
Foto: Dok. Pribadi, Desiyusman Mendrofa
Siap 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu untuk mengurusi warga harus dihadapi keempat lurah wanita ini. Mereka pun merangkul warganya layaknya ibu yang penuh kesabaran, telaten, rajin, dan tanggung jawab. Itu yang menjadi modal kesuksesan mereka mengelola ratusan warganya.
Rajin Blusukan

Ratna Rahayu Pitriaty (32), Lurah Sadang Serang, Kecamatan Coblong, Bandung
Sejak Agustus 2013, Ratna resmi mengemban tugas melayani 25.000 lebih warga yang berada dalam 21 RW dan 130 RT di Kelurahan Sadang Serang. “Awalnya saya tak menyangka bisa lulus tes kelayakan, karena persaingannya sangat sengit, apalagi saya wanita dan masih muda,” ungkapnya.
Ratna masih terkenang hari-hari pertamanya menjabat ketika ia harus menelan perasaan khawatir tidak dipercaya oleh bawahannya. Maklum saja, selama ini pimpinan di birokrat umumnya adalah pria dan sudah senior. Sedangkan dirinya, saat dilantik menjadi lurah baru berusia 30 tahun dan baru 8 tahun bekerja sejak lulus dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tahun 2005. Namun, kecemasan itu dilawannya dengan motivasi pembuktian diri.
Prinsipnya, bekerja sebaik dan selurus mungkin. Ia memulainya dari hal pengurusan surat-surat. Ia menolak mengeluarkan surat keterangan apabila persyaratan yang diminta tidak lengkap. Sikapnya itu menuai ketidaksukaan warga yang merasa ‘dipersulit’. Tak ayal, ia pun sempat didemo oleh warga yang memintanya lengser saja. ‘Sambutan’ ini tidak lantas mematahkan semangat ibu satu anak yang kini tengah mengandung 5 bulan ini. Ia pun putar otak bagaimana bisa membuat terobosan yang memudahkan warga untuk mengurus administrasi.
Pengalaman panjang menjadi sekretaris lurah selama 6,5 tahun menginspirasi Ratna untuk membuat terobosan baru dalam hal pengelolaan administrasi kelurahan. Hanya 4 bulan sejak menjabat, terobosan inovatif sistem administrasi berbasis online e-kelurahan ia luncurkan. Program yang didukung oleh PT Telkom ini menjadi pionir yang mampu meminimalkan interaksi birokrat dan masyarakat.
“Warga tidak perlu lagi menunggu lama atau bolak-balik ke kelurahan, jika ingin membuat surat keterangan. Mereka bisa isi sendiri formulir yang diunduh langsung dari aplikasi e-kelurahan di ponsel berbasis Android. Datang ke kelurahan pun cukup sekali saja untuk mengambil apa yang mereka butuhkan,” jelas Ratna.
Meski tujuannya untuk memudahkan, ternyata penerapannya tidak mudah. “Sulit untuk mengubah kebiasaan. Apalagi kebanyakan orang memang tak tanggap teknologi dan maunya dilayani. Jadi, konsekuensinya, saya harus rajin turun ke lapangan untuk menyosialisasikan layanan mandiri ini,” cetus Ratna, yang punya jadwal rutin keliling memberi edukasi tentang layanan e-kelurahan di Karang Taruna dari satu RW ke RW lainnya.
Usaha Ratna tak sia-sia. Kelurahannya menjadi percontohan, dan kini seluruh kelurahan di Bandung mulai menerapkan e-kelurahan. Aplikasi e-kelurahan ini menghubungkan kantor wali kota dengan seluruh kantor dinas dan instansi, 30 kecamatan, dan 151 kelurahan di Kota Bandung. Bahkan, pemanfaatan aplikasi ini sampai lintas provinsi, seperti pemerintah Kota Pontianak yang mulai mengadopsi e-kelurahan sejak Januari lalu. Sistem ini melayani pembuatan berbagai surat izin dan surat keterangan. Harapan Ratna, sistem administrasi daring ini bisa makin meluas digunakan di seluruh kelurahan yang ada di Indonesia.
Setelah sukses dengan program e-kelurahan, target berikut Ratna adalah menjadikan wilayah Sadang Serang, herang. Herang adalah bahasa Sunda yang berarti bersinar atau bersih. Ia pun ingin mewujudkan masyarakat yang peduli pada lingkungan hidup.
Sebagai bagian dari program kelurahan bersih yang diidamkannya, ia membentuk tim gorong-gorong untuk mengecek kebersihan lingkungan. Ia juga turut mengedukasi masyarakat soal kebiasaan untuk tidak membuang sampah sembarangan, pengelolaan sampah lewat bank sampah, daur ulang, serta membuat resapan air. “Saya memang ingin melibatkan warga agar turut berkontribusi menjaga lingkungan sama-sama,” katanya.
Wanita peraih penghargaan Peringkat 2 Lurah Terbaik se-Bandung tahun 2014 dan Peringkat 1 Lurah Sadar Hukum Kota Bandung tahun 2016 ini sadar bahwa sebagai lurah tugas utamanya adalah mengurusi segala permasalahan yang dihadapi warga. Ini berarti bukan hanya masalah administrasi, tapi juga menyangkut persoalan sampah, kemacetan lalu lintas, hingga pedagang kaki lima yang bandel. Ia pun senang blusukan untuk mengetahui langsung masalah di wilayahnya. “Selain itu, warga harus kenal siapa lurahnya. Tugas saya kan tidak hanya di belakang meja,” tegasnya.
Tidak hanya pada warganya, Ratna juga punya cara tersendiri untuk mendekati para stafnya di kantor kelurahan. “Saya berperan sebagai ibu, sahabat, teman yang siap mendengar keluh kesah mereka. Dengan cara ini, mereka merasa dekat dengan saya,” kata Ratna, yang memajang foto dirinya bersama seluruh staf kelurahan di kantornya.
Ratna mengaku terkadang kesibukan menjalankan tugas lurah menyita waktu akhir pekan bersama keluarga. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi wanita yang hobi fotografi ini. “Sempat menuai protes dari anak. Tapi, saya menyiasatinya dengan selalu memberi pengertian kepada keluarga bahwa tanggung jawab saya pada warga adalah 7 hari semingu dan 24 jam sehari. Mereka akhirnya mengerti. Tak jarang pula saya mengajak anak ikut acara di akhir pekan. Pintar-pintar bagi waktu sajalah,” pungkasnya.
Saling Melengkapi

Maria Agustin Yuristina (34), Lurah Mojo, Kecamatan Gubeng, Surabaya
Menjadi lurah termuda yang pernah memimpin wilayah Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng, Surabaya, di usia 26 tahun, ternyata membawa beban sendiri bagi Maria Agustin Yuristina (34). “Lebih banyak cemasnya daripada senangnya!” kata ibu dari dua orang putri, Egalita Adliyah Baiquni (11) dan Aqilah Ignacia Baiquni (6), ini. Maklum saja, ia baru memasuki dunia birokrat tahun 2003, dan lima tahun kemudian, tepatnya tahun 2008, ia sudah dipercaya menjadi lurah. Sederet pengalaman lucu pun mewarnai hari-hari awalnya bertugas. Sering kali dalam acara seremonial, kehadirannya mengundang pertanyaan warga. “Ini istrinya sudah datang, kenapa Pak Lurah-nya belum tiba?” Atau, lebih mengenaskan lagi, “Wah, anak Pak Lurah sudah besar, ya!” Menanggapi hal tersebut, Maria hanya bisa memendam perasaan geli.
Belum lagi di kantor tempatnya bertugas, ia harus berinteraksi dengan bawahan yang notabene berusia jauh lebih tua dan memiliki pengalaman lebih banyak. “Saya merangkul mereka, juga masyarakat sebagai sahabat dan guru saya. Kami belajar bersama-sama untuk meningkatkan pelayanan dan menjadikan Kelurahan Mojo sebagai wilayah hunian yang lebih baik,” tutur lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tahun 2003 dan pascasarjana dari Fakultas FISIP Universitas Airlangga tahun 2007 ini.
Menurut Maria, karakter wanita yang umumnya sabar dan telaten justru menjadi modal penting saat menjadi seorang pemimpin. “Kelebihan ini yang justru membuat wanita pemimpin mampu tersenyum saat semua orang sudah lelah dan putus asa,” katanya. Ia pun mencontohkan kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini yang karismatik dan penuh terobosan untuk Kota Surabaya.
Berada di bawah kepemimpinan Risma, Maria merasa terpecut untuk memberi sumbangsih berarti pada masa baktinya. Apalagi, wilayah Mojo yang ia pimpin merupakan pusat Kota Surabaya dengan kepadatan penduduk yang tinggi serta sangat dinamis sehingga masalahnya cukup kompleks. “Saya merasa senang dapat berinteraksi dengan warga dan komunitas yang ada di masyarakat. Kadang-kadang hingga dini hari kami masih asyik berkegiatan,” katanya, semangat. Bersyukur, sang suami, Anang Noor Baiquni, selalu setia mendampingi dan mendukung aktivitas padat Maria.
Maria yang menyukai keindahan dan kebersihan membuatnya sangat peduli pada masalah lingkungan. “Wilayah Kelurahan Mojo dilalui oleh Sungai Kalidami, maka tantangan kami adalah bagaimana membuat sungai tersebut bersih dan indah sehingga memiliki daya tarik sekaligus menjadi tempat penampungan air hujan sebelum menuju ke laut,” jelas wanita yang bercita-cita bisa menjadikan Sungai Kalidami layaknya Sungai Seine di Prancis, ini.
Demi merealisasikan mimpinya, ia mengajak warga untuk terjun bersama dalam kerja bakti massal yang rutin diadakan untuk menjadikan Sungai Kalidami dan bantarannya bersih. Berbagai kegiatan pun dipusatkan di pinggir Sungai Kalidami, seperti Festival Kalidami, Festival Lampion, Lomba Dayung, Lomba Tangkap Bebek, dan masih banyak lagi.
Pertaruhkan Nyawa

Yuli Merdekawati (38), Lurah Cigadung, Kecamatan Subang, Subang
Yuli memang berinisiatif untuk melaporkan masalah yang dapat mengancam kelestarian lingkungan itu kepada pemerintah Provinsi Jawa Barat, setelah Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Subang tidak mampu mengatasinya. “Saya didatangi oleh pihak yang tidak senang pada kebijakan saya yang melarang penambangan liar. Mereka membawa senjata tajam, bahkan ada yang menodongkan senjata api,” ceritanya.
Waktu itu, demi keselamatan dirinya, ia bahkan sampai harus dikawal oleh polisi dari Kepolisian Daerah Jawab Barat selama 3 bulan lamanya. Namun, Yuli tidak gentar. Ia tidak takut dengan segala ancaman. Bahkan, bila nyawa taruhannya, demi melindungi kepentingan masyarakat, ia bertekad menghadapinya. “Selama saya berjalan dalam koridor yang benar, saya tidak pernah takut,” katanya, tegas.
Baginya, kebenaran di atas segalanya. Maka, ia tidak ingin menjadi seorang pemimpin yang tidak berani membela kebenaran, apalagi untuk 28.000 warganya. Hasilnya, setelah dikunjungi Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedy Mizwar, penambangan liar yang telah dilakukan bertahun-tahun itu berhasil ditutup.
Hingga kini, sudah 6 tahun Yuli menjabat sebagai Lurah Cigadung. Salah satu tantangan terbesarnya dalam bertugas adalah membangun sinergi di antara instansi terkait. Ia sadar, ia tidak bisa berjalan sendirian, harus ada dukungan dari bawahan dan juga masyarakat. Setidaknya, di kantor ia berusaha menciptakan hubungan kerja sama yang baik dengan berbagai seksi, seperti seksi pemerintahan, pembangunan, penataan dan penertiban, dan seksi kesejahteraan sosial.
Berada di garis depan, berhubungan langsung dengan masyarakat, maka menjadi tanggung jawabnya untuk menyosialisasikan sekaligus menerapkan aturan-aturan baru dari pemerintah. Ia pun harus bisa meminimalkan penolakan-penolakan dari masyarakat. Caranya, dengan menggalang silaturahmi yang baik dengan masyarakat sehingga komunikasi bisa berjalan lancar.
Selain itu, dalam kepemimpinannya, pengagum Soekarno ini juga menerapkan konsep gotong royong. Menurutnya, gotong royong tidak selalu identik dengan kegiatan membersihkan lingkungan saja, lebih dari itu kesamaan pikiran dalam suatu hal juga menjadi bagian dari gotong royong. “Saya banyak belajar tentang kepemimpinan, nasionalisme, dan gotong royong dari buku-buku yang ditulis oleh Soekarno,” katanya.
Salah satu inovasinya adalah menggerakkan ekonomi masyarakat dengan mendirikan kelompok-kelompok untuk memproduksi makanan khas daerah, seperti kue ali. Ia juga berkontribusi besar dalam melestarikan kesenian Sunda dengan mendirikan sebuah perkampungan seni di wilayahnya. Kontribusi inilah yang mengantarkan Kelurahan Cigadung mendapat penghargaan di tingkat kabupaten sebagai Desa/Kelurahan Percontohan di bidang Kemandirian dan Kegotongroyongan se-Kabupaten Subang, tahun 2013 lalu.
“Saya juga mendapat penghargaan sebagai Lurah Terbaik tahun 2013 bidang Pemberdayaan Masyarakat se-Jawa Barat lewat program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri,” kata wanita yang baru-baru ini merilis album berjudul Karinding Kuring.
Jujur dan Disiplin

Debby Novita Andriani (27), Lurah Tanjung Barat, Jakarta Selatan
Debby Novita Andriani memang bukan orang baru di pemerintahan, khususnya tingkat kelurahan. Setelah menyelesaikan kuliah di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tahun 2009 lalu, wanita yang murah senyum ini langsung ditugaskan di Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, sebagai sekretaris kelurahan. Selain Lenteng Agung, ia juga pernah bertugas di Kelurahan Pangadegan, Pancoran. “Kala masih menjabat sebagai staf, saya kerap menjadi tempat luapan kemarahan dan kekecewaan warga,” ungkapnya.
Pengalaman inilah yang menjadi bekal Debby ketika menjabat sebagai lurah. Ia tidak ingin warga yang memiliki masalah dan perlu dibantu menjadi kecewa dan marah karena pelayanan yang tidak tepat. Demi melancarkan pekerjaannya, Debby menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, seperti kepolisian dan dinas perhubungan. Jadi, ketika ada masalah di lingkungan yang bukan menjadi ranah lurah, ia tetap bisa membantu memecahkan masalah warga. “Misalnya, masalah kemacetan atau kendaraan melawan arah, saya akan menyampaikannya kepada dinas perhubungan dan kepolisian,” katanya.
Selain itu, dengan wilayah kelurahan yang posisinya berada tepat di pinggir Sungai Ciliwung, banjir menjadi bencana tahunan yang menghantui warga. Setidaknya, ada sekitar 30-80 rumah yang menjadi langganan banjir. Dalam kondisi darurat, ia harus bertindak cepat dengan menghubungi para ketua RW lain yang tidak terkena banjir dan bahu-membahu menolong para korban.
Walau usianya terbilang muda, dengan etos kerjanya, Debby berhasil mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari stafnya yang berjumlah 16 orang. “Semua staf saya sangat memahami tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing. Tiap instruksi kerja dilakukan dengan cara yang profesional. Budaya inilah yang ingin saya bangun,” katanya.
Sebagai pemimpin, Debby selalu memegang prinsip untuk jujur dan disiplin. Baginya, jabatan adalah amanah, bukan penghargaan. Maka, ia pun berusaha menjalankan dengan sebaik-baiknya.
Debby yang berperawakan mungil ini adalah sosok yang tegas. Apalagi jika ada warga yang melanggar aturan, seperti mendirikan bangunan di lokasi yang bukan haknya, maka ia akan menindaknya. “Mengatasi masalah seperti ini, saya berusaha mengedepankan tindakan persuasif,” kata Debby, yang kerap datang ke acara undangan warga untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Meski hal itu berarti waktunya bersama sang anak, Zhiya Aleysha Rawnie (1) dan suaminya, Adhitya Pratama Yudhda (27), otomatis berkurang. (f)
REYNETTE FAUSTO & DESIYUSMAN MENDROFA
Topic
#wanitahebat