Trending Topic
Kenali Modus Korban Kekerasan Berbasis Gender Online

21 Jan 2022

kekerasan seksual berbasis online
Foto: Shutterstock


Baru-baru ini, seorang mahasiswi UI berinisial NH, mendapati foto selfie-nya tersebar di media sosial seperti Instagram dan video TikTok, tanpa sepengetahuannya. Bersama foto itu terdapat informasi pribadi. Lantaran tersebarnya foto tersebut, nomor ponsel NH diteror dari nomor-nomor yang tidak dikenal. Setelah diusut, terungkap, seorang pelaku, yang berinisial RR, tak lain adalah temannya sendiri, sengaja menjual foto dan data pribadinya tersebut. Dalam kasus ini, 9 temannya lain juga turut menjadi korban. 

Apa yang dialami NH bisa disebut sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Masih ingat dengan kasus yang menimpa artis muda Adhisty Zara (18) beberapa waktu lalu? Video pribadinya yang menampakkan kemesraan dengan seorang selebgram yang ia posting khusus untuk close friend di Instagram, bocor ke publik. Zara menghadapi bully-an dari jagad maya, hingga ia sempat menutup sementara akun Instagramnya yang sudah memiliki jutaan follower
 

Memahami KBGO 

KBGO bisa dialami oleh semua orang, namun yang rentan menjadi korban adalah para wanita dan anak perempuan. Kelompok rentan lainnya adalah kaum minoritas, seperti LGBTQ, non-biner, dan kelompok terpinggirkan lainnya. 

Istilah KBG (Kekerasan Berbasis Gender) merujuk pada definisi kekerasan berbasis gender UNHCR, yakni kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Ini termasuk tindakan yang membahayakan fisik, mental, atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan, dan penghapusan kemerdekaan. Sedangkan, KBGO mengacu pada bentuk-bentuk baru kekerasan berbasis gender yang lahir sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi, serta populernya penggunaan media sosial. Saat wanita punya akses terhadap teknologi internet, maka risiko kekerasan yang dihadapi juga turut menyertai. Modus-modus kekerasan dan kejahatan siber yang terjadi pun semakin kompleks, termasuk kekerasan pada perempuan

Menurut survei  global yang dilakukan Plan International tahun 2020, yang melibatkan 14.000 responden anak perempuan dan wanita muda dari 31 negara, mengungkap, 58% responden pernah mengalami pelecehan online. Survei serupa juga dilakukan UN Women, yang melibatkan responden berusia 18-29 tahun, mengungkap, 1 dari 10 gadis muda di AS pernah mengalami pelecehan seksual online. Di Pakistan, sebanyak 40%  responden yang mengaku pernah menjadi korban. Sejak dua tahun pandemi ini, angkanya semakin meningkat, seiring penggunaan digitalisasi yang semakin massif. Di Indonesia, aduan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online ke Kompas Perempuan pada tahun 2020 terdapat 940 kasus, dari tahun 2017 yang hanya sejumlah 65 laporan kasus. 
 

Apa sajakah modus KBGO yang perlu diwaspadai? 

Internet adalah rimba belantara tanpa moral. Anda bisa dibilang korban KBGO, apabila mengalami bentuk-bentuk seperti: 

1. Pelecehan online. Konten online yang menggambarkan wanita sebagai objek seksual. 

2. Pelanggaran privasi. Data Anda tersebar tanpa persetujuan, untuk tujuan jahat. 

3. Ancaman dan kekerasan langsung. Ancaman menjadi korban perdagangan wanita online, pemerasan seksual, pencurian identitas, uang, atau properti, maupun peniruan identitas yang berakibat serangan fisik. Modus yang dilakukan pelaku seperti bujuk rayu menjadi pacar atau dinikahi, kemudian korban diminta untuk mengirimkan video atau foto pribadi. Setelah itu, korban diminta sejumlah uang dengan ancaman jika tidak mengirimkan dokumen pribadinya itu akan disebar. 

4. Stalking. Aktivitas Anda dipantau, dilacak, dan diawasi, menggunakan teknologi, baik aktivitas online dan offline. 

5. Perusakan reputasi. Membuat komentar atau postingan yang bernada menyerang, atau sengaja mencuri identitas dengan maksud mencoreng reputasi. 

 

Pentingnya Privasi Online

Efek kekerasan yang terjadi di dunia siber ini sama buruknya dengan kekerasan yang dialami di dunia nyata. Sayangnya, dari sisi perlindungan hukum masih lemah. Selain Undang-Undang ITE, kita juga berharap pemerintah bisa segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi dan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Untuk itu, sebisa mungkin kita hindari dengan menjaga betul privasi online. Menurut panduan Safenet, melindungi privasi berarti melindungi data pribadi, terlebih data sensitif, agar tidak bisa diakses siapa pun. Berikut langkah-langkah yang bisa Anda terapkan: 

1. Pisahkan akun pribadi dengan akun publik. Misalnya, pisahkan alamat email untuk keperluan yang berbeda. Ini juga bisa berlaku untuk akun-akun media sosial jika kita menggunakan secara aktif. 

2. Cek dan atur ulang pengaturan privasi. Hindari memberi tahu lokasi, nama lengkap, nomor ponsel, pada publik. Atur ulang aplikasi yang Anda berikan akses atas akun media sosial atau aplikasi percakapan Anda. Kendalikan sendiri siapa saja yang dapat mengakses data pribadi Anda.

3. Ciptakan password yang kuat dan nyalakan verifikasi login atau 2-Step Verification. Cara ini bisa menghindari risiko peretasan akun. 

4. Tidak sembarang percaya aplikasi pihak ketiga. Misalnya, sering ikutin kuis di Facebook, biasanya meminta akses akun media sosial. Aplikasi pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab bisa saja menggunakan informasi atau data pribadi yang mereka dapat dari akses tersebut secara tidak bertanggung jawab dan bisa jadi berdampak pada kehidupan Anda, baik online maupun offline.

5. Hindari berbagi lokasi pada waktu nyata (real time location sharing). Misalnya, jalan yang biasa kita lewati, atau saat kita mengunjungi lokasi tertentu, dapat menjadi informasi yang berharga bagi orang-orang yang ingin berniat jahat. 

6. Berhati-hati dengan URL yang dipendekkan. Ada potensi bahaya ketika mengklik URL yang dipendekkan, bila berasal dari akun yang tidak kita kenal. Bisa saja URL tersebut mengarahkan kita ke situs-situs berbahaya atau jahat yang dapat mencuri data pribadi kita.

7. Lakukan data detox. Tactical Tech dan Mozilla telah menyusun data detoks untuk mengecek keberadaan data diri pribadi di internet. Silakan coba inspirasi melakukan data detox dari https://datadetox.myshadow.org.

8. Jaga kerahasiaan pin atau password pada ponsel atau laptop. Bukan tidak mungkin, pelaku kekerasan berbasis gender online dan offline adalah orang-orang terdekat yang kita kenal. (f) 


Baca Juga: 
Slut Shaming, Kekerasan Pada Perempuan Lewat Bahasa
Memasuki 2022, Presiden Dorong Percepatan Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Trending Kasus NWR, Bukti Kekerasan Pada Perempuan di Indonesia Masih Rentan



Topic

#kekerasanseksual, #kekerasanonline