Fiction
Cerpen: Wanita Siam

7 Dec 2018


"Tuan Mahadi?" tanpa kuketahui aku meneruskan kalimatku.

Wanita dihadapanku mengambil waktu untuk menjawab. 

”Kakak Anda meninggal seminggu yang lalu.” 

Kalimat itu diucapkan dengan perlahan dan sederhana. Tetapi aku terkejut. Suara-suara yang sejak kuterima kembang itu, kutelan serta kuhimpit dalam-dalam di bawah sadarku, kini mencuat merupakan tusukan yang tajam. Kakakku. Jadi benarlah seperti yang sedari mula kutakutkan. Dengan rasa malu yang tidak berguna, aku mengakui telah menjadi pengecut diriku sendiri. 

Jadi betullah, Mahadi dalam kartu nama itu adalah Mahadi satu-satunya yang hingga waktu itu kukenal. Kakak sulungku yang selama delapan belas tahun hidup matinya menjadi teka-teki. Dia berangkat ke Purwodadi, ke Blora, ke Madiun, ke Malang dan entah kemudian kemana lagi bersama pemuda-pemuda tanah air lain yang dibentuk menjadi gerombolan Peta oleh penjajah Jepang. Hingga suatu kali dia berangkat dan tidak pernah kembali sampai meletus serta berakhirnya revolusi. 

”Dia sangat ingin bertemu lagi dengan Anda,” kudengar kata wanita itu. 

”Mengapa dia tidak pulang? Kami semua menunggunya. Setelah revolusi berakhir, setiap kali ada iring-iringan prahoto tentera, kami mengharapkannya muncul ke rumah. Kemudian kabar-kabar mengatakan bahwa dia meninggal. Tetapi ibu tidak pernah mempercayainya." 

”Ayah Anda tidak mengharapkarnya pulang, bukan?” 

Pertanyaan itu seperti kilat yang menampar kepalaku. Jadi dia mengetahuinya. Kuteliti wajah bulat panjang penuh kelembutan itu. Pandangku turun ke dadanya, dimana mataku tersangkut kepada secarik pita hitam yang disepitkan di antara kancing-kancing baju. 

Istri kakakku? 

Warna hitam adalah tanda berkabung. Hanya keluarga terdekat yang wajib mengenakan warna tersebut selama waktu tertentu. Kalau benar ini adalah iparku, tentulah kakakku tidak menghindarkannya dari rahasia-rahasia serta kejadian-kejadian penting dalam keluarga. 

Di rumah tidak pemah ada kerukunan. Antara ibu dan ayahku tidak pernah terdapat kata sepakat. Kami tujuh bersaudara disuguhi dengan berbagai cekcok dari hari kehari. Kemudian aku bahkan mengetahui, bahwa lahirku merupakan kehadiran yang tidak dikehendaki oleh ayah. maupun ibuku. Tujuh anak! Kini pada waktu dewasa, aku masih sering bertanya-tanya sendiri bagaimana hal itu dapat terjadi di dalam keluarga yang sejauh ingatanku tidak pernah hidup damai. Semakin aku mendjadi besar, semakin kurasakan betapa kami terbagi menjadi dua bagian. Masing-masing memihak kepada ibu atau ayah. 

Di dalam kepalaku terekam kedjadian yang berlangsung pada suatu malam. Umurku pada waktu itu kalau tidak salah tujuh tahun. Aku mengetahui pada masa itu bahwa negara berada dalam ancaman perang. Dua kali ibuku membangunkan kami malam-malam untuk bersiap mengungsi kekampung  yang lebih jauh dari jalan besar. Setiap dari kami mempunyai bungkusan atau tas yang selalu siap untuk dibawa jika waktunya tiba untuk mengungsi. 
 


Topic

#fiksi, #cerpen, #NHDini