
Foto: Fotosearch
Sejak jauh-jauh hari, tiket kereta api untuk periode mudik Lebaran sudah habis. Harga tiket pesawat juga melambung naik hingga dua kali lipat dibandingkan biasanya. Hal itu tak menghalangi pemudik untuk menggunakan moda transportasi udara ini. Belum lagi, jika menggunakan mobil pribadi, bisa dipastikan harus terjebak dalam kemacetan antrean pemudik yang mengular. Namun, itu semua tak menyurutkan antusiasme warga untuk mudik ke kampung halaman. Kenapa mudik demikian penting? Menurut Dra. Ida Ruwaida Noor, M.Si, dosen sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, secara sosiologi bagi orang Indonesia, hari Lebaran memiliki makna family atau social gathering. Apalagi, karakteristik masyarakat Indonesia memang masyarakat komunal yang memiliki nilai kolektivitas yang tinggi.
Inilah yang mendorong masyarakat untuk rela menempuh jarak jauh dan kemacetan belasan jam, bagi yang menempuh jalur darat, demi melaksanakan salat Id dan menikmati sepiring ketupat opor ayam bersama keluarga mereka di kampung halaman. Wulan Ningsih (28), ibu rumah tangga, contohnya. Tahun lalu, saat masih tinggal dan bekerja di Jakarta, Wulan tak mau ketinggalan mudik ke kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah.
Karena kehabisan tiket kereta, ia nekat untuk menerima ajakan suaminya, yang saat itu masih menjadi kekasihnya, untuk mudik naik motor ke Cirebon. “Kampung halaman dia di Cirebon. Dari Cirebon, saya bisa menyambung perjalanan ke Solo naik kereta api,” ujarnya.
Berangkat pukul 5 pagi, perjalanan Jakarta - Cirebon ia tempuh selama 7 jam. Panas matahari yang garang dan jalanan yang superpadat mereka tembus demi berlebaran bersama keluarga besar. Perjalanan serupa juga ia tempuh dari Cirebon ketika harus balik ke Jakarta. “Saya berangkat dari Cirebon siang hari dan sampai di Jakarta malam,” papar Wulan.
Meski harus menempuh perjalanan berjam-jam, Wulan dan suaminya tidak menyempatkan diri untuk beristirahat selama perjalanan, walaupun untuk sekadar makan. Mereka hanya berhenti untuk mengisi bensin. “Yang penting bagi kami adalah minum agar tidak dehidrasi. Kami juga hanya membawa makanan kecil untuk mengganjal lapar,” jelasnya.
Jika dipikir dengan akal sehat, apa yang dilakukan Wulan memang tidak logis dan cenderung membahayakan kesehatan. Tapi, menurut Ida, dalam melihat perayaan Lebaran bagi orang Indonesia, kita memang tidak bisa memakai perspektif rasionalitas pada umumnya. “Nilai yang mereka harapkan memang berbeda. Tidak bisa lagi pakai pertimbangan untung-rugi,” komentar Ida.
Dra. Adriana Ginanjar, M.Si, psikolog, juga mengatakan, banyak orang yang menempatkan Jakarta hanya sebagai tempat untuk mencari uang. Meski di Jakarta mereka bertempat tinggal dan memiliki rumah, ada rumah psikologis di kampung halaman yang terus akan melekat dengan diri mereka.
“Kehidupan masyarakat Jakarta yang cenderung individualistis tak jarang membuat warganya, terutama yang pendatang, merasa terasing. Ramai, tapi rasanya sepi. Nilai kebersamaan itulah yang mereka harapkan. Dan nilai itu tidak bisa disetarakan dengan materi,” ujar Adriana. (f)
Eka Januwati
Topic
#PuasadanLebaran