
Dok: Femina
Pemilihan umum merupakan salah satu indikator bagi satu negara dalam mengembangkan demokrasi, termasuk Indonesia. Dalam sejarahnya, sejak proklamasi kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia sudah menyelenggarakan 12 pemilihan umum legislatif yang memilih wakil rakyat. Bila sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh DPR, maka sejak tahun 2004, bangsa Indonesia sudah memilih langsung pemimpinnya yang membawa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden RI pertama hasil pilihan langsung rakyat.
Menyusul pilpres, kepala daerah juga dipilih langsung oleh rakyat sejak tahun 2005. Perkembangan terakhir, pemilihan kepala daerah kini dilakukan secara serentak, yaitu pada 15 Februari 2017. Mengapa harus serentak, ada beberapa hal yang menjadi alasan. Di antaranya adalah efisiensi anggaran, efektivitas lembaga pemilihan umum, menjadi sarana menggerakkan kader partai dan mencegah pergerakan si kutu loncat, yaitu seorang calon yang gagal di daerah tertentu kemudian mencalonkan diri ke daerah lain.
“Kalau melihat seperti apa peran wanita dalam pilkada, yang selalu dibicarakan adalah potensi yang besar sebagai pemilih. Tetapi, yang menjadi pertanyaan, bagaimana dia memberikan suaranya dan apa maknanya untuk hasil pilkada ini,” ujar Ani Soetjipto, dosen FISIP Universitas Indonesia, yang sudah lama bergiat dalam partisipasi wanita dalam politik.
Kalau kita bicara data, memang benar adanya yang dikatakan oleh Ani mengenai potensi suara wanita. Mari kita ambil contoh di pilkada DKI Jakarta, yang disebut-sebut menjadi barometer dinamika politik tanah air. Berdasarkan data dari KPUD DKI Jakarta untuk pilkada 2017, terdapat 3.546.899 wanita ibu kota yang menjadi pemilih, dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), yaitu masyarakat yang berhak menggunakan hak pilih mereka. Jumlah ini setara dengan 49,9 persen dari total DPT (pemilih pria sebanyak 3.561.690).
“Berkaca pada DKI Jakarta, wanita tidak bisa dipinggirkan karena mereka memiliki kontribusi yang signifikan. Di pilkada DKI ini, dengan persentase 49,9 persen, kalau akan berlangsung dua putaran, maka suara wanita yang menentukan siapa yang bisa maju ke putaran kedua. Begitu pula yang menentukan siapakah yang akan melenggang ke balai kota,” tambah Ratna Sri Widyastuti, peneliti Litbang Kompas, lembaga yang rutin melakukan survei-survei sosial politik.
Untuk menangkap aspirasi wanita terhadap pilkada serentak ini, femina tahun lalu menggelar survei yang dilaksanakan secara online pada 17-24 Januari 2017. Diikuti oleh 640 wanita responden dari seluruh Indonesia, 91% responden melihat atau menonton kampanye kandidat pilkada dalam setahun terakhir. Baik yang berdomisili di Jakarta (94%), Bodetabek (88%), kota-kota lain di Jawa (90%), maupun responden yang bermukim di luar Jawa (93%).
Menurut responden, mereka mengikuti kampanye melalui televisi (53%), browsing di situs-situs berita online (12%), Facebook (10%), YouTube (10 %), tatap muka langsung dengan kandidat (5%), Twitter (3%), dan media cetak seperti koran dan majalah (3%).
Ani juga melihat hal seperti yang digambarkan oleh survei tersebut, bahwa wanita kini tidak lagi apatis. Mereka mengikuti dan mencari tahu, tidak saja calon-calon yang bertarung dalam kontes pilkada, tetapi juga program-programnya apa. Maklum, mereka yang akan terdampak dari policy program-program dari kandidat yang terpilih. “Ini satu kemajuan sebetulnya. Bila dulu seperti memilih kucing dalam karung, kini keterbukaan informasi memungkinkan pemilih untuk mengetahui seperti apa sebenarnya para kandidat tersebut,” tutur Ani. (f)
Baca Juga:
Efektivitas Debat Pilkada untuk Tingkatkan Partisipasi Pemilih
Pertimbangkan 4 Hal Penting Ini Sebelum Anda Memilih di Pilkada!
Topic
#pilkada, #pilkadaserentak, #pilkadaserentak2018, #suaraandaberharga, #pilkada2018