
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), obat palsu banyak ditemukan di negara-negara yang lemah kebijakan tentang obat-obatan dan lemah penegakan hukumnya. CDC memperkirakan, 10% - 30% obat-obat yang dijual di negara berkembang adalah obat palsu, sementara di negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, tingkat peredaran obat palsunya mungkin hanya sebesar 1%.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia rentan sekali menjadi sasaran empuk para produsen obat palsu. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap, telah menemukan 14 jenis obat palsu pada tahun 2014. Data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, ada beberapa merek obat dan jenis obat yang diduga kerap dipalsukan dan berbahaya bagi konsumen. Obat-obat tersebut di antaranya: ponstan (obat pusing dan kerap digunakan penderita sakit gigi) dan viagra (obat kuat), juga kodein (obat pereda sakit ringan sering digunakan sebagai obat batuk), analgesik (pereda rasa sakit), diazepam (obat penenang), neorobion injeksi (vitamin), kortison asetat (obat antiradang), obat vaksin, mikotik (obat antijamur), amoxan (antibiotik), incidal (obat antialergi), dan lain-lain.
Menurut Kepala BPOM, Roy Sparringa, masih maraknya peredaran obat palsu di Indonesia bukan berarti pihaknya mengabaikan. “Kami bekerja keras untuk memeranginya,” ujar Roy. Berapa banyak jumlah obat palsu yang ada di pasaran? “Kita tidak pernah tahu secara pasti,” kata Roy.
Terbaru, Juni lalu, BPOM menggelar operasi Pangea. Aksi sepekan yang digelar pada 9 – 16 Juni 2015 yang diikuti serentak oleh 115 negara, mendapati temuan mencapai 20,7 juta kemasan produk ilegal, termasuk palsu, yang dijual secara online. Pada operasi yang telah digelar untuk kedelapan kalinya ini, berhasil diidentifikasi 216 situs internet yang memasarkan obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, dan kosmetik ilegal, termasuk palsu.
Lalu, ada pula 26 situs internet yang memasarkan obat yang disalahgunakan sebagai penggugur kandungan. Dalam operasi ini, ditemukan produk yang palsu, antara lain pada obat sejumlah 138.834, obat tradisional 2.972.980, dan suplemen sejumlah 10.269.
E-commerce memang sedang tren, dan transaksi segala rupa produk berpindah ke online. Akan tetapi, menurut Roy, untuk produk farmasi, jalur online ini dikategorikan sebagai channel yang tidak aman. WHO bahkan menyebut, sebanyak 50% obat yang dijual secara online oleh situs ilegal yang menyembunyikan alamat asli mereka, produknya adalah obat palsu.
Ficky Yusrini