Trending Topic
Menghitung Kerugian Ekonomi Indonesia Akibat Perkawinan Anak

3 Jul 2018


Foto: AFP

Data UNICEF (2018) mengungkap, setiap harinya sebanyak 41.000 anak di dunia dipaksa menikah. Apabila tidak diantisipasi, jumlah ini diperkirakan akan melonjak menjadi 150 juta di tahun 2030.
 
Indonesia saat ini berada di urutan ke-8 dari 20 negara, dengan angka perkawinan anak absolut mencapai 1.459.000. Angka ini dibawah Meksiko (1.479.000) dan di atas Republik Kongo (1.300.000). India ada di posisi puncak dengan angka 15.509.000.
 
Konsekuensi terhadap hasil perhitungan di atas tidak hanya berdampak langsung pada hilangnya keceriaan masa kanak-kanak dan masa depan mereka, tapi juga menyebabkan kerugian ekonomi besar terhadap negara!
 
“Estimasi jumlah perkawinan anak yang terjadi sejak tahun ini hingga 2030 akan menyebabkan kerugian ekonomi dunia dengan nilai mencapai US$4 triliun! Di Indonesia sendiri, setidaknya, kerugian ekonomi akibat perkawinan anak ini akan mencapai 1% di atas nilai GDP Indonesia!” ungkap CEO Plan International, Anne-Birgitte Albrectsen, dalam wawancara khusus di Jakarta, belum lama ini.
 
Sebagai bayangan, di kuartal pertama tahun 2018, GDP Indonesia berada di angka US$262.606 juta, dengan pertumbuhan per kuartal sebesar 1,2%. Bisa dibayangkan besarnya angka kehilangan ekonomi Indonesia apabila tidak ada upaya serius untuk menghapus praktik perkawinan anak di Indonesia?
 
“Kita berbicara tentang sekitar 5 juta anak perempuan Indonesia yang tidak bisa merampungkan sekolah, risiko kematian ibu melahirkan, naiknya angka morbiditas atau kesakitan (fisik & psikis), sehingga mereka tidak bisa berkontribusi terhadap keluarga, terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap perekonomian negara. Ini akan menjadi sebuah kehilangan besar bagi Indonesia,” lanjut Anne.
 
Sejak mulai beroperasi di Indonesia tahun 1969, Plan International telah banyak melakukan usaha advokasi dalam pemenuhan hak anak dan kesetaraan anak perempuan. Di antaranya, dalam menurunkan angka perkawinan anak dan pendewasaan usia menikah perempuan di Indonesia.

 
Anne mengatakan Indonesia harus siap dengan kerugian ekonomi besar jika angka perkawinan anak terus meningkat.
(Foto: Yayasan Plan International Indonesia)
 

Pada tahun 2016, Plan International bersama Rutgers WPF Indonesia dan Aliansi Remaja Independen meluncurkan program “Yes I do”. Program ini berkomitmen untuk mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak, kehamilan remaja, dan praktik berbahaya bagi organ reproduksi perempuan.
 
Saat ini ‘Yes I Do’ menerapkan tindakan pencegahan berbasis komunitas atau KPAD (kelompok perlindungan anak desa) di Kabupaten Rembang (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat) yang angka perkawinan anaknya cukup tinggi karena norma budaya.
 
Sayangnya, sistem hukum di Indonesia sendiri membuka peluang terjadinya perkawinan usia anak. Undang-Undang Perkawinan No.1/1974 mensyaratkan usia perkawinan 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Itu pun masih bisa ditawar melalui mekanisme dispensasi nikah di bawah usia 16 tahun!
 
Usaha melakukan Judicial Review terhadap UU Perkawinan No. 1/1974 untuk mendewasakan usia pernikahan pernah dilakukan di tahun 2015, namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan risiko zina. Pada tahun 2017 lalu Koalisi 18+, termasuk di dalamnya Plan International, pernah mengusahakan kembali, dan tidak berhasil.
 
“Sembari mengupayakan perubahan di tingkat kebijakan, kami juga terus berupaya untuk membangun kesadaran terhadap bahaya perkawinan anak ini di tingkat lokal. Salah satunya melalui kebedaraan KPAD,” ungkap Budi Kurniawan, Project Manager “Yes I Do” Yayasan Plan International Indonesia, di kesempatan yang sama.
 
Salah satu kisah sukses dari gerakan “Yes I Do” ini terjadi di Kabupaten Rembang. Melalui KPAD, mereka berhasil melakukan pendekatan kepada Pengadilan Agama setempat tentang bahaya perkawinan anak. Upaya ini ditanggapi positif dengan keluarnya surat edaran pengadilan agama yang mengatur mekanisme dispensasi usia nikah.
 
“Melalui surat edaran ini, perolehan dispensasi usia menikah harus melalui mediasi, di antaranya edukasi dari KPAD terhadap orang tua dan anak terhadap berbagai konsekuensi yang harus mereka hadapi. Mereka harus mendapat surat rekomendasi dari KPAD terlebih dulu,” ungkap Budi. Melalui mekanisme ini, setidaknya mereka telah berhasil mengagalkan tiga perkawinan anak di Rembang atas keputusan pribadi dari orang tua anak.  
 
Sangat disayangkan jika perkawinan anak ini nantinya menghasilkan generasi yang lemah, yang tidak siap berkompetisi dan berkontribusi karena jeratan masalah kesehatan, kemiskinan, dan tingkat pendidikan serta kompetensi yang tidak kompetitif. Dalam kondisi ini, keuntungan dari ledakan usia produktif yang harusnya diraup Indonesia di tahun 2030 justru akan mendatangkan bencana.
 
Data statistik pengadilan agama di tahun 2014 mengungkap bahwa 2/3 dari 11.765 dispensasi pernikahan di bawah usia 16 tahun berakhir dengan perceraian!
 
Bisa dibayangkan, tanpa pendidikan yang memadai, rata-rata hanya berusia SMP atau SD, mereka tidak dibekali dengan wawasan dan kompetensi untuk berkompetisi di dunia kerja. Alhasil, di banyak daerah, Plan Internasional menyaksikan tidak sedikit dari ibu-ibu muda ini yang terjerat praktik pelacuran untuk menghidupi anak-anaknya.
 
Anne kembali mengingatkan bahwa Indonesia menjadi salah satu dari negara di dunia yang menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak PBB (26 Januari 1990). Ini merupakan konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak.
 
“Salah satu dari komitmennya adalah untuk memastikan bahwa sistem hukum nasional tidak memperbolehkan perkawinan di bawah usia 18 tahun. Indonesia adalah salah satu dari negara yang mendatangani konvensi hak anak ini. Sehingga ada obligasi untuk mematuhi konvensi tersebut,” tegas Anne. (f)


Baca Juga:

Anak Butuh Sekolah Bukan Menikah
Fakta: 11.765 Anak Menikah di Bawah Umur


Topic

#perkawinananak