
Foto: Shutterstock
Sejumlah wanita menghadiri pembacaan teks proklamasi. Akan tetapi, mereka tak sekadar menjadi saksi peristiwa bersejarah tersebut. Para wanita ini turut menyumbangkan pemikiran dan karya dalam memperjuangkan hingga mengisi kemerdekaan. Inilah kisah mereka.
1. Surastri Karma Trimurti
Surastri Karma Trimurti atau lebih dikenal dengan SK Trimurti merupakan tokoh wanita yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia berguru pada Soekarno, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Sebagai wartawan, istri dari Sayuti Melik ini juga aktif suarakan nasionalisme lewat tulisan dan berpolitik dalam Partai Indonesia cabang Bandung.
Kecintaannya pada dunia jurnalistik timbul berkat dorongan Soekarno. Tulisan pertama Trimurti dimuat dalam koran Fikiran Rakjat tahun 1933. Setelah itu, ia beberapa kali mendirikan majalah dan surat kabar. Mulai dari Bedug, Terompet, Suara Marhaeni, sampai majalah Pesat yang diterbitkan bersama suaminya pada 1938.
Karena tulisan-tulisannya yang dinilai menyudutkan penjajah, ia sempat ditangkap pemerintah kolonial Belanda dan menjalani proses hukum. Di zaman Jepang, ia pun berurusan dengan otoritas militer dan mendekam di penjara Blitar.
Wanita kelahiran Boyolali, Jawa Tengah pada 11 Mei 1912 ini turut menghadiri proklamasi kemerdekaan RI. Trimurti sempat diminta untuk mengibarkan bendera pusaka merah putih. Namun, ia menolak karena saat itu hanya mengenakan kebaya dan kain jarik. Akhirnya ia mengusulkan Latief Hendraningrat, pemuda dari Pembela Tanah Air (Peta) untuk menggantikannya.
Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi salah seorang menteri wanita pertama sekaligus Menteri Perburuhan pertama di Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948).
2. Johanna Tumbuan Masdani
Johanna Tumbuan Masdani merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia. Ia hadir dalam berbagai peristiwa bersejarah yaitu Kongres Pemuda kedua di tahun 1928 dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketertarikannya pada dunia pergerakan pemuda berawal ketika ia mengenal Masdani, mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang kemudian menjadi suaminya. Mereka sering mengkoordinasi gerakan-gerakan sosial dan terlibat dalam pertemuan pemuda bersama-sama.
Johanna merupakan salah seorang pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda kedua pada Oktober 1928. Mewakili Jong Minahasa, ia berkesempatan menjadi salah satu dari sepuluh wanita yang turut mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Aktivitas pergerakan Johanna berlanjut. Wanita kelahiran Minahasa, Sulawesi Utara pada 29 November 1910 ini turut menjadi saksi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah merdeka, perkumpulan mahasiswi dan wanita Jakarta meminta Johanna menjadi ketua pemrakarsa pembuatan tugu peringatan satu tahun proklamasi yang akan dibangun di halaman rumah Jalan Pegangsaan Timur 56.
Johanna sempat merasa cemas karena terbatasnya dana pembangunan dalam kondisi Jakarta yang tengah diduduki tentara sekutu. Ia akhirnya melakukan penggalangan dana dan berhasil menuntaskan pekerjaannya dalam kurun waktu dua bulan.
Tidak hanya mengepalai kegiatan pembangunan, Johanna juga bertindak sebagai perancang gambar tugu peringatan dan bertugas memilih tiga potong marmer yang salah satunya bertuliskan, “Dipersembahkan oleh wanita republik.”
3. Fatmawati
Fatmawati aktif berorganisasi sejak muda. Wanita kelahiran Bengkulu pada 5 Februari 1923 tersebut tercatat sebagai pengurus organisasi wanita Muhammadiyah dan Nasyiatul Ausyiah di Bengkulu.
Setelah menikah dengan Sukarno, ia setia mendampinginya dalam berbagai kegiatan perjuangan meraih kemerdekaan. Saat Sukarno tengah mempersiapkan peralatan yang akan digunakan dalam pembacaan naskah teks proklamasi, ia berusaha menjahit bendera Indonesia. Bendera pusaka berukuran 2x 3 meter tersebut dijahitnya dalam kondisi hamil anak pertama selama dua hari.
Usai proklamasi kemerdekaan, Sukarno membentuk Barisan Berani Mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Banyak orang yang datang ke rumah mereka di jalan Pegangsaan Timur nomor 56 untuk mendaftarakan diri.
Berdasarkan buku berjudul “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams disebutkan bahwa Fatmawati membangun dapur umum untuk memberi makan ratusan orang dari gelombang pertama yang membentuk benteng manusia sekeliling Pengangsaan Timur 56. Fatmawati juga menjaga dan merawat Sukarno yang tengah sakit di masa-masa genting proklamasi kemerdekaan RI.
Di masa kemerdekaan, Fatmawati prihatin dengan banyaknya anak-anak yang menderita TBC. Ia menggalang dana di Istana Negara dengan melelang peci dan pakaian Sukarno. Terbentuklah Yayasan Ibu Sukarno pada 1953 yang memberi perhatian pada anak-anak dengan penyakit paru.
Yayasan ini adalah cikal bakal Rumah Sakit Ibu Sukarno yang kini dikenal dengan nama Rumah sakit Fatmawati di Cilandak, Jakarta Selatan.(f)
BACA JUGA:
Guru-Guru Gokil, Film Debut Dian Sastrowardoyo Sebagai Produser
Disney Lakukan Perubahan Nama dan Logo 20th Century Studios
Pandemi COVID-19 Membuka Peluang untuk UKM Bersaing dengan Produk Internasional
Topic
#Indonesiaku, #DirgahayuKemerdekaan, #17Agustus, #Fatmawati, #SKTrimurti, #JohannaTumbuan