Foto: Shutterstock
Hari Ibu yang jatuh setiap tanggal 22 Desember, identik dirayakan dengan pemberian kado atau ucapan selamat dari anak kepada ibunya. Selain mengingat jasa-jasa ibu dalam keluarga, Hari Ibu bisa dirayakan dengan ikut mendukung perempuan Indonesia lebih berdaya.
Tak dipungkiri, selain menjadi figur ibu, perempuan memiliki peran yang sangat penting di masyarakat Indonesia. Menurut laporan Women in Business 2020, Indonesia bersama Meksiko menduduki peringkat ke-4 negara dengan pemimpin perempuan terbanyak di dunia.
Sementara itu, menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM dari 63 juta UMKM di Indonesia, sekitar 21% merupakan bisnis UMKM milik perempuan. Hal ini memperlihatkan bahwa setiap perempuan memiliki kesempatan untuk maju dan punya potensi kepemimpinan yang dapat dikembangkan jika bisa diberdayakan.
Dalam Kongres Perempuan Pertama yang berlangsung pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta, yang menjadi cikal bakal Hari Ibu, pemberdayaan perempuan menjadi tema sentral yang diangkat saat itu. Ada tiga isu yang di-highlight dalam kongres tersebut yaitu soal memperjuangkan hak perempuan dalam perkawinan, melawan pernikahan dini dan poligami, serta mendukung pendidikan perempuan.
Sembilan puluh tiga tahun kemudian, perubahan dan perkembangan masyarakat membuat peran ibu sebagai perempuan juga turut meluas. Ibu merupakan agent of change karena menjadi motor penggerak dari lingkup terkecil, yaitu rumah.
Ibu juga bisa menjadi penggerak lingkup luas lainnya, seperti kantor, masyarakat, dan bahkan negara. Sehingga semakin banyak bermunculan sosok perempuan hebat, mandiri, dan menginspirasi yang disebut sebagai Kartini Modern.
Namun, bukan berarti pencapaian perempuan di masa ini tanpa tantangan. Femina mencatat ada beberapa masalah yang masih dihadapi perempuan masa kini yang bisa menjadi kerikil tajam untuk perempuan lebih berdaya.
1/ Peran ganda
Meski peran ganda sejatinya juga melekat pada pria, isu sulitnya perempuan menciptakan keseimbangan peran seolah tak ada habisnya. Mau dulu atau sekarang, masalah klasik ini tidak pernah hilang. Apalagi saat dihadapkan pada banyak ekspektasi dari lingkungan hingga kondisi pandemi yang kini terjadi.
Menurut studi McKinsey & Company tahun 2020 berjudul Women in the Workplace, perempuan yang menjalani peran ganda memiliki tanggung jawab pengasuhan dan pendampingan sekolah anak yang tidak proporsional selama pandemi COVID-19.
Data tersebut juga sejalan dengan laporan tentang dampak gender dari pandemi oleh UN Women di Indonesia yang berjudul “Menilai Dampak COVID-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia”. Laporan ini menyatakan bahwa sejak pandemi, 69 persen perempuan menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga tak berbayar.
Selain itu, ada sekitar 39 persen perempuan yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengajar anak di rumah, termasuk membimbing dan melatih anak-anak dalam mengerjakan tugasnya. Dengan kata lain, beban ganda perempuan menjadi lebih besar dengan adanya kebijakan bekerja dan belajar dari rumah.
2/ Kekerasan di ranah rumah tangga
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, selama 17 tahun( 2004-2021) ada 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani Kepada kompas.com mengatakan, dari jenis-jenis KDRT, kekerasan terhadap istri selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT/RP dan selalu berada di atas angka 70 persen.
Salah satu hal yang membuat tindakan kekerasan pada perempuan ini masih menjamur adalah adanya nilai-nilai budaya patriarki yang hingga kini masih diyakini masyarakat. Budaya partriarki menempatkan laki-laki sebagai pihak yang superior, sedangkan perempuan tersubordinasi atau menjadi orang nomor dua. Selain itu, didukung pula dengan adanya stereotipe gender yang menganggap perempuan lemah dan laki-laki selalu kuat.
Belum lagi, adanya anggapan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan masalah privasi dan masyarakat tidak boleh ikut campur. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tindak kekerasan pada perempuan tidak hanya mengacu pada kekerasan fisik, namun terdapat jenis kekerasan lainnya, yakni kekerasan emosional, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.
KDRT menimbulkan ketakutan, penderitaan berat, hingga gangguan psikososial pada korban. Selain itu, korban juga bisa menjadi disabilitas, memiliki keinginan bunuh diri, trauma berkepanjangan, dan hilangnya rasa percaya diri.
3/ Ketimpangan gender di bidang ekonomi
World Economic Forum (WEF) pada tahun 2021 mencatat partisipasi dan kesempatan ekonomi perempuan menjadi ketimpangan terbesar kedua dari empat dimensi yang mereka teliti. Dalam laporannya, WEF menyebutkan bahwa meskipun keadaan ketimpang sudah membaik 58% tetapi masih membutuhkan 267.6 tahun untuk bisa mencapai kesetaraan.
Dalam praktik bisnis secara luas, perempuan sering mengalami perilaku diskriminasi yang membuat mereka kesulitan untuk memasuki dunia bisnis dan berkembang lebih baik. Dalam 20 tahun terakhir, perempuan, terutama dalam hal ekonomi, terdapat ketimpangan yang sangat besar antara perempuan dan laki-laki. Perempuan lebih banyak berad di sektor informal dan dalam skala kecil hingga menengah, yang kesulitan untuk berkembang.
Sedangkan di dunia kerja, berdasarkan hasil temuan UN Women (2020) dalam sektor ketenagakerjaan secara umum melaporkan bahwa perempuan memiliki upah 16 - 35 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tidak hanya itu penelitian yang dilakukan oleh Catalyst pada tahun 2007 juga menunjukkan bahwa seorang pemimpin perempuan mengalami dilema dalam menjalani perannya sebagai seorang pemimpin, salah satunya dikarenakan ekspektasi masyarakat terhadap peran perempuan.
Hal tersebut mempengaruhi keinginan perempuan untuk mencapai posisi karier yang Tinggi. Hal tersebut terlihat pada data McKinsey (2020) yang menunjukkan 69% pekerja wanita senior menyatakan keyakinan mereka akan mencapai tingkat manajemen tinggi dalam pekerjaannya, angka ini berbeda cukup jauh dibandingkan dengan 86% rekan pria mereka.
Lantas pertanyaannya, mengapa wanita perlu berdaya? Fakta nyata terlihat di masa pandemi ini. Data mengatakan bahwa 5% perempuan kehilangan pekerjaannya selama pandemi, dibandingkan 3.9% laki-laki namun dalam keadaan darurat ini, perempuan lebih cepat merespon dan memberikan solusi dalam sektor bisnis.
Salah satunya riset yang dilakukan oleh LPEM FEB UI dengan Tokopedia (2021) menunjukkan hal ini, bahwa perempuan 5.4 poin lebih banyak memulai bisnis dibandingkan laki-laki selama masa pandemi. Laporan Bank Indonesia pada 2018 menyebutkan UMKM yang dijalankan perempuan berkontribusi sebesar 9,1 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) nasional.
Hal tersebut menandakan bahwa peran perempuan menjadi pilar penting dalam perekonomian. Sehingga peran perempuan di masyarakat harus terus ditingkatkan. Caranya adalah dengan mendukung para ibu dan perempuan agar bisa berdaya di segala aspek kehidupannya.
Seperti tema peringatan Hari Ibu 2021 yangd iusung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I, yaitu Perempuan Berdaya, Indonesia Maju. Ketika perempuan mampu meningkatkan kehidupannya, mereka akan mentransfer perubahan ini ke kehidupan anak-anak mereka, keluarga, dan masyarakat.
Di Hari Ibu yang spesial ini, yuk, sesama wanita harus saling mendukung, jangan mensabotase. Agar perempuan Indonesia bisa bangkit dan bisa berdaya,baik secara finansial maupun di segala aspek kehidupan. Selamat hari Ibu untuk semua perempuan hebat di Indonesia! (f)
Baca Juga:
Rayakan Hari Ibu, Lakukan 5 Hal Seru Ini Bersama Keluarga
Ini Cara Naysila Mirdad Bangun Kedekatan dengan Sang Ibu, Lidya Kandou
Rekomendasi Film Indonesia yang Cocok Ditonton di Hari Ibu
Faunda Liswijayanti
Topic
#hariibu