
Foto: Stocksnap.io
Pertengahan tahun 2015, Ike yang berprofesi sebagai pengacara di Farida Law Office mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa dirugikan dengan adanya aturan tentang kepemilikan properti. Semua berawal ketika ia mengalami pembatalan sepihak oleh pengembang saat telah membayar lunas sebuah rumah susun di Jakarta, pada tahun 2012. Alasannya, Ike menikah dengan seorang WNA dan tidak memiliki perjanjian perkawinan pisah harta, sehingga tidak bisa membeli rumah dengan status hak milik dan hak guna bangunan.
Merasa hak kewarganegaraannya dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut, wanita yang menikah pada tahun 1995 tersebut akhirnya mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 UUPA Pasal 21 Ayat (1) dan (3), serta Pasal 36 Ayat (1), dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang mengatur bahwa WNI, baik pria maupun wanita, berhak atas tanah dan mempunyai hak milik.
“Tapi persoalannya, di pasal tersebut tidak terterakan WNI yang seperti apakah yang berhak mendapatkan hak milik dan hak guna bangunan. Namun, kenapa saya, yang seorang WNI dan tetap mempertahankan kewarganegaraan meski menikah dengan seorang WNA, dianggap tidak masuk dalam penafsiran WNI menurut pasal tersebut?” ungkap Ike. Multitafsir inilah yang akhirnya membuat WNI pelaku kawin campur merasa seperti dianaktirikan.
Dalam kasus Ike (dan sering terjadi pada kasus-kasus lain), Diah Anggraini S.H., MHum, Praktisi Hukum, Notaris & PPAT, melihat, penafsiran WNI dalam pasal tersebut adalah sebagai WNI tunggal. “Hal yang dimaksud dengan WNI tunggal adalah WNI lajang, WNI yang menikah dengan WNI, atau WNI yang menikah dengan WNA, dengan perjanjian pranikah pisah harta,” jelasnya.
Berdasarkan hal tersebut, Ike membeberkan permohonan uji materi kepada MK dengan tiga poin penting di dalamnya. Pertama, pemaknaan WNI dalam pasal-pasal tersebut harus jelas WNI dengan status yang seperti apa, agar tidak terjadi kekeliruan. Kedua, aturan tentang pembuatan perjanjian perkawinan pisah harta untuk bisa dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada saat sebelum maupun saat pernikahan berlangsung. Ketiga, hak kepemilikan tanah mohon untuk tidak dimasukkan sebagai bagian dari harta bersama untuk pasangan perkawinan campuran.
“Permohonan saya itu sifatnya nasionalis, karena saya hanya menuntut kesetaraan hak sebagai WNI. Tapi, di sisi lain juga melindungi tanah Indonesia agar tidak dikuasai oleh pihak asing sejengkal tangan pun,” papar Ike.
Poin-poin permohonan tersebut ternyata didukung oleh Dirjen Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, seperti yang mereka sampaikan saat sidang pengujian UUPA dan UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi, Juli 2015 lalu. Menurutnya, memang perlu ada instrumen hukum baru yang dapat menjadi solusi untuk hal-hal yang dikeluhkan oleh para WNI yang melakukan perkawinan campuran. Mualimin juga berharap MK bisa memberikan terobosan baru perihal masalah ini.
“Setelah ada putusan MK, nantinya pemerintah perlu memikirkan langkah apa yang ditempuh agar pihak-pihak seperti yang dialami pemohon tidak terjadi dan kerugian konstitusionalnya dapat dipulihkan,” kata Mualimin, berharap MK dapat memberikan putusan seadil-adilnya. (f)