
Ilustrasi: Dok. Femina
Di masa lalu, ketika seseorang tidak puas terhadap sebuah produk atau pelayanan, maka keluhannya bisa terpampang di surat kabar. Tujuannya, keluhannya akan lebih ‘didengar’ oleh si penyedia jasa atau produsen, sekaligus menjadi perhatian (calon) konsumen yang membaca agar tak mengalami situasi yang sama.
“Dulu lebih terbatas, karena komplain hanya bisa dilayangkan lewat media pos, telepon, dan surat pembaca. Itu pun terseleksi. Tidak semua keluhan bisa ditampilkan di surat pembaca atau ditanggapi,” kata Mustafa Aqib Bintoro, Staf Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
YLKI menerima 781 pengaduan tertulis dan 1083 komplain via telepon di sepanjang tahun 2016. Sejak media sosial menggeliat, konsumen jadi punya ruang baru dan semakin mudah untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan pendapatnya lewat media sosial. "Selain untuk wadah bersosialisasi, fungsi penting lain media sosial adalah sebagai corong penyebar informasi," jelas Nukman Luthfie, pengamat media sosial.
Media sosial merupakan wadah dari jejaring pertemanan, keluarga, dan kolega. Audiensi di sana bukanlah orang asing, tetapi jejaring yang mengenal si empunya akun. Kenyataan ini membuat ‘suara-suara’ yang ditampilkan di lini masa memiliki kekuatan lebih untuk membentuk persepsi.
Bagaimanapun, word of mouth memiliki peran penting dalam hal keputusan pembelian. Terlebih, tulisan yang dibaca merupakan hasil pengalaman seseorang dalam membeli sesuatu, sehingga lebih dipercaya. Rekomendasi yang ditampilkan di lini masa oleh seorang teman atau keluarga akan jauh lebih powerful ketimbang advertorial mana pun.
Kasus Acho dan Prita sangatlah fenomenal. Curhat mereka berbalik menjadi tuduhan tindak pidana pencemaran nama baik. Sebagai konsumen, kita pun berpikir, apakah keadilan memang tidak berpihak pada konsumen?
Apakah konsumen memang sengaja dibungkam dan tidak bisa memberikan review atas pengalamannya yang buruk? Kasus Prita menuai banyak respons, memicu upaya advokasi dan perlawanan atas upaya intervensi negara terhadap kebebasan berpendapat di internet.
Jika dengan mudahnya seseorang bisa diseret ke ranah hukum hanya karena ia mengungkapkan kekecewaannya sebagai konsumen, tentu ini sudah menjadi pelecehan terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa konsumen memiliki hak keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa, serta hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Adapun yang dimaksud konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
“Jadi, perlu diingat bahwa hanya konsumen akhir, bukan perantara (yang mengonsumsi untuk kepentingan usaha), yang memenuhi syarat untuk melakukan komplain,” imbuh Mustafa.
Konsumen perantara itu misalnya pedagang online, tidak bisa komplain terhadap courier service yang mengantar barangnya terlambat ke tangan pembeli.
Rencananya, undang-undang ini akan diamandemen mengikuti perkembangan zaman. Sebab, ketika undang-undang ini dibuat, belum ada jenis usaha online. (f)
Ikuti ulasan ini di Topik #LITERASIDIGITAL dan #CERDASBERMEDIASOSIAL
Topic
#cerdasbermediasosial, #literasidigital, #gadget