Trending Topic
Budaya Makan Orang Indonesia

17 Oct 2015

Ditarik ke akar budaya, menurut Sitta Manurung, seorang praktisi kuliner yang juga berkecimpung dalam bidang sosiologi pangan, suku bangsa di Indonesia memiliki  aneka ragam budaya menyangkut kebiasaan menyiapkan makan. Masyarakat Batak mengenal istilah ’Taramak sobalu non, parabi naso mittop, parsankalan nasora mahiang’. Artinya, tikar yang tak pernah digulung, api (tungku dapur) yang tak pernah padam, talenan yang tak pernah kering. Pepatah ini menggambarkan kebiasaan orang Batak yang senang saling bertamu.
   
Dalam Serat Centhini --salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa baru yang menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa-- tamu diibaratkan sebagai raja. Diceritakan bahwa orang yang kemalaman akan diajak menginap di rumah. “Ini artinya, di dapur dan meja makan harus tersedia makanan. Walaupun kondisi mereka miskin, karena tamu diibaratkan sebagai raja, tetap harus ada
 
Selain itu, dalam budaya kita, tidak ada istilah menolak tamu yang datang ke rumah. Belum lagi, stigma tentang nyonya rumah yang baik adalah yang memberikan suguhan untuk tamunya. “Sehingga jika ada nyonya rumah yang menolak tamunya atau tidak memberikan suguhan akan mendapat gunjingan dari masyarakat. Ini dianggap sebagai aib,” jelas Sitta.

Hal itu turut menjadi penyebab mengapa banyak rumah tangga yang jadi terbiasa untuk selalu menyediakan makanan lebih. Kekhawatiran tidak memiliki makanan yang cukup untuk disuguhi memang membuat generasi orang tua kita terbiasa memasak dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah sesungguhnya penghuni rumah. Apa yang kemudian terjadi di tiap dapur rumah tangga adalah kebiasaan memasak dalam porsi besar.

Dampaknya, kita menjadi tidak terbiasa menghitung berapa porsi makanan yang harus dimasak. “Kepiawaian kita untuk menghitung secara akurat pun berkurang sehingga tidak ada perencanaan dalam memasak. Alhasil, makanan kerap bersisa,” kata Sitta.  

Sitta juga menjelaskan tentang budaya Jawa ningrat yang memiliki tata krama kesopanan saat makan. Budaya yang berakar pada sistem kerajaan ini beranggapan bahwa menghabiskan makanan yang ada di piring tanpa sisa dianggap sebagai perilaku yang tidak sopan. “Aturan makan seperti ini juga menunjukkan strata sosial, karena biasanya dilakukan oleh kalangan darah biru. Hal ini sedikit banyak membuat kebiasaan menyisakan makanan menjadi hal yang lumrah,” jelasnya.

Diakui Sitta, budaya makan ini memang kental terasa pada generasi orang tua kita. Tapi, nilai-nilai yang ditanamkan ini tidak bisa serta-merta berubah semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun kini mulai bergeser dengan  makin banyaknya generasi muda yang lebih peduli pada bagaimana mereka mengonsumsi makanan. Walaupun kepedulian mereka lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kesehatan. Tentang pentingnya mengonsumsi makanan sehat.

“Kalau dilihat kekinian, mengapa kita kerap memiliki makanan sisa, lebih karena faktor konsumtif. Keinginan kita untuk membeli  aneka macam makanan yang dijual  membuat kita  makin longgar untuk membeli, padahal belum tentu dibutuhkan. Pada akhirnya, makanan yang sudah dibeli tidak termakan, bersisa, dan terbuang,” jelas Sitta.

Harus diakui, dari sekian banyak  barang konsumsi yang ditawarkan, yang paling menarik dan banyak dicari orang adalah makanan. Tak jarang pula, mereka membeli makanan tersebut tidak untuk dikonsumsi saat itu juga, tapi untuk disimpan.

Tawaran makanan dalam bentuk paket sebenarnya bisa menjadi jebakan bagi konsumen untuk membei lebih banyak makanan dari porsi yang sebenarnya ia butuhkan. “Terlihat hemat, tapi sebenarnya itu hanya ilusi, karena kita berhitung pada angka, bukan pada kebutuhan tubuh dan sesungguhnya kita sudah menimbun makanan. Jadi, belilah yang benar-benar dibutuhkan,” jelas Sitta. (f)

Faunda Liswijayanti

Baca juga:
Stop Buang Makanan