
“Ba a kaba abak kau?*” sambilmenyalakan mesin mobilnya, ia membuka percakapan kaku di antara kami. Tidak seperti perjalanan ketika menjemputku dari bandara tadi yang hening, kali ini Apak Asrul mau berbasa-basi.
Aku belum sempat menjawab ketika ia melanjutkan pertanyaannya.
“Kenapa dia tak datang sendiri ke sini. Bertahun-tahun kami tak jumpo. Kenapa cuma kau yang dikirimnya untuk mengambil buku itu?”
Siapa pun dapat melihat rasa kecewa yang tertahan lewat kata-katanya. Lebih jelas lagi jika melihat matanya yang sedikit lembap.
Aku menghela napas tertahan. Kemarin pagi saat tersadar dari tidur panjangnya di ranjang rumah sakit, Bapak memintaku menemui Apak Asrul untuk mengambil titipannya. Titipan apa?
Saat itu aku belum tahu dan tak sempat bertanya karena napas Bapak mulai tersengal lagi sehingga harus dipasangi oksigen kembali. Ibu melihatku dengan tatapan memohon. Maka, dengan berbekal nomor ponsel Apak Asrul dari Ibu, aku segera memesan tiket pesawat ke Padang.
Sampai saat ini Apak Asrul hanya tahu aku datang untuk meminta barang milik Bapak. Seperti yang telah kusampaikan lewat SMS sebelumnya. Kukatakan aku sangat terburu-buru sehingga meminta kesediaannya untuk menyegerakan dan mempersingkat pertemuan kami.
Hal pertama yang kudapati ketika pertama kali melihatnya di bandara adalah wajah kecewa.
“Abak kau?” tanyanya pelan. Matanya mencari-cari.
Kepalaku menggeleng lemah saat itu. “Aku datang sendiri, Pak.” Aku mencium tangannya takzim seperti aku mencium tangan bapakku sendiri. Ini pertama kalinya aku tahu Bapak punya kawan karib. Sebelum ini, yang kutahu Bapak hanya memiliki kenalan.
Aku berdehem pelan. Membuat Apak Asrul berpaling dari tatapannya ke depan padaku. Mobil melaju pelan. “Bapak kritis, Pak. Saat sadar kemarin tiba-tiba Bapak minta aku menemui Apak Asrul.”
Apak Asrul, yang meskipun telah berumur seperti Bapak, masih gagah dan garang dengan kulit gelapnya, tak kusangka tidak mampu menahan laju air matanya yang turun dengan segera. Ia tampak terkejut. Dan ia menangis dalam hening. Wajahnya mengendur kembali menatap lurus ke depan.
Maka, dalam hitungan detik air mataku pun ikut turun. Bukan karena menangisi bapakku yang kritis, tapi haru dan heran bercampur mendapati kenyataan bahwa Bapak memiliki sahabat yang ikut merasakan kesakitannya. Bapakku yang dingin dan pendiam.
Mobil kami melewati masjid yang tadi dimaksud Apak Asrul. Masjid seperti inilah yang kini lebih sering didatangi Bapak di Jakarta, bukan lagi surau kecil masa kanak-kanaknya dalam bayanganku. Apak Asrul masih tenggelam dalam keheningannya hingga tak begitu menghiraukan apa yang kami lewati. Sedalam itu persahabatan mereka. Masih ada sisa air yang menggantung di sudut matanya.
“Pak, bagaimana bisa Bapak menulis sebuah buku? Apalagi ini buku fiksi. Aku tak pernah melihat Bapak membaca buku jenis ini.”
Pertanyaan itu kulontarkan untuk dua alasan. Pertama tentu untuk menuntaskan rasa penasaranku. Ini sisi Bapak yang tak kukenal. Ini dunia yang tak pernah kuduga pernah disinggahinya. Kedua, untuk memecah keheningan yang memilukan bagiku, terlebih bagi Apak Asrul.
Ada senyum tiba-tiba muncul di wajah Apak Asrul yang merona, meski masih sembap. Seolah ada kabar bahagia hendak ia bagi dengan segera. Sirna raut kecewa yang sedari tadi menggantung di sana.
“Abak kau itu penyair teri. Syairnya kecil-kecil, tapi banyak. Melimpah ruah,” katanya, sambil tertawa geli. “Tiap hari...ah, bukan... tapi tiap waktu apa saja yang dilihatnya dijadikan puisi,” lanjutnya, menggebu.
“Disebut penyair teri karena syairnya pendek-pendek, tapi bertebaran. Gurih-gurih membuat ketagihan. Sedap dicampur di banyak masakan. Artinya menyenangkan di tiap suasana. Syairnya terkadang terlalu datar, terkadang terlalu dalam. Menjadi gurauan untuk kami semua.” Ia tertawa lebar hingga tampak gigi menguningnya.
Aku tersenyum menghargai. Rasanya aku sedang mendengar cerita tentang orang lain, bukan bapakku. Tidak ada sedikit pun karakter Bapak ada dalam cerita itu.
Setelah menghela napas panjang, Apak Asrul melanjutkan ceritanya.
Aku belum sempat menjawab ketika ia melanjutkan pertanyaannya.
“Kenapa dia tak datang sendiri ke sini. Bertahun-tahun kami tak jumpo. Kenapa cuma kau yang dikirimnya untuk mengambil buku itu?”
Siapa pun dapat melihat rasa kecewa yang tertahan lewat kata-katanya. Lebih jelas lagi jika melihat matanya yang sedikit lembap.
Aku menghela napas tertahan. Kemarin pagi saat tersadar dari tidur panjangnya di ranjang rumah sakit, Bapak memintaku menemui Apak Asrul untuk mengambil titipannya. Titipan apa?
Saat itu aku belum tahu dan tak sempat bertanya karena napas Bapak mulai tersengal lagi sehingga harus dipasangi oksigen kembali. Ibu melihatku dengan tatapan memohon. Maka, dengan berbekal nomor ponsel Apak Asrul dari Ibu, aku segera memesan tiket pesawat ke Padang.
Sampai saat ini Apak Asrul hanya tahu aku datang untuk meminta barang milik Bapak. Seperti yang telah kusampaikan lewat SMS sebelumnya. Kukatakan aku sangat terburu-buru sehingga meminta kesediaannya untuk menyegerakan dan mempersingkat pertemuan kami.
Hal pertama yang kudapati ketika pertama kali melihatnya di bandara adalah wajah kecewa.
“Abak kau?” tanyanya pelan. Matanya mencari-cari.
Kepalaku menggeleng lemah saat itu. “Aku datang sendiri, Pak.” Aku mencium tangannya takzim seperti aku mencium tangan bapakku sendiri. Ini pertama kalinya aku tahu Bapak punya kawan karib. Sebelum ini, yang kutahu Bapak hanya memiliki kenalan.
Aku berdehem pelan. Membuat Apak Asrul berpaling dari tatapannya ke depan padaku. Mobil melaju pelan. “Bapak kritis, Pak. Saat sadar kemarin tiba-tiba Bapak minta aku menemui Apak Asrul.”
Apak Asrul, yang meskipun telah berumur seperti Bapak, masih gagah dan garang dengan kulit gelapnya, tak kusangka tidak mampu menahan laju air matanya yang turun dengan segera. Ia tampak terkejut. Dan ia menangis dalam hening. Wajahnya mengendur kembali menatap lurus ke depan.
Maka, dalam hitungan detik air mataku pun ikut turun. Bukan karena menangisi bapakku yang kritis, tapi haru dan heran bercampur mendapati kenyataan bahwa Bapak memiliki sahabat yang ikut merasakan kesakitannya. Bapakku yang dingin dan pendiam.
Mobil kami melewati masjid yang tadi dimaksud Apak Asrul. Masjid seperti inilah yang kini lebih sering didatangi Bapak di Jakarta, bukan lagi surau kecil masa kanak-kanaknya dalam bayanganku. Apak Asrul masih tenggelam dalam keheningannya hingga tak begitu menghiraukan apa yang kami lewati. Sedalam itu persahabatan mereka. Masih ada sisa air yang menggantung di sudut matanya.
“Pak, bagaimana bisa Bapak menulis sebuah buku? Apalagi ini buku fiksi. Aku tak pernah melihat Bapak membaca buku jenis ini.”
Pertanyaan itu kulontarkan untuk dua alasan. Pertama tentu untuk menuntaskan rasa penasaranku. Ini sisi Bapak yang tak kukenal. Ini dunia yang tak pernah kuduga pernah disinggahinya. Kedua, untuk memecah keheningan yang memilukan bagiku, terlebih bagi Apak Asrul.
Ada senyum tiba-tiba muncul di wajah Apak Asrul yang merona, meski masih sembap. Seolah ada kabar bahagia hendak ia bagi dengan segera. Sirna raut kecewa yang sedari tadi menggantung di sana.
“Abak kau itu penyair teri. Syairnya kecil-kecil, tapi banyak. Melimpah ruah,” katanya, sambil tertawa geli. “Tiap hari...ah, bukan... tapi tiap waktu apa saja yang dilihatnya dijadikan puisi,” lanjutnya, menggebu.
“Disebut penyair teri karena syairnya pendek-pendek, tapi bertebaran. Gurih-gurih membuat ketagihan. Sedap dicampur di banyak masakan. Artinya menyenangkan di tiap suasana. Syairnya terkadang terlalu datar, terkadang terlalu dalam. Menjadi gurauan untuk kami semua.” Ia tertawa lebar hingga tampak gigi menguningnya.
Aku tersenyum menghargai. Rasanya aku sedang mendengar cerita tentang orang lain, bukan bapakku. Tidak ada sedikit pun karakter Bapak ada dalam cerita itu.
Setelah menghela napas panjang, Apak Asrul melanjutkan ceritanya.
Topic
#cerpen, #fiksi