Tiap Lou melihat orang yang mirip, baik secara fisik, gaya bicara, atau apa pun mengikuti firasatnya. Lou selalu bertanya, “Apakah Anda punya saudara laki-laki yang lahir sekitar tahun 1982 atau 1983 yang hilang atau tidak ada kabar?” Namun, hingga kini, setelah 8 tahun Lou berusaha dan terus berharap, gadis itu masih belum menemukan apa-apa.
“Kakak perempuannya yang meyakini itu anggota keluarga mereka. Ketika aku memperlihatkan foto baju dan foto kadaver itu, wanita itu terpekik. Menangis tersedu-sedu. Dia yakin, kadaver itu adalah adiknya.” Jay menjelaskan di tengah perjalanan, setelah kemarin dia bercerita kepada Lou bahwa di rumah sakit tempatnya bertugas dia pun selalu melakukan hal yang sama dengan Lou.
Membuka mata dan telinganya dari keluarga atau siapa pun yang kehilangan anggota keluarganya. Semua staf Jay tahu garis besar cerita di balik kegiatan Jay yang selalu banyak bertanya.
Hingga ada salah satu pegawai rumah sakit tempat Jay bertugas bercerita, ada kerabat jauh yang kehilangan anggota keluarga yang merantau ke Jakarta.
Lalu, perlahan pencarian itu menemukan kabar baik ketika Lou mengirimkan foto kadaver dan foto baju terakhirnya. Keluarga yang tinggal di pedalaman Mesuji, Lampung, di dalam rumah kayu yang panjang di antara rimbun perkebunan sawit, keluar satu demi satu ketika mobil yang ditumpangi Lou dan Jay tiba.
Lou menggenggam erat tangan wanita tua yang mengaku sudah banyak lupa, merengkuh bahu wanita lainnya yang terus menerus menangis. Mereka duduk bertiga saling berpegangan erat, mendengar sedikit kisah dari Lou.
Bagaimana Rasyid adalah sosok yang baik dan suka menolong di kala hidupnya. Bahkan setelah kematiannya, Rasyid adalah orang yang paling berjasa untuk banyak orang.
Untuk pertama kalinya, setelah sekian banyak tugas-tugas dokter yang Lou jalani, ia merasa telah melakukan sesuatu. (f)