“Bu, beli pembalut seperti di tivi itu apa mahal, ya?” tanya Rusmi, saat membantu ibunya merajang tembakau.
Ibu Rusmi melirik. Ia menyadari, anak gadisnya kini sudah bukan anak desa di kaki Gunung Kawi. Ia sekarang punya teman-teman baru dan pergaulan baru. Ibu Rusmi bekerja sebagai perajang tembakau yang dipanen para pria di desanya. Meski tak makan sekolahan, ia mengerti arah pembicaraan putrinya.
Kepada Rusmi, ia jelaskan nilai satu bungkus pembalut sekali pakai yang dijual di toko-toko itu. Itu besar nilainya untuk keluarga ini, selain ia juga tidak tahu buntalan putih itu terbuat dari apa. Sedangkan pembalut berbahan handuk yang ia dan gadisnya gunakan, selain menurutnya aman bisa digunakan berulang-ulang.
“Kita bisa berhemat, Nduk,” ujar ibu Rusmi. “Dari nenek-buyutmu sampai Ibu, sudah menggunakannya,” imbuh ibunya.
“Tapi itu dulu, Bu. Sekarang zaman sudah berubah. Perempuan zaman sekarang pakai pembalut yang dijual itu,” kilah Rusmi. Ia sesungguhnya agak kesal.
Ibu Rusmi mengeluarkan pensil dan buku lusuh dari ranji, lemari makanan. Rusmi tahu itu buku pengeluaran dan pemasukan uang yang diterima Ibu dari Bapak. Ibu lalu menghitung dengan cara sederhana. Tulisannya juga sederhana, tapi digoreskan dengan pasti.
“Kamu lihat, ini hitungan tiap tahun bila kamu pakai pembalut yang kamu pakai sekarang. Sebanding ndak dengan beli pembalut tiap bulan? Apa selangkanganmu terasa gatal atau bagaimana?” sahut Ibu, sabar.
“Lihat, berapa meter Ibu beli bahan handuk untuk kita berdua. Memang sedikit perlu waktu untuk mencuci dan menyetrika, tapi semuanya dengan tangan kita sendiri. Kita sendiri yang menjamin kesehatan kita yang paling wingit,” sambut Ibu, kalem.
Rusmi terdiam. Ia berpikir. Nah, terus kenapa pembalut sekali pakai itu diciptakan kalau begitu? Berduyun-duyun pertanyaan demi pertanyaan menghampirinya. Ia tahu, soal pembalut, ia tak bisa mengalahkan Ibu. Ini bukan semata soal mahal atau murah. Ini soal prinsip Ibu mengenakan pembalut yang dijahit sendiri. Kepala Rusmi pening.
Besoknya Rusmi hampir terlambat bangun. Setelah menyiapkan buku untuk kuliah hari ini, ia menyusul Bapak ke kandang sapi. Membersihkan kandang adalah salah satu tugasnya pagi-pagi. Mau hujan atau panas atau saat udara dingin-dinginnya dan berkabut atau saat musim angin, tugas itu tidak boleh terlewat. Lalu mengantarkan susu segar untuk pak tua berambut abu-abu itu.
Pagi ini Rusmi bertekad akan menanyakan beberapa hal terkait ekonomi makro dan mikro kepada lelaki yang tampaknya berpengetahuan luas itu.
Pria itu menyapanya seperti biasa dengan bahasa Inggris yang fasih. Ia meminta Rusmi masuk ketika Rusmi mengajukan pertanyaannya di depan pintu.
“Tutup pintunya,” sahut pria tua itu.
Rusmi tak menutup pintu. Ia merasa rikuh berada dalam satu ruangan dengan pria yang kurang begitu dikenalnya. Mereka tak ada hubungan darah dan bukan suami-istri. Pria itu tersenyum. Rusmi berpikir.
Pria itu tersinggung? Rusmi agak takut. Ia menutup pintu dan meminta Rusmi duduk di ruang tengah. ”Lihat itu kaca jendela besar. Siapa pun bisa melihat aktivitas di rumah ini. Tak ada yang ditutupi. Pintu sebaiknya ditutup karena saya tidak suka ada lalat masuk ke dalam rumah,” tegasnya.
Usia Anda berapa?” tanyanya kemudian.
“Delapan belas, Pak,” jawab Rusmi.
“Anak sulung saya empat belas tahun lebih tua dari Anda,” ujar pria tua itu.
Pria itu mengeluarkan beberapa buku dari salah satu rak yang menempel di seluruh dinding rumah. Rusmi, untuk pertama kalinya, merasakan hawa yang begitu menyenangkan dari buku yang berderet-deret itu. Ia tahu dunianya akan terbuka setelah ini.
*****
“Bu, aku deg-degan!” Rusmi mengadu. Kepada ibunya.
Ia menceritakan kepada ibunya tentang rencananya mengangkat topik soal pembalut, gaya hidup wanita, dan perekonomian Indonesia. Keseluruhan paper sebanyak 25 halaman. Ia membuat pengantar tentang warisan gaya hidup masa lalu dan bagaimana menyikapi modernitas.
Ibu memandangi anak gadisnya. Dia tidak tahu apa yang dibicarakan anaknya, tapi ia tahu itu hal yang baik. Rusmi terdiam. Ibunya diam. Dalam diam Rusmi menangkap yang tersirat. Tulus demi kebaikan sebanyak mungkin wanita. Rusmi sendiri tak menceritakan kejadian di toilet beberapa minggu lalu. Ia tak lupa, tapi ia akan menyimpan serapi-rapinya di dalam hati. Rusmi menunduk dan bergabung merajang tembakau bersama Ibu.
Menjelang paper dikumpulkan, Rusmi menjumpai lagi pria tua yang mengesankan itu.
“Paper Anda bagus, tapi benang merahnya belum tampak,” ujarnya lugas.
“Urusan pembalut wanita pun urusan negara. Empiris. Anda sudah mengangkat hal yang tepat,” lanjutnya. Rusmi merasa hatinya berbunga-bunga.
*****
Laki-laki dengan rambut jambul berdiri di depan kelas. Tersenyum. Baru Rusmi tahu kemarin, namanya Bramantyo. Rusmi datang terengah-engah, hampir terlambat. Bus dengan ongkos tujuh ribu rupiah sampai di Terminal Gadang, mesinnya tiba-tiba berasap. Penumpang berjejalan ingin berusaha menjadi yang pertama keluar dari bus. Rusmi keluar belakangan dan ia kemudian naik bus berikutnya dengan tambahan ongkos. Tapi ia berusaha konsentrasi pada paper-nya dan tak terlalu memikirkan bagaimana ia akan pulang nanti. Mungkin jalan. Membayangkannya saja, ia hampir pingsan.
Tiap mahasiswa lalu membacakan judul berikut sinopsis paper-nya. Saat Rusmi membaca judul paper-nya, ia ragu-ragu. Di sudut lain ia mendengar ada yang cekikikan. Ia tahu siapa.
“Ya, Anda. Anda yang pertama maju untuk mempresentasikan paper Anda,” ujar dosen berperawakan kecil dan berdahi lebar itu.
Lutut Rusmi bergetar saat berdiri. Ia rasanya sudah berhasil mempermalukan dirinya sendiri. “Dari mana dasar-dasar referensi Anda?” tanya dosennya.
Rusmi menyebut nama tetangganya dan disambut senyum lebar dosen berperawakan kecil itu. Untuk pertama kalinya Rusmi melihat sosok angker itu tersenyum. Ia sedikit bingung.
“Beliau itu pakar ekonomi dan budayawan yang mengisi banyak jurnal ekonomi, Saudara-Saudara. Kita sebaiknya mengagendakan pergi ke rumah saudari Rusmi dan bikin janji bertemu dengan pakar ekonomi itu. Jika Anda setuju,” sambut Pak Dosen, bersemangat. Suasana kelas tiba-tiba terasa cair.
Di ujung jalan, Sabrina menemui Rusmi. Sendiri, tanpa teman-teman grupnya. Ia meminta maaf. “Kita berteman?” Rusmi pun tersenyum.
Bram menghampiri Rusmi sambil memandangi Sabrina yang lekas-lekas meninggalkan Rusmi karena melihat lelaki yang mulai tumbuh kumis itu mendekat. Bram ingin mengantar Rusmi pulang. Rusmi tergugu, dalam khayalnya terlintas wajah Ibu, sambil berusaha tenang saat tangan Bram meraih bahunya. Hati Rusmi mulai mekar di Kota Malang yang sudah tak terasa jauh lagi dari desanya. (f)
Baca Juga:
Cerpen : Kawin Perak
Cerpen: Wanita Siam
Cerpen: Pagi Harinya Aku Teringat…
Topic
#cerpen, #ceritapendek, #fiksi