Trending Topic
Pertimbangkan 4 Hal Penting Ini Sebelum Anda Memilih di Pilkada!

9 Feb 2017


Foto: 123RF
 
Satu hal lain yang menarik dalam dinamika wanita adalah isu gender dalam politik dan pemilu. Dalam buku berjudul Demokrasi di Indonesia, Sebuah Survei Pemilih Indonesia 2003, terbitan The Asia Foundation (2004), ditemukan fakta, meski sebagian besar pemilih (60%) menganggap wanita sebagai kelompok yang penting dalam politik, hanya 46% yang benar-benar bersedia memilih wanita bila wanita bertarung (dalam hal ini sebagai calon legislatif).

Meski begitu, calon yang mengusung isu-isu berbasis gender secara terbuka dalam program mereka ternyata tidak efektif bagi pemilih wanita di Indonesia (54%). Angka yang tak jauh berbeda dari pemilih pria (52%).

Meski begitu, survei menemukan bahwa ‘isu-isu wanita’ tetap berpotensi digunakan untuk mendulang suara yang besar dalam pemilu. Baik pria maupun wanita pemilih mengakui bahwa pendekatan yang menarik terhadap isu-isu itu –ketimbang menonjolkan aspek identitas gender-- sangat mungkin bisa meraih suara yang banyak.

Apakah isu-isu wanita itu? Di antaranya adalah pendidikan lanjutan untuk wanita, keluarga berencana, pinjaman uang untuk usaha bagi wanita, mendengarkan apa yang diinginkan wanita, menentang KDRT, lapangan kerja yang lebih banyak untuk wanita, dan hukum yang setara bagi wanita. Dalam buku ini diterangkan bahwa pendidikan dan keluarga berencana menjadi dua hal yang dianggap paling penting, yang mendorong pemilih akan memilih calon yang mengusungnya.

Ani Soetjipto, dosen FISIP Universitas Indonesia, yang sudah lama bergiat dalam partisipasi wanita dalam politik mengakui, dulu kalangan aktivis yang bergiat mendorong partisipasi wanita dalam politik memang lebih senang bila ada wanita yang maju, baik sebagai calon legislatif maupun pemimpin. Maklum, dulu sangat jarang ada wanita yang bisa menjadi pejabat publik. Tentu kita masih ingat jargon: wanita pilih wanita. Diharapkan, bila kelak ia jadi pemimpin, maka bisa mementingkan program-program bagi kaumnya.

“Tapi kita lihat kemudian, ternyata enggak juga. Karena itu, saat ini sudah bergeser. Kami yang bergiat di dalam isu ini kini tidak lagi sekadar memilih wanita hanya karena jenis kelamin. Tetapi yang lebih penting, bisakah ia membawakan kepentingan kaum wanita?” tutur Ani.

Karena itu, penting bagi pemilih untuk melihat kepentingan apa yang akan di-deliver oleh pasangan calon, dan adakah rekam jejak yang pernah mereka kerjakan di masa sebelumnya yang menyentuh isu tersebut. Apakah program si calon pro terhadap kepentingan wanita.

Lalu, apa yang harus menjadi pertimbangan wanita, sebagai pemilik hak suara, sebelum memantapkan langkah menuju bilik suara? Ani menjelaskan, setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan.

Pertama adalah mencari infomasi sebanyak mungkin. Apalagi saat ini berbagai info mudah sekali ditemukan. “Namun yang harus diingat, jangan gampang menelan berbagai informasi karena banyak sekali hoax yang bertebaran di dunia maya. Bagaimanapun, media sosial bukan dunia nyata. Kenyataan riil dalam kehidupan sehari-hari itu tidak selalu sama dengan apa yang digambarkan di dunia maya. Karena itulah harus kritis, jangan gampang percaya dan asal main forward berita yang tidak jelas sumbernya,” saran Ani.

Bila melihat kiprah para buzzer di ranah politik saat ini, memang kita perlu kritis dalam mengonsumsi berita dan informasi di internet. Maklum, para buzzer itu ‘bekerja’ dengan memainkan kata-kata atau data-data yang diolah sedemikian rupa sehingga seolah-olah apa yang mereka sampaikan adalah kebenaran mutlak. Tentu, ada sebagian fakta yang benar adanya, tetapi yang perlu disadari, mereka melakukannya dengan tujuan untuk keuntungan calon yang mereka dukung.

Kedua adalah mencari bukti empiris (fakta lapangan). Memang, teknologi memungkinkan kampanye paslon cepat sekali diakses, tetapi yang lebih penting adalah melihat rekam jejak sang kandidat. “Lihat apa yang dia bisa, pesan kampanye apa yang dia sampaikan. Cari rekam jejaknya, apakah kita meyakini dia bisa bekerja atau tidak? Apakah dia hanya pintar bicara saja?”

Melihat rekam jejak di sini apakah berarti hanya akan menguntungkan calon petahana? Bagaimana dengan calon yang belum punya pengalaman? “Kita melihatnya dari tingkat kepuasan, apakah masyarakat puas dengan kinerja petahana atau tidak. Banyak, kok, petahana yang gagal maju lagi karena ternyata masyarakat tidak mau memilihnya kembali karena dinilai gagal dalam memimpin,” ujar Ani sambil mengatakan, yang belum punya pengalaman pun belum tentu tidak bisa bekerja.

Ketiga, saat ini sudah saatnya menjadi pemilih yang tidak emosional. “Janganlah jadi pemilih yang fanatik, dan jangan karena ‘pokoknya dia...,’” saran Ani. Lalu apa pertimbangannya? Apakah calon tersebut programnya menyentuh kemaslahatan orang banyak, mempertimbangkan dan mengakui adanya keberagaman mengingat masyarakat kita tidak satu agama dan satu etnis. Bila kita bicara demokrasi, maka artinya mengakui adanya keberagaman.”

 Keempat, yang tak kalah penting, adalah gunakan suara Anda. Meski hanya satu, suara Anda menentukan nasib kita selama 5 tahun mendatang. Jadi, jangan disia-siakan karena kita berarti membuang kesempatan untuk bisa menyumbang kepada perubahan yang seharusnya bisa dibuat.

Memang, terkadang bisa saja muncul penyesalan. Ternyata, setelah menang, si calon pujaan ingkar janji. Menurut Ani, hal ini bukan alasan untuk golput. “Sejelek-jeleknya hasilnya, menggunakan hak pilih lebih baik daripada tidak. Kalau kita memilih, kita punya hak untuk menggugat. Tapi, kalau kita tidak memilih, ya, tidak usah komplain-komplain, karena kita sudah tidak peduli sebelumnya,” kata Ani. Jadi, sudahkah Anda menentukan pilihan? (f)
 
Baca juga:

Efektivitas Debat Pilkada untuk Tingkatkan Partisipasi Pemilih
Tentang Passion, Sweet Bully dan Dokter Kulit Versi Ira Koesno


Topic

#Pilkada