Dok: Femina
Kriiingggg....! Kriiingggg...! Kringgggg...!
“Ya, Tuhan. Ini kan hari Minggu. Kenapa masih juga berisik!” maki Ari dengan mata terpejam. Dari balik selimut, tangannya bergerilya mencari bantal. Begitu didapatkan apa yang diinginkan, segera ditekan kencang-kencang bantal itu ke telinga.
Toni, suami Ari, juga terbangun paksa gara-gara terganggu suara dering beker. Tapi alih-alih marah, laki-laki itu malah tertawa. Dering beker itu memang menjengkelkan, tapi menertawakan tingkah laku istrinya jauh lebih menyenangkan.
“Percuma memasang alarm kalau tetap tidak bangun,” sungut Ari.
“Namanya juga orang tua, Sayang,” kata Toni. “Kemampuan mendengarnya sudah berkurang banyak.”
Sudah lebih dari sebulan tetangga sebelah rumah mulai rajin memasang alarm. Tak tentu kapan ia menggunakan beker, tak tentu kapan ia menggunakan alarm ponsel. Tapi, akhir-akhir ini lebih sering menggunakan beker. Bagi Ari, kedua alat itu sama-sama mengganggu saat tetangga sebelah tak juga bangun untuk mematikan alarm.
Beker tetangga sebelah disetel pukul empat pagi. Setiap hari, termasuk hari Sabtu dan Minggu.
Pada hari kerja, dering beker yang berbunyi kencang itu memaksa Ari menjadi bangun lebih dini. Bangun pagi sekali membuatnya punya waktu lebih untuk menyiapkan diri. Biasanya ia bangun terlambat. Semenjak ada dering beker tetangga sebelah, ia tak pernah lagi kelimpungan menyiapkan sarapan untuknya dan Toni. Mereka juga tak pernah lagi terlambat sampai di kantor.
Di tengah kesibukan menyiapkan diri sebelum berangkat bekerja, dering alarm itu masih saja berbunyi. Ari dan Toni sering menghabiskan sarapan mereka diiringi suara krang-kring yang menjengkelkan.
“Seperti napi, ya?” komentar Toni waktu itu sembari terkekeh. Ia menenggak habis sisa susu dari mangkok sereal sarapan paginya. “Sirene berbunyi, sarapan sudah harus selesai, siap-grakkk!”
“Khayalanmu kadang terlalu absurd untuk dimengerti,” komentar Ari.
Suasana tiba-tiba senyap.
Alarm tetangga sebelah berhenti berdering. Lima menit kemudian ia kembali membikin keributan dengan nada dan bunyi yang monoton.
Ari langsung memasang wajah masam.
Saat mereka berdua keluar mengendarai motor menuju tempat kerja, barulah dering alarm itu benar-benar berhenti. Tetangga sebelah keluar dari dalam menuju halaman depan rumah. Langkahnya sedikit tertatih sementara kedua tangannya digerak-gerakkan melakukan peregangan.
Laki-laki tua itu seorang pensiunan guru olahraga di sebuah SMA negeri. Dan tentang beker, ia bangun tepat ketika dering pertama berbunyi. Namun, setelah turun dari tempat tidur, ia terus saja beraktifitas tanpa mematikan alarm. Barulah saat keluar rumah, ia berbalik karena ingat harus menghentikan bunyi berisik yang kerap menganggu tetangganya.
Yang kemudian menjadi sangat bermasalah adalah dering beker pada akhir pekan. Padahal bagi Ari dan Toni, akhir pekan adalah waktu yang tepat untuk bangun siang dan bermalas-malasan.
Kriiiing...! Kriingg...! Krriiing...!
“Oh ya, Tuhan.” Ari begitu geram.
Suatu kali ia pernah mengetuk pintu rumah tetangga sebelah. Sebelum keluar, rambutnya yang berantakan dirapikan sekenanya. Ia menyaut jubah tidur dan mengenakan sandal kamar.
Pintu rumah tetangga sebelah dibuka laki-laki pensiunan itu.
Dengan sopan Ari kemudian menjelaskan bahwa dering alarm yang tak segera dimatikan itu mengganggunya.
Tetangga sebelah melongok ke arah kanan. Lalu, menengok ke arah kiri. Ia menatap Ari. Tangannya menunjuk ke arah tetangga sebelah rumahnya di sisi yang lain. “Tapi mereka tak keberatan,” katanya.
Karena tetangga yang sebelah sana adalah pasangan orangtua yang sudah jompo dan setengah budek. Tapi Ari tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya minta pengertian supaya sesaat alarm itu berdering, secepat kilat pula jam itu harus segera dimatikan.
Keesokan hari dering beker itu tak berbunyi sama sekali. Ari dan Toni bangun kesiangan. Mereka hanya minum susu sebagai sarapan. Tapi Ari tak masalah dengan ketergesaan mereka berangkat kantor karena terlambat bangun.
“Aku bahagia karena kupingku tak jadi kopokan karena mendengar suara berisik yang menjengkelkan dari rumah sebelah,” katanya.
Malam harinya Toni pulang dari membeli bola lampu untuk lampu teras belakang yang mati, Ari menyambut suaminya dengan heran. Toni nyengir lebar sekali.
“Aku tadi sempat berpapasan dengan tetangga sebelah,“ katanya.
“Yang dering bekernya memekakkan telinga,” sahut Ari.
“Ya.” Toni mengangguk. “Ia barusan pulang dari minimarket di pojokan sana. Ia membeli baterai baru untuk bekernya. Kemarin tidak berbunyi karena baterainya habis.”
“Ohhh!” seru Ari sembari menepuk jidat. Pundaknya langsung kuyu. Kalau sudah begini, kebiasaan pagi yang berisik oleh dering beker pasti akan kembali terulang.
******
Topic
#cerpen, #fiksi, #ceritapendek