
Bahaya asap rokok terhadap kesehatan orang dewasa dan anak-anak, sepertinya masih dianggap sebagai angin lalu. Sejumlah peraturan diberlakukan, termasuk menyediakan ruang khusus merokok di area publik, tetapi sayangnya kita masih saja mendapat paparan asap rokok. Tak jarang kita menemukan sesama penumpang angkutan umum dengan seenaknya merokok, dan orang dengan mudahnya membeli rokok dengan harga yang sangat tejangkau.
Di tengah paparan rokok yang begitu besar, bagaimana cara Anda melindungi anak-anak dari bahaya asap rokok? Selain sebagai third hand atau second hand smoker, faktanya, ditemukan banyak kasus perokok masih usia anak-anak. Dalam sehari, setidaknya ada sejumlah 3.000 anak mengisap rokok pertama mereka. Menurut dr. Triwibowo Ginting dari Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta, problem ini berkaitan dengan cara pandang orang tua terhadap rokok. Ini menjadi penyebab mengapa anak merokok.
1/ Karena contoh dari orang tuanya atau lingkungan terdekat di sekitar anak.
2/ Mereka mencari panutan. Ketika mereka melihat orang-orang dewasa lain di sekitar mereka banyak yang merokok, maka rokok adalah hal yang familiar.
3/ Mereka melihat peer group-nya. Mereka tak kuasa menolak ajakan merokok dari temannya. Bukan hal yang aneh lagi melihat pemandangan segerombol anak SMA merokok bareng. Bahkan, sekarang bukan hanya anak SMA, tapi juga usia SMP dan SD!
4/ Mereka biasanya merokok sebagai aksi untuk menentang otoritas. Makin dilarang, mereka makin ingin tahu.
5/ Merokok karena dalam kondisi yang negatif. Misalnya, sedih dan pola hubungan dalam keluarga tidak harmonis. Kondisi negatif itu membuat mereka mencari pelarian ke rokok.
6/ Bermula dari coba-coba, atau experimental user. “Karena ada efek nikotin sebagai zat adiktif, kebiasaan itu kemudian berulang dan mereka tidak bisa berhenti merokok,” ujar dr. Tri.
Faktor lain yang juga turut menyumbang naiknya jumlah perokok pemula adalah iklan. Begitu masifnya produsen rokok ini beriklan di televisi, baliho, spanduk, dan juga mensponsori berbagai acara, mulai dari olahraga, pentas seni (pensi) di sekolah, konser musik, film, aktivitas pendidikan, hingga (yang ironis) kegiatan keagamaan. Mereka seolah menutup mata bahwa sasaran yang terpapar dari iklan tersebut bukan hanya mereka yang berusia di atas 18 tahun, tapi juga anak usia sekolah.
Pada tahun 2013, Komnas Anak melakukan survei untuk mencari tahu pengaruh iklan terhadap ketertarikan anak pada rokok. Survei dilakukan terhadap 10.000 anak (usia 10-14 tahun) dari 10 kota di Indonesia, yaitu Medan, Padang, Lampung, Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Banjarmasin, Palu, dan Mataram. Hasil survei menunjukkan, anak-anak terpapar iklan rokok antara lain lewat media televisi (92%), diikuti oleh media luar ruang, yaitu spanduk (50%), iklan di warung/ toko (38%), koran dan majalah (25%), konser musik (17%), internet (16%), olahraga (6%), dan radio (5%).
Dari survei ini ditemukan pula, sebanyak 15% responden mengaku tertarik membeli rokok setelah melihat iklan rokok. Sebanyak 9% tertarik mencoba merokok, dan 3% mengaku tertarik membeli rokok setelah mengikuti acara yang disponsori perusahaan rokok. (f)