
Dok: Shutterstock
Ia memang jadi tampak aneh di antara gadis-gadis sebayanya di kampus. Ndeso banget, begitu mungkin istilahnya.
Letak desa Rusmi sembilan belas kilometer dari Kota Malang. Ia melihat dirinya jauh dan terasing, bahkan dengan kota terdekat sekalipun. Tapi, itu bukan hiperealitas dalam tempurung kepalanya. Ia memang sungguh-sungguh merasa terasing. Pagi itu ia sedang termangu di dalam toilet kampusnya.
Ia merogoh tas belacu pemberian tetangga yang menyewa rumah anak Pak Dukuh setahun belakangan ini. Anak Pak Dukuh sendiri memilih tinggal di Jambi mengurus kebun kopi. Di sini menjadi petani tembakau nasibnya tak menentu. Tetangga yang ia maksud, seorang pria berambut abu-abu sebahu,yang selalu ia datangi tiap pagi untuk mengantar susu sapi segar yang diperah dari sapi peliharaan Bapak di depan rumah.
“Good morning, Rus. Do you have a class today?” tanya beliau. Bapak ini selalu berbahasa Inggris kepadanya.
“Good morning, Sir. Yes, Sir,” jawab Rusmi, gugup.
Tas belacu itu yang selalu ia pakai ke kampus adalah pemberian bapak berambut abu-abu itu. Kata pria itu, tulisan yang ada di tas belacu itu berbahasa Italia. Entah apa artinya.
Rusmi termangu. Kepalanya pusing. Mungkin karena lapar, mungkin karena sedang datang bulan. Ia hendak mengeluarkan botol bekas air mineral yang ia isi air kendi. Pintu toilet didorong seseorang. Botol pun meloncat dari tas belacu dan oh… pembalut dari bahan handuk lembut warna putih juga turut mencelat! Mahasiswi cantik memungut pembalut Rusmi yang khas itu dengan tangkas.
Sabrina, mahasiswi baru populer seangkatan Rusmi di fakultas ekonomi. Pembawaannya menarik, semenarik model-model di majalah wanita ibu kota.
“Mana, Sab! Jangan!” pekik Rusmi antara menghiba dan malu sejadi-jadinya.
Sabrina, makin dilarang makin keluar isengnya. Ia malah membawa benda putih bertali itu ke luar toilet sambil tertawa-tawa. Antara heran dan kegirangan, ia seolah mendapat lelucon yang sungguh lucu. Ia pegangi ujung talinya dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Tangan kanannya berkacak pinggang. Kawan-kawan segrupnya mengikuti ulah Sabrina. Sabrina beraksi, barang yang paling pribadi milik kawannya ia umbar-umbar.
Beberapa mahasiswa melintas, menengok gerombolan gadis-gadis yang sedang mencari perhatian. Beberapa ikut tersenyum-senyum. Yang peka justru menampakkan wajah murung, mengerti bahwa di antara mereka ada yang sedang berwajah mendung, karena merasa dipermalukan.
“Oh my gosh. Kamu jadul banget, sih? Enggak mampu beli pembalut? Atau pelit?” seru Sabrina.
“Ups!” pekik Sabrina manja. Pembalut bertali itu terlepas dari tangannya dan menyangkut di dahan perdu dan terjatuh di selokan. Masih beruntung selokan sedang kering.
Rusmi turun ke selokan memungut pembalutnya. Wajahnya memerah. Tapi, Rusmi tak menggubris keramaian itu. Ia langsung masuk ke toilet. Dan menutup pintunya pelan. Ia hapus-hapus noda di permukaan handuk kecil itu. Juga menghapus air matanya yang berderai. Ia mencoba menenangkan diri dengan meminum air kendi dalam botol bekas air mineral. Ia membersihkan diri dan mengganti pembalut yang sudah kotor. Ia memang jadi tampak aneh di antara gadis-gadis sebayanya di kampus. Ndeso banget, begitu mungkin istilahnya.
Bagi Rusmi semuanya masih serba mungkin. Mungkin ia bisa meneruskan kuliah, mungkin juga tidak. Biaya kuliah tidak murah. Sejak awal ia tahu itu. Ibunya ngotot dan ia juga ingin. Tapi, bapaknya hanya diam saja memandangi istri dan anak sulungnya. Gadis itu setia menonton televisi dan selalu menyebut-nyebut ingin menjadi ekonom seperti Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ia kembali memastikan tak ada bercak merah tertinggal di toilet. Nanti, di rumah pembalut kotor tinggal direndam air hangat dan sabun cuci batangan, lalu dijemur. Bertahun-tahun ia lakukan itu. Tiap enam bulan sekali, ibunya akan memeriksa apa perlu menjahit yang baru.
Rusmi rasanya tak ingin keluar dari toilet. Ia ngeri semua mata memandanginya dan seperti ‘menghakiminya’. Baginya sudah terbuka segalanya. Kepalanya berputar-putar membayangkan apa yang dipikirkan teman-teman yang menertawakannya. Mereka juga perempuan kan, dan mengalami hal yang sama tiap bulan. Hanya soal pembalut saja yang berbeda, dan itu sudah menjauhkan dirinya, ia seperti terasing. Rusmi berjalan menunduk, menuju kelas mata kuliah dasar perekonomian Indonesia.
Sabrina dan kawan-kawannya tak menggubrisnya. Seperti tak terjadi apa-apa. Rusmi duduk di deretan paling kiri, menjauhi Sabrina dan kawan-kawannya. Seorang lelaki berjambul tersenyum dan mengambil tempat duduk di samping Rusmi. Rusmi yang lugu, Rusmi yang menunduk.
“Rusmi, ya?” Rusmi mengangguk.
“Dosen kita ini sering bikin artikel di opini surat kabar nasional. Kata kakak tingkat yang saya kenal, dia enggak pernah bikin tes tulis. Kuisnya bikin makalah kecil, lalu dipresentasikan di depan kelas,” ujarnya, memberi informasi tanpa diminta.
Lelaki itu sudah tahu namanya, sedang Rusmi belum tahu apa pun tentang lelaki yang duduk di sampingnya ini. Rusmi makin menunduk.
*****
Topic
#cerpen, #ceritapendek, #fiksi