Trending Topic
Orang Tua Harus Waspada, Radikalisme Kini Telah Menyentuh Anak-Anak

27 Apr 2017


Foto: 123RF
 
Dalam apel Kebhinekaan Lintas Iman Bela Negara di Lapangan Banteng, Jakarta, Januari lalu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siraj, menegaskan bahwa Indonesia  saat ini dalam kondisi darurat radikalisme dan terorisme. Kalau melihat kondisi belakangan, kiranya wajar Said Aqil mengutarakan kekhawatirannya. Beberapa waktu lalu misalnya, seorang siswa sekolah dasar  membuat geger karena diketahui mengirimkan surat yang mengintimidasi temannya dengan mengatakan kafir.

Berbagai foto yang beredar selama unjuk rasa terkait dugaan penodaan agama juga diikuti anak-anak, bahkan ada yang diberitakan tanpa diajak orang tuanya. Padahal, di tengah unjuk rasa itu tak sedikit diserukan kata-kata yang berisi kekerasan. Jika pikiran bayi yang baru lahir diibaratkan sebagai kertas yang polos, lalu apa peran kita hingga anak-anak kita memiliki sikap intoleran dan berpotensi melakukan tindakan radikal?
 
”Radikalisme bisa memiliki bermacam-macam latar belakang. Tetapi, yang sekarang sedang marak adalah radikalisme atas nama agama atau kelompok/suku. Di Indonesia, ini yang disebut SARA (suku, agama, ras). Di negara lain, selain agama dan ras, radikalisme juga terjadi karena masalah imigrasi,” ujar Yenny Wahid, Direktur Eksekutif Wahid Institute, organisasi riset yang mengusung pluralisme.

Seperti arti dari kata dasarnya, radikal, radikalisme selalu lekat dengan sifat merusak dan menggunakan paksaan, bahkan kekerasan, kepada orang lain. Lebih jauh, radikalisme yang  mengatasnamakan agama, menurut Yenni, adalah sikap atau tindakan yang tidak sejalan dengan dasar atau prinsip dasar kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi toleransi dan terbuka  terhadap sesama warga yang majemuk, yang keberadaannya dijamin oleh  konstitusi, atau yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan.

Radikalisme memang bukan milik satu kelompok, tapi bisa dilakukan oleh siapa pun dengan berbagai latar belakang  alasan. Radikalisme itu ada di  tiap negara dan di tiap komunitas. Kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat misalnya, menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya sikap intoleran di sana. Ini bukan tanpa alasan. Di negara adidaya itu, kelompok Klu Klux Klan (KKK) telah lama mengembuskan kebencian dan kekerasan terhadap warga non-kulit putih.

Di Prancis, ketidaksukaan dan  anti-imigran yang didengungkan oleh partai Front Nasional yang ekstrem kanan, kerap menimbulkan tindakan bullying di kalangan warga Prancis yang berasal dari negara-negara jajahan Prancis, seperti Aljazair dan Maroko. Di Myanmar dan Sri Lanka, kelompok radikal Buddha, Ma Ba Tha, dikabarkan telah beberapa tahun ini menyerang  kelompok muslim minoritas di sana.

Tindakan merusak rumah-rumah ibadah pemeluk agama lain adalah contoh tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan radikal. Upaya-upaya untuk meyakinkan dan mengajak orang lain untuk ikut dalam gerakan radikal serta menyumbang dalam bentuk materi seperti uang dan barang untuk organisasi radikal juga sudah termasuk melakukan tindakan radikal. Dengan menyumbang, berarti seseorang setuju dengan tindakan radikal yang direncanakan dan dilakukan organisasi tersebut.

Yang menyedihkan, potensi radikalisme itu kini sudah menyentuh pikiran anak-anak. “Anak PAUD saja sudah terpapar. Suatu kali saya dikabari, di Depok seorang anak umur 5-6 tahun berontak tidak mau diajak ke mal karena kata gurunya itu tempat orang kafir. Ini adalah salah satu indikasi sel-sel radikalisme sudah mulai masuk ke anak-anak. Di Sukabumi, saya tidak usah sebut  namanya, baru kelas 5 SD, SMP, dan kelas 1 SMA sudah didoktrin dan diajari membuat bom oleh Bahrun Naim, tersangka pelaku bom Thamrin 2016,” ujar Komisaris Jenderal Polisi, Drs. Suhardi Alius, M.H., Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Suhardi menambahkan, pihaknya juga menemukan seorang mahasiswa di sebuah universitas di Surabaya yang sudah terpapar paham radikalisme. “Kami melihat peran internet dan media sosial dalam menyebarkan paham radikalisme saat ini sangat besar.”

Baca juga:
Radikalisme Masuk Ke Sekolah
Menepis Jerat Radikalisme
Pelajaran dari Film Jihad Selfie, 5 Hal Yang Perlu Diwaspadai Orang Tua tentang Ancaman Radikalisme di Media Sosial

Sebuah riset dengan tema: bagaimana potensi radikalisme di kalangan aktivis rohani Islam (rohis) di sekolah-sekolah umum, yang dilakukan Wahid Institute, Mei 2016, memberi hasil yang sangat mengejutkan.

Dari 1.626 angket yang berhasil dikumpulkan dari peserta yang merupakan siswa-siswi unggulan dari sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan dalam acara Perkemahan Rohani Islam, 60% responden menyatakan siap berperang saat ini bila ada ajakan atau panggilan berjihad untuk membela umat Islam yang tertindas, misalnya di Palestina, Suriah, dan Poso. Bahkan, 68% mengatakan, akan siap berperang di masa datang, terutama setelah lulus.
 
Lebih menyedihkan lagi melihat hasil peta dukungan terhadap pelaku dan aksi terorisme di antara para siswa/siswi yang tergolong sebagai perwakilan terbaik dari sekolah masing-masing. Dari 541 responden (30%) meyakini para pelaku tindakan radikal, seperti Amrozi, Imam Samudera (terpidana mati, pelaku pengeboman di Bali 2002), dan Bahrun Naim, orang yang diduga sebagai pelaku serangan bom di Jabodetabek 2016, sebagai contoh kaum muslim yang mempraktikkan jihad sejati. Selain itu, 607 responden (37%) meyakini, Osama bin Laden mati syahid, 163 responden (10%) mendukung serangan bom Sarinah, Thamrin, 2016,  dan 96 (6%) mendukung ISIS. (f)


Topic

#Radikalisme