
Dok. Citra Narada
Setelah sempat dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2020 dengan dalih pembahasan yang terlalu rumit, akhirnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ini masuk kembali dalam Prolegnas DPR RI 2021. Ini pun menjadi kabar yang membahagiakan di tengah kampanye mendorong pengesahan RUU PKS yang tak hentinya dilakukan oleh banyak pihak di luar sana.
Salah satunya gerakan #TBSFightForSisterhood yang diinisiasi oleh The Body Shop Indonesa, sebagai gerakan solidaritas antar wanita terbesar di Indonesia yang digalang untuk menghapus kekerasan seksual terhadap perempuan. Kampanye ini bertujuan mengumpulkan 500.000 tanda tangan untuk petisi Stop Sexual Violence sampai bulan Maret 2021.
"Sebagai perusahaan yang 86% karyawan adalah perempuan, The Body Shop® Indonesia yakin bisa mewakili perjuangan yang baik bagi perempuan. Sehingga, tidak ada alasan bagi The Body Shop® Indonesia untuk tidak mengkampanyekan isu kekerasan seksual yang saat ini dalam keadaan darurat dan perlu segera ditangani," papar Aryo Widiwardhono, CEO The Body Shop Indonesia.
Tak dapat diabaikan fakta bahwa kasus kekerasan seksual banyak terjadi karena masyarakat menganggapnya sebagai kasus yang tidak penting. Ironisnya lagi, kasus-kasus seperti ini justru lebih banyak yang menghukum korban, dibandingkan pelakunya.
Menurut Yulianti Muthmainnah, Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, & Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, ada kekosongan hukum yang membuat korban justru jadi pihak yang rentan dilindungi.
"Di Indonesia, definisi pemerkosaan masih sangat sempit dan terjadinya pemerkosaan hanya ketika ada penetrasi. Padahal banyak sekali kasus kekerasan seksual yang tidak harus terjadi karena pemerkosaan saja, dan dengan mudahnya pelaku dibebaskan," tuturnya yang menyayangkan tingkat hukum nasional di Indonesia.
Di sisi lain, terjadinya kekerasan seksual juga ditandai dengan adanya faktor toxic masculinity. Hal ini muncul ketika anak laki-laki dijauhkan dari emosi dan seakan dipersiapkan sebagai anak yang lebih superior dibandingkan anak perempuan. Tanpa disadari banyak orang, keluarga turut mempersiapkan anak laki-laki menjadi superior dengan cara memakai pola asuh yang mendukung itu semua agar seperti bisa mendominasi di atas perempuan.
Toxic masculinity akan menganggap wajar pria yang mengganggu wanita, hingga tak jarang hingga melewati batas dan terjadilah kekerasan seksual. Malahan terkadang hal itu menjadi sebuah ‘penaklukan’ yang membanggakan.
"Maka dari itu, PR selanjutnya adalah mengajak kaum laki-laki berbincang tentang toxic masculinity karena selain merugikan orang lain, juga dapat merugikan orang itu sendiri. Upaya pengesahan RUU PKS nyatanya juga membutuhkan dukungan dari kelompok "pria, bukan hanya wanita," tutur Wawan Suwandi, PR Yayasan Pulih.
Inilah mengapa RUU PKS memiliki urgensi yang tinggi untuk segera disahkan. Mari kita turut aktif mendukung dan memantau pembahasan RUU PKS dalam Prolegnas DPR 2021, hingga akhirnya segera disahkan. (f)
BACA JUGA :
Trauma Korban Pelecehan Seksual
Berhijab dan Siang Hari Tak Berarti Aman Dari Pelecehan Seksual di Ruang Publik
Ketimpangan Relasi Kuasa dan Gender Pada Kasus Kekerasan Seksual
Topic
#kekerasanseksual, #RUUPKS