True Story
Ita Latiana Arianto Pulihkan Diri Lewat Seni Kaligrafi

7 Apr 2016

Foto: Dok. Ita Latiana, Imam Husein
Kadar kreatinnya menjulang. Ginjalnya enggan bekerja. Satu per satu bagian tubuhnya mulai membengkak oleh cairan tubuh yang tertahan. Namun cuci darah tak pernah ada dalam opsinya. Ia ngeri dengan prosesnya. Hingga tubuhnya benar-benar menyerah. Di antara ketakutan-ketakutannya itu, Ita Latiana Arianto kembali belajar tentang hidup dan berhasil menemukannya.
 
Keras Kepala
Maksud hati ingin melakukan pemeriksaan kesehatan rutin, Ita dikejutkan dengan hasil yang diluar perkiraan. Ia memang merasa sering pegal di bagian pinggang, tapi menganggapnya sebagai hal lumrah di usianya yang sudah di punghujung kepala empat.
 
Rupanya, apa yang dirasakannya ini bukan pegal-pegal biasa. Kadar kreatinnya Ita sudah mencapai 3 mg/dl, dari kadar normal 0,5 – 1,1 mg/dl untuk wanita. Kreatinin adalah limbah kimia dalam darah yang disaring oleh ginjal dan dibuang ke luar tubuh melalui urin. Tingginya kadar keratin ini membuat fungsi ginjal Ita tertanggu. Ia tidak paham apa yang menjadi penyebabnya. “Kemungkinan, diabetes yang saya derita sejak tahun 1999 yang menjadi pemicunya,” ujar Ita.
 
Namun, yang membuatnya benar-benar terkejut adalah rekomendasi dokter. Ita disarankan untuk segera menjalani operasi cangkok ginjal. “Saya kaget. Kok tahu-tahu dokter menyuruh operasi? Padahal saya bahkan belum berobat atau cuci darah sekali pun. Masak langsung ‘main operasi’? Saya marah sekali,” kenang Ita, ibu rumah tangga yang aktif dalam bidang sosial.
 
Jengkel dengan hasil pemeriksaan, Ita pun berkonsultasi pada dokter yang lain. Kali ini, kadar kreatinnya telah menembus 8 mg/dl, Ita disarankan untuk menjalani cuci darah. Tetapi Ita ngotot tidak mau. “Saya takut cuci darah karena ngeri membayangkan prosesnya. Saya juga khawatir menyusahkan anak-anak dan suami bila harus rutin cuci darah,” ujar Ita beralasan.
 
Sebagai gantinya, Ita mencoba berbagai pengobatan alternatif. Dari pijat refleksi, taichi, sampai tenaga prana pernah dijajalnya demi kesembuhannya.
 
Melihat istrinya, suaminya, Sulaiman Arif Arianto, menjadi cemas. Namun, tak berani mengungkapkan secara langsung kekhawatirannya kepada sang istri, yang terkenal teguh hati dengan kemauannya. “Setiap kali suami mencoba mengajak ke dokter, bukannya menurut, saya malah marah-marah. Saya kan sudah berobat alternatif. Perkembangannya bagus, kok,” kilah Ita saat itu.
 
Namun, berbeda dari keyakinannya ini, kondisi ginjal Ita tidak juga membaik. Lambat-laun, bagian-bagian tubuh Ita mulai membengkak karena cairan yang semakin menumpuk dalam tubuhnya. Mula-mula hanya telapak kaki, kemudian menyusul tungkai kaki, paha, dan bokongnya. Ita mulai sulit berdiri dari posisi duduk. Bobot tubuhnya ikut melonjak, dari bobot normal 56-57 kilogram menjadi 73 kilogram!
 
“Terus terang, sampai saat itu saya belum merasa terganggu oleh kondisi ini. Saya bahkan sempat pergi ke luar negeri beberapa kali. Saya juga tidak stres, apalagi depresi. Agar suami tidak cemas, saya selalu memakai baju longgar untuk menutupi tubuh yang bengkak,” tutur Ita.
 
Pada Desember 2013, salah satu anak Ita diwisuda di Inggris. Ia bersikeras pergi menghadiri wisuda itu bersama suami. Saat itu, tangan Ita sudah bengkak. Ia pun tak bisa lagi menutup-nutupi kondisinya dari suami. Apalagi ia mulai sulit berjalan, padahal selama di sana mereka banyak berjalan ke mana-mana.
 
Barulah Ita merasakan betapa kaku kakinya, betapa berat badannya. Berjalan empat langkah saja ia harus berhenti untuk istirahat. Tanjakan selandai apapun sulit sekali dilaluinya. “Sepulang dari Inggris, kita langsung berobat, ya,” saran suaminya, tegas. Rupanya sang suami sudah tak bisa menoleransi kondisi ini. Kali ini, Ita tak bisa menawar lagi.
 
Menyerah Pada Dokter
Selama berobat di Singapura, kondisinya makin menurun. Ia bahkan sempat terduduk, tak kuat mengangkat tubuh saat berjalan kaki menuju rumah sakit. Sekujur tubuhnya lemas. Suaminya harus meminjam kursi roda dari RS untuk Ita dan mendorong sendiri istrinya sambil menggeret kopor menuju ke rumah sakit.
 
Gagal ginjal adalah vonis yang kali ini harus diterimanya. Kali ini dokter langsung meminta Ita untuk cuci darah selama seminggu penuh. Ketiga anak Ita, Rilla, Tiara dan Nugra pun menyusul ke Singapura untuk mendampingi ibunya. “Selama ini saya mengira saya akan menyusahkan keluarga bila harus cuci darah. Namun, melihat betapa gembiranya suami dan anak-anak, saya jadi terhibur,”
 
Rupanya anak-anak pun selama ini memendam kekhawatiran dan ingin sekali ibunya berobat medis. Benar saja, belum sampai seminggu berobat, kondisi Ita sudah membaik. Tubuhnya yang bengkak perlahan-lahan mulai mengempis. Sedikit-sedikit, ia mulai belajar jalan. Lucunya, ketika sudah bisa berjalan kaki agak jauh, Ita pantang berjalan pelan. Bagai anak kecil yang baru lancar berjalan, ia meninggalkan yang lain di belakang.
 
Rutinitas cuci darah ini dilanjutkannya di tanah air dengan frekuensi tiga kali dalam seminggu. Selama setahun itu, Ita mencoba menjalaninya dengan santai.
 
Satu-satunya yang terasa merepotkan baginya adalah jadwal cuci darah yang tidak fleksibel. Bila ingin ke luar kota, ia tak bisa pergi lebih dari dua hari. Jika ke luar negeri, ia harus membuat janji di rumah sakit di kota tujuan untuk melakukan cuci darah.
 
Dokter lalu menyarankan untuk operasi cangkok ginjal. Ketiga putra-putri Ita bahkan rela menjadi donor bila ia bersedia menjalani operasi itu. Seorang kawan yang pernah menjalani operasi yang sama juga menawarkan untuk mencarikan donor ginjal.
 
“Awalnya, saya menolak. Tubuh saya terasa sehat dan tidak ada keluhan. Buat apa lagi cangkok ginjal? Lagipula, operasi besar pasti berisiko. Selain itu, saya tidak ingin bila menerima ginjal dari putra-putri saya,” ungkap Ita waktu itu. Ia tidak bisa membayangkan seumur hidup membawa beban rasa bersalah karena hidup dengan salah satu ginjal anaknya.
 
“Masa depan mereka masih panjang,” ungkap Ita tentang keberatannya.
 
Di sisi lain, pembicaraan dan dukungan penuh keluarga terus terjadi. Di satu titik, Ita akhirnya menyerah dan setuju menjalani operasi cangkok ginjal. Selama dua bulan kemudian, beberapa calon donor pun dicari dan diperiksa. Akhirnya, Ita mendapat seorang donor pria dari Yogya yang cocok golongan darah dan kondisi ginjalnya. Juni 2014, Ita menjalani operasi cangkok ginjal di RSCM Jakarta.
 
Tiga Bulan “Terasing”
Setelah operasi cangkok ginjal berhasil, Ita harus menjalani karantina selama tiga bulan. Ia diisolasi agar terlindung dari virus, bakteri, atau kuman. Pasalnya, Ita telah mengonsumsi obat penurun daya tahan tubuh. Imunitasnya memang harus diturunkan agar tubuh tidak menolak ginjal baru yang baru saja dicangkokkan.
 
Seminggu pertama, ia dikarantina di RS. hanya satu dokter dan dua suster yang boleh menemaninya di kamar isolasi. Keluarga hanya boleh melihatnya melalui lubang kecil.
 
Kondisi badan yang belum pulih setelah operasi serta perasaan terasing dari orang-orang yang dikasihinya membuat Ita frustasi. Kesabaran Ita habis. Ia yang biasanya tegar dan sabar, mengamuk.
 
“Sudah nggak boleh bertemu siapa-siapa, harus makan masakan RS yang tawar pula! Saya nggak mau makan!” amuknya saat itu pada suster.
 
Setelah seminggu di RS, karantina dilanjutkan di rumah Ita. Kamarnya ‘disulap; menjadi ruang karantina. Sebelum Ita keluar dari RS, tim RSCM telah datang ke rumah, mensteril kamar Ita dengan menyemprotkan disinfektan, dan memasang tirai streril.
 
 “Pada bulan pertama, tak ada yang boleh masuk ke kamar karantina kecuali asisten rumah tangga (ART) yang mengantarkan makanan. ART juga harus memakai baju steril sekali pakai, penutup mulut serta kepala,” ungkap Ita. Masih tinggal bersama di bawah satu atap, tapi tidak bisa berkomunikasi secara langsung, bertatap muka, atau menyentuh, membuat hatinya merasa sangat sedih.
 
Kerabat yang menengok hanya bisa berkomunikasi melalui kaca jendela kamar yang cukup besar. Rasanya, seperti tinggal di akuarium raksasa. Baru di awal bulan kedua, suami dan anak-anaknya boleh masuk satu per satu. Itu pun harus mengenakan baju steril. Seminggu sekali, Ita mengadakan pengajian di depan kamarnya. Ustadzah berceramah dengan pengeras suara agar terdengar oleh Ita. Siraman rohani rutin ini jugalah yang menguatkannya.
 
Selama ‘menyepi’ di karantina, kegiatan rutin Ita hanya makan, salat, mengaji, dan menonton TV atau video di YouTube. Seminggu sekali, Ita mengadakan pengajian di depan kamarnya. Siraman rohani rutin ini juga yang menguatkannya. Segala rekaman ceramah agama telah dilahapnya.
 
Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak berdaya. Ia mulai mencari-cari kegiatan lain pengisi waktu. Walau kualitasnya belum bagus, pada dasarnya Ita memang hobi melukis.
 
Makanya dia sangat bahagia ketika Dokter memperbolehkannya menulis. Meski, untuk melakukan tugasnya ini, mereka harus repot memastikan agar semua peralatan lukis disterilkan dahulu. Tabung-tabung cat juga baru boleh dibuka di dalam kamar. Selama itu ia banyak mempertajam goresan kuasnya dengan belajar secara autodidak melalui rekaman YouTube.
 
Kaligrafi ayat-ayat Al Quran menjadi pilihan fokus lukisannya. Selama itu Ita seperti tenggelam dalam dunianya yang baru. Tak terasa, sepuluh lukisan berhasil dirampungkannya. “Rencananya, lukisan-lukisan itu akan saya pakai untuk menghias rumah dan kelas-kelas di SD dan SMP Al Araf yang kami kelola,” ujarnya.
 
Ia merasa bahwa manfaat terbesar bukanlah dari kegiatan melukisnya. Lebih dari itu, kenikmatan justru datang saat dirinya tenggelam dalam pemilihan dan penelaahan terhadap ayat-ayat kitab suci yang ia baca. “Saya jadi semakin rajin menelusuri halaman kitab suci untuk mencari ayat mana yang pas dengan kondisi saya dan bisa dikutip untuk dijadikan kaligrafi,” terangnya, tersenyum.
 
Tidak ingin sekadar memindahkan ayat dari Quran ke atas kanvas, ia terpanggil untuk lebih memahami lewat telaah yang diberikan guru mengajinya.
 
“Favorit saya adalah kaligrafi dari surat Al Kahfi. Maknaya, Allah-lah yang menentukan segala urusan, jadi kita tak perlu ikut campur. Kita hanya harus berusaha dan berdoa, tetapi hasil akhirnya serahkanlah pada Dia,” ungkapnya tersenyum.
 
Melihat lukisan ibunya bertambah banyak dan semakin bagus, Rilla –putri sulung Ita- mengusulkan agar ibunya menggelar pameran. Mereka pun menetapkan tanggal. Pameran itu akan digelar sebagai syukuran enam bulan keberhasilan operasi cangkok ginjal Ita. Pada bulan keenam, Ita sudah diperbolehkan keluar rumah.
 
Ita pun mempersiapkan lukisan-lukisan baru. Karena ada target, ia melukis dengan semangat. Dalam tiga bulan, terkumpullah 50 lukisan. Ita pun heran, entah kekuatan dari mana yang bisa membuatnya menyelesaikan lukisan sebanyak itu. Persiapan pameran diurus oleh Rilla dengan menggandeng teman-temannya dari Quran Inodneisa Project.
 
Januari 2016, di D’Gallerie Jakarta, pameran lukisan karya Ita pun terwujud. Lima puluh lukisannya terpampang anggun. Di samping setiap lukisan, dicantumkan keterangan berupa makna ayat yang dijadikan kaligrafi.
 
Ita sangat terkejut dan tersentuh oleh antusiasme pengunjung. Karya-karyanya bukan saja diapresiasi, tetapi juga dihargai tinggi oleh mereka.
 
Awalnya, Ita tak mau menjual lukisannya. Ia bahkan terpikir untuk membagikan lukisan pada para tamu sebagai suvenir. Namun Rilla bersikeras agar ibunya memberi harga pada lukisannya sebagai bentuk apresiasi. Akhirnya, mereka mematok harga Rp2.500.000 – Rp5.000.000, yang sebagian besar diberikan untuk donasi.
 
Dari mana ketegaran Ita berasal? Rupanya, sejak remaja ia terbiasa mandiri . Ketika masih SMA, ia sudah mengurus tiga adik (termasuk si bungsu yang kelas 2 SD) karena ibunya mendampingi ayah bertugas di luar kota. Ketika pulang, sang ibu jatuh sakit (ginjal) bertahun-tahun  sehingga tugas merawat adik-adik tetap ada di pundak Ita.
 
“Sakit adalah cobaan dari Allah, sekaligus penggugur dosa. Jika kita sakit berat, jalani saja dengna ikhlas karena sebagian dosa kita diampuniNya. Hikmahnya, saya belajar melakukan apa yang Allah sukai saja,” ujarnya lagi.
 
Penyakti yang didiritanya ini pernah membuatnya mempertanyakan usia. Ita mulai berpikir tentang kematian.
 
“Saya pernah dua hari berturut-turut bermimpi buruk. Lubang kubur menganga menelan saya bulat-bulat. Di alam kubur, saya teringat bahwa hanya amal baik yang bisa membantu kita setelah mati. Saya pun berteriak-teriak ‘’Mana amalan saya? Mana amalan saya?’ Saya dicekam ketakutan luar biasa,” kisahnya.
 
Mimpi ini menggugah kesadaran tentang misi dalam hidupnya, yaitu untuk menjadi berkat bagi sesama. Niatan murni Ita mendapat jalan di tahun 2013. Waktu itu dia masih belum menjalani cuci darah dan operasi cangkok.
 
Bersama adik dan seorang kawannya, Ita mendirikan SD dan SMP Al A’raf. Ia mempekerjakan guru-guru yang sedang menganggur. Ia juga membantu sebuah sekolah di Parung Panjang, Bogor, yang kondisinya memprihatinkan.
 
Di Boyolali dan Temanggung, ia membantu pula beberapa sekolah yang kekurangan. Selain itu, Ita dan adiknya juga menjadi donatur dan mengelola beberapa yayasan anak yatim.
 
“Saya ingin sekali menjadi orang yang kedatangannya disambut gembira oleh orang lain. Bukan karena saya bawa uang, tapi karena saya menebarkan kebahagian,” ungkapnya, tentang misi hidupnya. (f)