Foto: Pixabay
Jelang Idul Fitri tahun ini, Presiden Joko Widodo pada Selasa (21/4/2020) saat membuka ratas di Istana Presiden yang disiarkan langsung lewat akun YouTube, mengumumkan tentang larangan pemerintah bagi masyarakat untuk melakukan mudik. Sebelumnya, Jokowi hanya melarang mudik untuk aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, dan TNI-Polri.
Langkah tegas ini dilakukan Jokowi setelah melihat fakta banyaknya masyarakat yang masih memilih pulang kampung pada Lebaran tahun ini. Data Kementerian Perhubungan, sebanyak 24 persen masyarakat memutuskan tetap mudik. Sebanyak 68 persen masyarakat memutuskan tidak mudik dan 7-8 persen sudah mudik ke kampung halaman.
Hal ini dikhawatirkan akan menjadi medium penularan Covid-19 di desa-desa sebab para perantau dianggap merupakan orang yang tinggal di epicentrum virus corona di Indonesia. Penderita COVID-19 tanpa gejala, bisa saja menularkan virus lewat percikan droplet yang dikeluarkan saat bersin atau batuk. #JanganMudik dan #dirumahaja akan memutus rantai penyebaran virus penyebab pneumonia ini.
Larangan mudik yang mulai berlaku Jumat (24/04/2020) ini bila dilihat dari UU No. 6 Tahun 2018 soal Kekarantinaan Kesehatan, dalam pasar 93 disebutkan ada hukuman kurungan paling lama satu tahun dan denda maksimal hingga Rp 100 juta.
Berkumpul bersama keluarga dan kerabat di hari Lebaran tentu menjadi dambaan semua orang. Oleh karena itu, mudik atau pulang kampung menjelang hari raya Idul Fitri sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia.
Pulang kampung tidak hanya untuk merayakan hari kemenangan secara bersama-sama, tapi juga menjadi moment melepas rindu setelah tidak bertemu selama setahun atau bertahun-tahun. Di balik itu, mudik juga ikut menggairahkan ekonomi masyarakat di daerah.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan RI, pada masa Lebaran tahun 2019 lalu, sekitar 14,9 juta orang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) melakukan mudik. Tujuan utama para pemudik adalah Jawa Tengah dengan jumlah pemudik mencapai 5,61 juta orang, Jawa Barat 3,7 juta orang, dan Jawa Timur 1,66 juta orang.
Tentunya di tengah pandemi COVID-19 ini perpindahan penduduk antar kota yang masif akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan pula pada penyebaran virus ini. Apalagi Jakarta, mayoritas pemudik berasal, merupakan pusat atau epicentrum pandemi COVID-19 di Indonesia dengan angka pasien positif COVID-19 per Rabu (15/04/2020) telah tembus angka 2.447 orang. Sayangnya, meski pemerintah telah memberikan himbauan untuk #dirumanaja dan #janganmudik, faktanya sejak Maret 2020 - jauh sebelum hari raya Idul Fitri - ratusan ribu orang memilih untuk mudik lebih awal.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 dr. Achmad Yurianto yang akrab disapa Yuri mengatakan bahwa diperkirakan ada ratusan ribu orang dari Jakarta dan sekitarnya yang telah memilih mudik lebih awal. Dampaknya mulai terlihat dari jumlah pasien COVID-19 yang terdeksi di berbagai daerah. “Beberapa kasus positif di daerah, diduga ditularkan oleh mereka yang baru pulang dari kota,” ujar Yuri. Hingga Jumat (17/4/2020), data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menyebutkan sudah 34 provinsi di Indonesia terpapar virus corona baru ini.
Segencar apapun larangan mudik disampaikan berbagai pihak, tampaknya masyarakat kita sulit untuk meninggalkan tradisi ini sesaat. Sebagai bukti, hasil survei dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Persepsi Masyarakat terhadap Mobilitas dan Transportasi yang dilakukan secara daring lewat media sosial pada 28-30 Maret 2020 terhadap 3.853 responden menunjukkan bahwa sebanyak 43,78 persen responden memilih untuk tetap mudik pada hari Raya Idul Fitri mendatang. Artinya, bila berpedoman pada jumlah pemudik tahun 2019, maka jumlah pemudik tahun ini masih cukup tinggi.
Masalahnya, Jabodetabek adalah hot spot penyebaran virus corona karena tingginya interaksi dan kontak antar-manusia. Ketika warga Jabodetabek pulang kampung, maka sangat berisiko menjadi agen penular (spreader) virus di keluarga dan lingkungan sekitarnya.
“Sangat besar kemungkinan mereka yang melakukan perjalanan mudik bisa tertular dan menularkan virus. Ini pula yang menyebabkan semakin meluasnya penyebaran COVID-19. Karena COVID-19 merupakan penyakit yang faktor pembawa penyakitnya adalah manusia. Oleh karena itu, yang harus betul-betul dikendalikan adalah mobilitas manusia,” jelas Yuri.
Jika berpedoman dari jumlah pemudik dari Jabodetabek tahun lalu, coba bayangkan dampaknya bila ada tiga persen saja yang positif. Mereka ini lah yang akan menyebarkan virus ke daerah baru.
Apapun jenis transportasi yang digunakan untuk mudik, menurut Yuri memiliki faktor risiko yang sama besar. Bagi pengguna angkutan umum, misalnya, bisa terjangkit virus saat di terminal, bandara, dan stasiun atau di dalam angkutan yang ditumpangi selama perjalanan walau diberlakukan physical distancing.
“Ruangan ber-AC seperti bus, kereta atau pesawat sangat mudah membuat tersebarnya virus bila ada salah satu penumpang yang sudah terjangkit virus kemudian batuk atau bersin,” ucap Yuri.
Seperti pesawat terbang, meski ada yang menyebutkan udara di pesawat terbang berubah dalam waktu cepat, tapi bukan berarti udara tersebut bersih. Saringan udara di pesawat menghisap udara segar dari luar dan mencampurnya dengan udara yang sudah ada di dalam kabin, jadi ada satu waktu dimana separuh udaranya segar dan sebagian lagi tidak. Artinya bisa saja virus itu tetap ada di dalam pesawat. Begitu pula bagi pengguna kendaraan pribadi. Mereka juga rentan terjangkit virus dan menularkan kepada orang lain di kampung halaman atau tempat yang dituju. (f)
Baca Juga:
Hoax Soal COVID-19 Menambah Beban Psikologis
Ini 5 Alasan Tidak Perlu Mudik di Tengah Pandemi COVID19
Tak Ingin Keluarga di Kampung Terserang COVID19? Ini 5 Alasan untuk Tidak Mudik Saat Pandemi Virus Corona
Faunda Liswijayanti
Topic
#corona, #janganmudik, #covid19, #jokowi, #jokowidodo