
Ketika sedang ribut bersama pasangan, dunia rasanya seperti akan kiamat. Inginnya segera menumpahkan impitan emosi dan rasa kesal itu melalui sesi curhat panjang kepada sahabat, orang tua, kakak, atau adik. “Meski mereka adalah orang-orang terdekat dan menyayangi kita, langkah ini tidaklah bijak,” ungkap Elly Nagasaputra, M.K., Personal & Marriage Counselor dari www.konselingkeluarga.com
Mengapa demikian? Konflik ini sebenarnya paling lama hanya akan bertahan beberapa bulan. Dan setelah selesai, pasangan ini kembali bersama, mesra, dan happy lagi. Tetapi, tidak demikian dengan kesan atau persepsi negatif tentang pasangan yang kini terekam dalam memori orang-orang terdekat yang mendengar curhatan Anda. Tentunya, hal ini akan berpengaruh pada keharmonisan relasi antara pasangan dengan orang-orang terdekat Anda itu.
Kedekatan emosional dengan orang yang Anda curhati juga sulit berpengaruh pada netralitas mereka saat memandang masalah. Bahkan, komentar atau masukan mereka ini bisa makin membuat panas suasana hati Anda. Sehingga, bukannya selesai, konflik malah makin menajam. Kalaupun mereka tidak memberi saran, aib Anda sudah telanjur tersebar.
“Sangat disarankan untuk mencari pihak yang tidak hanya netral, tapi juga memiliki bekal keilmuan secara teori dan praktik, serta kode etik profesional yang akan menjaga kerahasiaan masalah Anda. Sehingga, Anda tidak hanya datang untuk curhat, tapi juga mendapatkan solusi yang telah teruji,” jelas Elly.
Dalam konseling inilah pasangan belajar bagaimana mengomunikasikan keinginannya, belajar mendengar, belajar marah, dan menegosiasikan egonya. “Saya senang belakangan ini makin banyak pasangan pranikah yang datang untuk berkonsultasi,” lanjut Elly Mereka ini menyadari bahwa akan lebih mudah untuk mengawalinya dengan cara yang benar, daripada harus membenahinya di kemudian hari. Sebab, ‘harga’ yang harus dibayar bisa sangat mahal, yaitu waktu, emosi, dan penyesalan.
Naomi Jayalaksana