurannya setelah diteliti ternyata tidak terbukti,” ujar dr. Grace.
Kelemahan lain obat herba, menurut dr. Grace, adalah zat aktif dalam tidak dapat dipisahkan dari substansi lain. “Misalnya jati belanda. Kalau direbus begitu saja, zat yang berguna dan tidak berguna masuk bersamaan dalam tubuh,” ungkap dokter bersertifikat Weight Control & Obesity Consultant dari University of Sydney, Australia, ini.
DARIA RANI GUMULYA