
Tidak ada satu pun orang yang ingin terus-menerus diingatkan tentang kesalahan atau pengalaman pahit di masa lalu. Sama halnya dengan mereka yang terpaksa menjalani peran sebagai ibu tunggal. Menurut Dra. Suhati Kurniawati, Psi., ibu korban pemerkosaan atau ibu yang ditinggalkan pasangan yang tidak bertanggung jawab, bisa jadi akan teringat masa lalunya yang pahit ketika melihat anaknya.
“Dalam kasus terburuk, si ibu bisa saja menumpahkan kemarahan pada si bapak atau pada situasi, kepada anaknya. Apalagi kalau si anak ternyata mirip bapaknya,” kata psikolog yang akrab dipanggil Ineke ini.
Bila kemarahan dan kesedihan yang dialami ibu tunggal terjadi sampai bertahun-tahun, anaknya bisa menjadi korban. Berdasarkan kasus-kasus yang ia tangani, Ineke melihat banyak ibu tunggal yang melampiaskan kemarahan kepada anaknya secara verbal dengan ucapan seperti, “Dasar kamu mirip bapakmu!” Atau, secara fisik, si anak dikasari, tidak diberi makan, tidak diperhatikan dan diabaikan.
Sebelum bisa menata hidup dan berjuang bersama anaknya, ibu tunggal harus bisa berdamai dengan masa lalu dan membereskan lukanya sendiri. Walau menurut Ineke sulit untuk bisa dinyatakan ‘sembuh’ total, bukan tidak mungkin wanita yang hamil di luar nikah dan menjadi ibu tunggal mengambil hikmah dari pengalaman pahitnya. “Ada juga yang setelah melewati masa-masa berat kehamilan, dikucilkan, dan sebagainya, masih menganggap anaknya sebagai berkah,” ujar Ineke.
Sementara, mereka yang menjalin ikatan kuat dengan anaknya, sebetulnya juga belum tentu bisa sepenuhnya berdamai dengan masa lalu. Sebab, ibu tunggal bisa jadi akan selalu dibayang-bayangi oleh kemungkinan anaknya suatu hari akan bertanya soal bapaknya.
Banyak ibu tunggal yang menunggu hingga anaknya sampai di usia tertentu untuk bercerita yang sebenarnya. Seperti Linggar, yang setelah putranya berusia 3 tahun meminta ayahnya, yang sudah berkeluarga lagi di AS, untuk tidak datang lagi. “Saya jelaskan bahwa saya dan ayahnya memang tidak cocok, jadi tidak bisa dipaksakan untuk hidup bersama. Saya juga mengajarkan dia untuk menghargai berbagai macam karakter dan pilihan hidup orang yang berbeda-beda,” tuturnya.
Memang tidak ada hukum yang mewajibkan seorang ibu untuk menceritakan riwayat hidupnya kepada anaknya. Tidak ada juga yang mengharuskan seorang ibu tunggal untuk memberitahukan anak tentang bapak biologisnya. Namun, dalam pandangan Ineke, kalau anaknya memang bertanya, sang ibu bertanggung jawab untuk memberitahukan kebenarannya.
Kalau sang ibu memutuskan untuk berbohong dengan alasan apa pun, tentu ada konsekuensinya. Berapa lama kebohongan itu bisa bertahan? Ineke juga berpendapat bahwa selama anak tidak bertanya-tanya dan kehidupan mereka baik-baik saja, sebaiknya masa lalu yang menyakitkan itu tidak dibuka. Tapi, mereka tetap harus siap menghadapi berbagai macam kemungkinan. “Zaman sekarang cenderung lebih sulit untuk berbohong atau menutupi kenyataan. Sebab, anak-anak kini makin kritis. Kalau penasaran, mereka tak segan bertanya atau malah mencari-cari sendiri,” ujarnya, mengingatkan.
Apa pun keputusan yang diambil ibu tunggal, Ineke menekankan pentingnya dukungan yang tak putus dari keluarga dan lingkungan untuk membantu ibu tunggal melewati masa-masa sulit, terutama dalam mengisi kekosongan peran ayah untuk anaknya. “Mengurus anak tanpa ayahnya saja sudah merupakan pekerjaan yang berat untuk seorang ibu tunggal. Mereka adalah orang-orang yang paling butuh bantuan, tapi terkadang lingkungan justru yang menghukum dan tidak bisa melupakan kesalahan mereka untuk waktu yang lama,” tutupnya.(PRIMARITA S. SMITA)