Tahun 1990, John Naisbitt dan Patricia Aburdene ‘meramalkan’ lewat buku mereka Megatrends 2000, setelah era 90-an akan kian banyak wanita yang berperan dalam angkatan kerja. Buku itu memang mengupas wanita Amerika, namun ramalan itu saat ini juga terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Wanita makin diperhitungkan. Di Silicon Valley, ada CEO Sheryl Sandberg, Marissa Mayer dan Angela Ahrendts. Bagaimana dengan di Indonesia?
Salah satu topik menarik bila bicara tentang wanita Indonesia adalah peran ganda. Tidak bisa dipungkiri bahwa kian banyak wanita yang bekerja di luar rumah. Dari data BPS, bila persentase wanita yang bekerja pada tahun 1975 sebesar 33%, naik menjadi 40,9% pada tahun 1994, menjadi 47,2% pada tahun 2010 dan 47,9% pada tahun 2012.
Sejak tahun 1970-an, wanita Indonesia memang sudah mulai berkiprah di ranah publik. Banyak hal yang menjadi faktor pendorong. Sosiolog Melly G. Tan dalam pengantar buku Wanita Kota Jakarta, Kehidupan Keluarga & KB (1980), salah satunya menyebut bahwa hal itu dipengaruhi oleh gerakan Women’s Liberation Front (gerakan yang menuntut kesetaraan) yang berkembang pesat di negara-negara industri Eropa dan Amerika Serikat sejak pertengahan dekade ‘60-an.
“Adanya pertumbuhan ekonomi dan kian tingginya tingkat pendidikan wanita juga membuka kesempatan bekerja,” tambah Eri Seda, pengajar Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia.
Namun, bila pada fase-fase awal dulu pekerjaan untuk wanita itu nyaris steriotipe, seperti guru, perawat, pramugari atau pramuniaga, kian lama lapangan pekerjaan yang tersedia kian berkembang. Saat ini, hampir semua bidang pekerjaan bisa dimasuki wanita. Apalagi dengan perkembangan teknologi, pekerjaan yang dulu digambarkan membutuhkan kekuatan otot pria, kini bisa ‘diringankan’ sehingga wanita pun bisa melakukannya.
Wanita Indonesia kini memang memiliki banyak pilihan, entah itu berkiprah di publik maupun bila ingin menjadi ibu rumah tangga di rumah. Mildred LE Wagemann dalam buku Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini (1996) menuliskan, wanita Indonesia dari golongan ekonomi kuat mempunyai banyak pilihan pribadi dalam berbagai aspek hidupnya. Kondisi ekonomi memungkinkan mereka mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan dengan adanya akses terhadap informasi, mereka memiliki referensi ketika harus mengambil keputusan yang sesuai bagi diri mereka.
Karena itu, wanita dari golongan ekonomi yang kuat ini bisa mengambil keputusan yang sesuai keinginan. Pilihan dalam pekerjaan, maupun pilihan untuk bekerja atau tidak, lebih pada keinginan pribadi. Pendidikan yang tinggi pun juga tak menghalangi mereka untuk memilih menjadi ibu rumah tangga, atau meninggalkan karier agar fokus mengurus anak dan rumah tangganya.
Harus diakui bahwa masyarakat kota-kota besar secara kultural bisa menerima menerima bahwa wanita memiliki akses dan kesempatan yang setara dengan pria untuk bekerja di berbagai bidang. Tetapi wanita masih harus juggling untuk menyeimbangkan dua tanggung jawab yang harus dipikul. Kultur patriakat yang masih kuat mengakar menempatkan wanita bekerja harus memanggul beban ganda: pencari nafkah sekaligus penanggung jawab domestik.
“Kultur kita masih menganggap urusan rumah tangga adalah tanggung jawab istri. Di satu sisi, dipaksa oleh kondisi ekonomi untuk sama–sama mencari nafkah bersama suami, tetapi tidak diimbangi perubahan kultural yang melihat bahwa sebenarnya tanggung jawab di rumah tangga seharusnya tanggung jawab berdua,” ujar Eri.
Julia Suryakusuma kolumnis yang concern terhadap isu wanita juga menegaskan pentingnya wanita berpikir modern. Dalam soal pembagian peran misalnya, harus diakui banyak wanita yang masih berpikir tradisional. “Misalnya untuk urusan stay at home dad. Kalau memang si istri penghasilannya lebih tinggi dan memiliki karier yang lebih menjanjikan ketimbang suaminya, mengapa tidak suaminya yang mengurus rumah tangga?” katanya.
Bila di dunia Barat, fleksibilitas peran itu lebih lazim karena kontruksi sosial yang patriarkat tidak sekaku di Indonesia. “Tapi, kalau di Indonesia justru si wanita masih malu jika suaminya tidak bekerja,” kata Julia.
Karena itu, menurut Julia, penting untuk mulai menegosiasikan hal-hal pembagian peran, karena inilah yang disebut pemikiran modern, yaitu bagaimana mereka bisa memanfaatkan sumber daya yang ada dalam memecahkan problem yang ditemui.
Lebih jauh Julia menemukan bahwa wanita Indonesia itu pada dasarnya selalu berada di persimpangan jalan, yaitu antara memegang nilai-nilai tradisional sekaligus ingin merangkum nilai-nilai modernitas.
Apa sajakah nilai-nilai yang dianggap tradisional itu? Julia mengatakan, nilai tradisional kita itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan.
“Yang kita anggap tradisional itu bisa bermacam-macam. Bisa berarti campur tangan orang tua yang lebih dominan,” tutur Julia sambil berpesan bahwa baik nilai tradisional maupun modern itu ada plus minusnya.
Julia juga melihat, wanita sekarang memilih berstrategi menyiasati perbenturan antara modern dan tradisional. Di tengah budaya masyarakat yang kolektif, wanita masih mau mengikuti apa yang diwajibkan secara sosial, tetapi di sisi lain tetap beraktualisasi, berkarier, menjalankan bisnis sendiri, dan lainnya.
“Kita sudah maju, itu betul. Tetapi, saya kira kita selalu menemukan persimpangan itu. Itu memang dinamikanya. Artikulasi antara modernitas dan tradisional. Berbagai kompromi yang dilakukan, antara berbagai unsur-unsur tradisional dan modern, bisa situasional, kontekstual,” tutur Julia. (f)