Kuliner Banten memang tidak sepopuler kuliner daerah tetangganya, Betawi dan Jawa Barat. Padahal, banyak makanan Banten yang unik dan memiliki cerita menarik di baliknya.
Acara icip-icip kuliner Banten yang diselenggarakan oleh Belanga Indonesia tak Femina lewatkan begitu saja. Pukul sepuluh di minggu pagi, rombongan langsung meluncur menuju restoran Frangipani di kota Serang.
Tepat pada waktu makan siang, kami tiba. Disambut dengan jajanan pasar khas kota Serang yang telah tersusun rapi di salah satu gubuk milik restoran bernuansa Bali itu.
Sempat bingung saat melihat papan nama yang tertera “Ko#@! Sapi”. Setelah mencuri dengar teman sebelah yang sedang ngobrol dengan si empunya restoran yang membuat kue ini, ternyata namanya sedikit mengejutkan. Coba saja ganti beberapa tanda baca itu dengan huruf “ntol’. Ha.. ha.. ha.. sedikit anonoh ya.
Tapi, inilah khas kuliner Banten, beberapa sajian memang menggunakan nama yang sedikit nyeleneh. Selain “Ko#@! Sapi”, ada juga “Ko#@! Ayami”. Ada juga yang menggunakan bahasa daerah Banten yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “Janda Muncrat.” Tapi, ada juga yang mengunakan nama biasa seperti Jojorong, Cuwer, dan lainnya.
Jika melihat tampilan kue-kue ini, beberapa di antaranya pasti sudah femilier. Karenan memang bentuk-dan rasaya mirip kue cincin, jongkong, kelepon, dan celorot.
Tak hanya kue-kue, Manik Ayu, si pemilik restoran, juga menyuguhkan beberapa makanan khas seperti Rabeg dan Angeun Lada. Ada cerita di balik sajian Rabeg. Masakan ini dibuat atas perintah Sultan Hasanudin yang menyukai masakan kambing saat ia pergi ke tanah Arab. Sajian ini lantas dinamakan Rabigh yang merupakan nama kota di Arab. Karena dialek masyarakat setempat, akhirnya nama tersebut berubah menjadi Rabeg. Rasanya seperti gulai kambing, gurih dan sarat rempah."Ada 2 jenis Rabeg, yang menggunakan kecap dan tidak," Manik menjelaskan.
Angeun Lada juga unik karena sajian ini menggunakan rempah khas, yakni, daun walang. Bentuk daunnya seperti daun kunyit, baunya mirip serangga walang sagit, namun tidak terlalu menyengat. Sejatinya menggunakan daging kerbau. Tapi, saat itu femina mencicip Angeun Lada dari daging sapi. Tampilannya seperti gulai merah. Sekilas mirip cincang di warung makan Padang, tapi rasanya lebih ringan dan segar berkat daun walang.
Sajian lainnya yang menarik adalah Nasi Sum Sum, serupa nasi bakar yang menggunakan sum-sum sapi bagian tulang belakang di dalamnya. Ada juga Sambal Buroq. Orang Jawa menyebutnya oseng-oseng kulit melinjo. Sajian ini selalu ada dalam menu masyarakat Banten saat perayaan, karena dipercaya dapat menurunkan kadar asam urat.
Sate Bandeng khas Banten pun tidak absen dari meja saji. Lembut di lidah dan terasa gurih kelapa. Ini adalah makanan khas Banten yang biasa menjadi oleh-oleh bersama Bontot yang menyerupai Pempek Lenjer di Palembang.
Jika Anda ingin mencicipi sajian khas Banten, Rabeg dan Angeun Lada selalu tersedia di restoran yang terletak tak jauh dari pintu tol Serang Timur ini. (f)
Baca juga:Acara icip-icip kuliner Banten yang diselenggarakan oleh Belanga Indonesia tak Femina lewatkan begitu saja. Pukul sepuluh di minggu pagi, rombongan langsung meluncur menuju restoran Frangipani di kota Serang.
Tepat pada waktu makan siang, kami tiba. Disambut dengan jajanan pasar khas kota Serang yang telah tersusun rapi di salah satu gubuk milik restoran bernuansa Bali itu.
Sempat bingung saat melihat papan nama yang tertera “Ko#@! Sapi”. Setelah mencuri dengar teman sebelah yang sedang ngobrol dengan si empunya restoran yang membuat kue ini, ternyata namanya sedikit mengejutkan. Coba saja ganti beberapa tanda baca itu dengan huruf “ntol’. Ha.. ha.. ha.. sedikit anonoh ya.
Tapi, inilah khas kuliner Banten, beberapa sajian memang menggunakan nama yang sedikit nyeleneh. Selain “Ko#@! Sapi”, ada juga “Ko#@! Ayami”. Ada juga yang menggunakan bahasa daerah Banten yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “Janda Muncrat.” Tapi, ada juga yang mengunakan nama biasa seperti Jojorong, Cuwer, dan lainnya.
Jika melihat tampilan kue-kue ini, beberapa di antaranya pasti sudah femilier. Karenan memang bentuk-dan rasaya mirip kue cincin, jongkong, kelepon, dan celorot.
Tak hanya kue-kue, Manik Ayu, si pemilik restoran, juga menyuguhkan beberapa makanan khas seperti Rabeg dan Angeun Lada. Ada cerita di balik sajian Rabeg. Masakan ini dibuat atas perintah Sultan Hasanudin yang menyukai masakan kambing saat ia pergi ke tanah Arab. Sajian ini lantas dinamakan Rabigh yang merupakan nama kota di Arab. Karena dialek masyarakat setempat, akhirnya nama tersebut berubah menjadi Rabeg. Rasanya seperti gulai kambing, gurih dan sarat rempah."Ada 2 jenis Rabeg, yang menggunakan kecap dan tidak," Manik menjelaskan.
Angeun Lada juga unik karena sajian ini menggunakan rempah khas, yakni, daun walang. Bentuk daunnya seperti daun kunyit, baunya mirip serangga walang sagit, namun tidak terlalu menyengat. Sejatinya menggunakan daging kerbau. Tapi, saat itu femina mencicip Angeun Lada dari daging sapi. Tampilannya seperti gulai merah. Sekilas mirip cincang di warung makan Padang, tapi rasanya lebih ringan dan segar berkat daun walang.
Sajian lainnya yang menarik adalah Nasi Sum Sum, serupa nasi bakar yang menggunakan sum-sum sapi bagian tulang belakang di dalamnya. Ada juga Sambal Buroq. Orang Jawa menyebutnya oseng-oseng kulit melinjo. Sajian ini selalu ada dalam menu masyarakat Banten saat perayaan, karena dipercaya dapat menurunkan kadar asam urat.
Sate Bandeng khas Banten pun tidak absen dari meja saji. Lembut di lidah dan terasa gurih kelapa. Ini adalah makanan khas Banten yang biasa menjadi oleh-oleh bersama Bontot yang menyerupai Pempek Lenjer di Palembang.
Jika Anda ingin mencicipi sajian khas Banten, Rabeg dan Angeun Lada selalu tersedia di restoran yang terletak tak jauh dari pintu tol Serang Timur ini. (f)
Bolu Tempe dan Burger Tempe dari Kedelai Non GMO. Hanya Ada di 2 Tempat Ini!
Akulturasi Dapur Arab Jawa
Berburu Kuliner Khas Tanah Banten
Topic
#banten, #foodreview, #wisatakuliner