
Tidak dipungkiri, dunia kerja kini makin memungkinkan orang dengan latar belakang bangsa, bahasa, dan budaya berbaur. Mau tak mau kondisi ini memaksa kita untuk melakukan langkah strategis agar pekerjaan tetap lancar.
Komunikasi lintas budaya yang baik menjadi kunci efisiensi dalam organisasi yang multikultural karena kita tidak dapat mengubah budaya. “Salah satu kuncinya adalah adaptasi. Kita tidak bisa memaksakan untuk mengubah budaya karena pasti akan menghadapi benturan budaya,” ujar Ferry W. Atmadi, Executive Director MDITack Traning & Consulting.
Hal ini juga berlaku dalam menghadapi komunikasi lintas budaya dengan budaya dari Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, atau Filipina. “Walaupun memiliki kesamaan nilai-nilai ketimuran, ada perbedaan yang perlu dipahami. Sama ketika kita berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia yang berbeda suku, kita tetap harus peka terhadap perbedaan itu. Terlebih lagi, kita sudah memasuki era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), sehingga, walaupun saat ini kita belum memiliki rekan kerja, atasan, maupun klien orang asing, kita tetap harus menyiapkan kemampuan komunikasi lintas budaya,” papar Ferry.
Untuk beradaptasi dengan perbedaan budaya dan mengatasi benturan budaya, kita perlu melakukan observasi, mempelajari, lalu mengikuti kebiasaan-kebiasaan budaya atasan, rekan kerja, atau klien kita. Namun, kita juga harus cermat memilih perilaku atau kebiasaan yang perlu diikuti atau diadopsi. “Jika baik diikuti, jika tidak baik, ya, tinggalkan. Karena, memaksakan diri mengikuti yang tidak baik atau yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai-nilai yang kita miliki dapat menimbulkan konflik interpersonal dan intrapersonal,” jelas Ferry, mengingatkan.
Namun, di sisi lain, mengubah budaya mungkin dilakukan dengan akulturasi atau perpaduan budaya yang menghasilkan budaya baru. Dalam lingkup perusahaan, membentuk budaya perusahaan (corporate culture) adalah contoh upaya akulturasi dalam perusahaan dengan karyawan yang multikultural. “Inti sari dari tiap budaya diambil dan dijadikan bahan pembuatan aturan umum oleh kantor pusat sebagai etika kerja (work ethic). Untuk menyosialisasikan dan menanamkan etika kerja ini, tiap karyawan baru wajib mengikuti pelatihan dan harus lulus tes akhirnya. Karyawan lama juga harus mengikuti tesnya secara online tiap 2-3 tahun sekali,” papar Ratih.
Hambatan-hambatan dalam komunikasi lintas budaya yang lazim ditemui adalah hambatan fisik, antara lain gangguan suara serta bahasa verbal maupun nonverbal yang berbeda. Selanjutnya adalah hambatan psikologis seperti etnosentris, yaitu pandangan yang melihat suatu bangsa atau budaya sebagai yang paling unggul di dunia. Sikap etnosentris ini dirasakan Ratih dari atasannya yang orang Eropa. “Saya melihat, dia lebih percaya kepada staf ekspatriat dibandingkan yang nasional. Menghadapi pandangan ini, sih, saya memilih membuktikannya dengan prestasi kerja,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, Ferry mengajak agar kita lebih berani dan percaya diri untuk membuktikan diri. “Ketakutan dan keraguan bahwa kita kalah unggul dibandingkan orang asing justru muncul dari dalam diri sendiri. Jadi, sering kali kalah karena kita telanjur merasa rendah diri,” tegasnya. (f)
Topic
#tipkarier