Food Story
Gudeg, Makanan Rakyat yang Naik Pangkat

7 Jun 2021


Dok.Shutterstock


Sekali mendengar kata Gudeg, apakah yang terlintas di benak Anda? Lezat, manis dan gurih, atau malah kangen Yogyakarta

Tahu kah Anda bahwa sajian yang Anda sukai ini konon telah dinikmati masyarakat sebelum Kesultanan Yogyakarta berdiri? 

Sejarahnya dimulai sekitar abad ke-16, kala Kerajaan Mataram mulai membangun peradabannya.

Para prajurit dan pekerja membabat Alas Mentaok yang dipenuhi pohon nangka, melinjo dan kelapa. Saking melimpahnya, timbul ide mengolahnya menjadi santapan untuk memenuhi kebutuhan pangan para pekerja. 

Dari memanfaatkan nangka muda (gori) yang dipadu santan, serta gula merah yang dimasak di atas kuali besar dengan cara diaduk, terciptalah Gudeg. Versi komplet disajikan bersama nasi, opor ayam, sambal goreng krecek, tahu-tempe bacem, lalu disiram kuah santan kental (areh).

Asal muasal nama Gudeg sendiri dari bahasa Jawa ‘hangudek’, yang berarti mengaduk. 

Tak berhenti sebagai makanan rakyat, Gudeg pun jadi favorit di lingkungan keraton.

Adalah buku sastra Serat Centhini (1814-1823) yang mencatat keberadaan nasi Gudeg sebagai sajian di Kesultanan Surakarta.

Di dalam Serat Jatno Hisworo juga disebutkan bahwa Pakubuwana IX (1861-1893) pernah menjamu rombongan kesenian dengan Nasi Gudeg dan Nasi Liwet. 

Keraton Yogyakarta juga menjadikan Gudeg sebagai salah satu menu andalan.  Bedanya, Gudeg ala keraton menggunakan bahan kluwih dan sayuran hijaunya memakai daun melinjo. Gudeg favorit Sultan Hamengkubuwono X sendiri adalah jenis Gudeg Manggar yang memakai bunga kelapa. 

Ada dua jenis Gudeg, yaitu jenis kering dan jenis basah, dengan perbedaan yang terletak pada proses memasak dan penyajiannya. 

Jenis basah dimasak dengan kuah melimpah dan cenderung disajikan dengan kuah santan yang banyak. Rasanya menjadi lebih kuat. Banyak dijumpai di sebagian Yogyakarta dan sekitaran Magelang, terutama penjual di pasar tradisional. 

Sedangkan Gudeg jenis kering harus melalui proses penumisan hingga kering, sehingga legit. Penyajiannya pun hanya sedikit diberi areh. Gudeg kering berkembang seiring meningkatnya minat wisatawan untuk menjadikannya buah tangan. 

Yang manapun, kunci keberhasilannya terletak pada pemilihan gori yang banyak getahnya. 

Selain daun jati yang dijadikan alas saat memasak Gudeg, sesungguhnya warna akhir merah kecoklatan turut diperoleh dari getah gori itu sendiri. Proses memasak yang lama juga dibutuhkan untuk hasil prima. (f)

 

Trifitria Nuragustina


Topic

#gudeg, #sejarahgudeg