Trending Topic
Waspada AIDS Sebelum Terlambat!

1 Dec 2011

Menurut laporan UNAIDS 2010, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan epidemi HIV/AIDS tertinggi di Asia. Pada akhir 2009, diperkirakan ada 333.200 ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di Indonesia dan 25% di antaranya adalah wanita.

“Bayangkan saja, ada 3,1 juta pria yang gemar ‘jajan’ seks dan sebagian besar dari mereka tidak melakukan hubungan seks yang aman. Istri di rumah pun berisiko tertular penyakit yang dibawa suaminya,” ujar Dr. Nafsiah, Mboi, Sekretaris Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), prihatin.

Tak mengherankan, jika penularan AIDS melalui hubungan seks heteroseksual adalah yang tertinggi di Indonesia, yaitu 49,3%. Sedangkan penularan melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril sebanyak 40,4%.

“Selama ini KPAN berusaha untuk mengedukasi mereka (WPS (wanita pekerja seks) dan kliennya) agar menggunakan kondom, sehingga bisa mencegah penularan penyakit infeksi menular seksual. Tapi, para pria selalu menolak dengan alasan mengurangi kenikmatan,” jelas Nafsiah.

Lebih lanjut, ia menelaah, sesungguhnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya penggunaan kondom sudah lebih dari 90%. Sayangnya, sebagian besar masih mengutamakan kenikmatan dibandingkan keamanan. Padahal, jika seseorang sudah terkena infeksi menular seksual, risiko terkena HIV/AIDS meningkat dua kali lebih besar.

Tak ada orang yang ‘tak tersentuh’ epidemi HIV/AIDS. Semua berisiko, meski kita berpikir tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan risiko. “Karena itu, penyuluhan terhadap masyarakat umum harus dijalankan, meski yang menjadi prioritas dalam program HIV/AIDS adalah pencegahan pada kelompok berisiko tinggi. Karena, masyarakat umum pun memiliki risiko tertular,” tegas Prof. Samsuridjal yang telah menangani kasus HIV/AIDS sejak tahun 1987.

Menurutnya, kelompok yang juga penting diperhatikan adalah ibu hamil. Meski angka penyebaran HIV di kalangan ibu hamil masih rendah, sebaiknya ibu hamil melaksanakan tes HIV. “Jika positif, dapat diusahakan agar anaknya tak tertular. Program ini baru dilakukan di 10 provinsi. Semoga setiap pemerintah daerah mulai menjalankannya, sehingga ibu hamil di seluruh Indonesia dapat mencegah penularan HIV kepada bayinya,” harapnya.

Kekhawatiran Prof. Samsuridjal muncul dari pengamatannya terhadap jumlah pasien anak-anak dengan HIV positif. “Di RSCM, Poli Anak telah melayani lebih dari 300 anak dengan HIV positif. Pelayanan pada anak tidak mudah. Diagnosis harus dilakukan dengan cepat dan tepat, karena kematian cepat terjadi. Obat di negeri kita masih mengutamakan bentuk obat untuk dewasa, yaitu tablet. Layanan untuk HIV pada anak pun belum merata. Jika anak memasuki usia sekolah, belum banyak sekolah yang bersedia menerima. Belum lagi kesulitan memberi tahu anak bahwa dia HIV,” tuturnya.

Tak hanya harus bergulat dengan virus yang terus menggerogoti sistem kekebalan tubuh dan berjuang melawan kematian, ODHA juga harus siap bertarung melawan stigma masyarakat yang perlahan membunuh jiwa mereka. Cap bahwa HIV/AIDS muncul akibat perbuatan amoral, seperti seks bebas dan penggunaan narkoba, membuat masyarakat awam merasa ODHA berhak disingkirkan dari pergaulan sosial. Selain itu, rasa takut tertular pun memperkuat alasan mereka untuk menjauhi ODHA.

“Kita harus memandang HIV/AIDS sebagai sebuah epidemi penyakit. Memandangnya dengan perspektif moral tidak akan menyelesaikan masalah,” tegas Nafsiah. Ia melanjutkan, HIV/AIDS tak dapat dijadikan tolok ukur moral seseorang. (f)