Dok. Pexels
Gaung kesetaraan gender telah menginspirasi banyak wanita untuk berani berekspresi dan memecahkan langit-langit kaca. Namun kita tak dapat menutup mata, karena masih banyak di antara kita yang menganggap sesama wanita sebagai ancaman yang perlu dilawan. Alih-alih merasa harus saling sikut menyikut, bisakah kita saling berpegangan tangan untuk menuju puncak bersama?
Shera Rindra Mayangputri, aktivis wanita yang aktif menginisiasi program edukasi kesetaraan gender, menyayangkan bahwa pertemanan yang positif antara wanita (sisterhood) di Indonesia belum terbangun dengan baik. Jika dilihat secara mayoritas, pertemanan antar wanita masih dipahami dalam bentuk ‘geng-gengan’, berkumpul untuk seru-seruan, dan banyaknya tuntutan untuk saling sama.
Misal, jika ada salah satu anggota yang tidak suka pada seseorang, maka yang lain merasa harus ikut memusuhi orang tersebut. Jika tidak, maka akan dikucilkan. Menyedihkannya, jenis pertemanan seperti ini sudah terbentuk bahkan sejak dibangku sekolah, dimana masih sering terjadi penindasan yang dilakukan oleh sekelompok siswa perempuan pada siswa lainnya.
“Entah karena persaingan, kecemburuan, senioritas atau hanya sekadar ingin merundung saja,” keluh Shera.
Pada ranah yang lebih luas, victim blaming masih banyak terjadi dan justru paling banyak dilakukan oleh sesama wanita itu sendiri.
Kecenderungan persaingan negatif memang memiliki jejak yang panjang, sehingga sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut seperti halnya membalikkan telapak tangan. Dan hal ini erat kaitannya dengan tuntutan dari standar kecantikan hingga posisi yang tersubordinasi.
“Mayoritas wanita dibesarkan dengan pola pikir bahwa ia harus cantik, cakap pada urusan domestik, atau lebih hebat dari wanita lain. Kita pun seringkali dibanding-bandingkan dengan wanita lain sedari kecil. Secara tidak sadar, terbentuklah rasa bersaing pada wanita lain, perasaan insecure, kurang percaya diri, tidak percaya pada wanita lain, dan lain sebagainya,” tutur wanita yang pernah membuat acara Embracing Positive Sisterhood pada tahun 2016 lalu ini.
Belum lagi wanita sering disuguhi dengan cerita-cerita seperti dalam film Mean Girls atau acara The Bachelor, dimana persaingan sengit yang tak jarang harus saling menjatuhkan sebagai sesuatu yang biasa atau keren. Dalam alam tak sadar akan membuat wanita untuk terus bersaing dengan sesama wanita.
Bahkan, secara naluriah membentuk diri wanita untuk terus bertahan, karena posisi yang sudah tersubordinasi dari pria, maka kita enggan untuk tersubordinasi dari wanita lainnya. Belum lagi wanita juga terbentuk untuk melihat dan menilai segala sesuatu dari sisi luar saja.
Memang disayangkan, wanita tidak pernah diajarkan relasi antar wanita yang positif, suportif dan empati.
“Sehingga, yang menyebabkan sisterhood tidak terjadi pada banyak wanita adalah budaya kita sendiri. Dan ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi di belahan dunia lainnya,” tambah Shera. (f)
BACA JUGA :
Sejarah Kesetaraan Gender di Era Kerajaan Nusantara
Ini Bukti Feminisme Bukanlah Produk Barat
Wanita Harus Saling Dukung di Era Digital
Topic
#kesetaraangender