
Dok. Pixabay
Berdasarkan data terbaru Komnas Perempuan, kekerasan gender berbasis online (KGBO) meningkat lebih dari 40% pada tahun 2020 lalu. Di tahun 2019, tercatat ada 281 kasus. Sedangkan dalam rentang waktu 10 bulan di tahun 2020 telah terjadi 659 kasus yang dilaporkan.
Penelitian terakhir Never Okay Project juga menunjukkan bahwa sebagian besar korban berasal dari generasi muda. Bukan tanpa sebab, memang sebagian besar yang menggunakann internet adalah anak muda yang bekerja maupun belajar. Sementara dari aspek gender, sekitar 71% adalah wanita.
Kekerasan berbasis gender, baik online maupun offline, terjadi pada situasi di mana seseorang sedang mempraktikkan relasi kuasanya. Ketika seseorang berupaya menguasai orang lain, ia akan mengintimidasi orang tersebut. Yang diserang biasanya bukan hanya gender, tapi juga seksualitasnya.
Bias relasi kuasa juga sering dijadikan alat oleh pelaku KBGO dengan memanipulasi consent atau persetujuan dari korbannya, salah satunya dalam hal penyebaran konten intim non-konsensual ini. Mirisnya, para korban kekerasan seksual ini tidak memiliki Undang - Undang atau payung hukum yang dapat melindungi mereka dari kejahatan para pelaku KBGO.
Ketimpangan posisi dalam relasi seksual menyebabkan kekaburan consent (atasan-bawahan, dosen-mahasiswa, orang tua-anak), bentuk-bentuk manipulasi (janji nikah, alasan pembuktian rasa sayang), akibat yang dirasakan korban manipulasi, serta apa yang harus dilakukan saat menyadari diri dimanipulasi.
Menurut Ika Putri Dewi M.Psi, Psikolog Yayasan Pulih menyatakan banyak wanita menganggap bahwa kodrat wanita adalah untuk menuruti pria, dengan dalih mereka adalah pemimpin. Sehingga ketika terjadi sesuatu yang tidak baik, mereka memutuskan untuk tidak mengeluh dengan alasan menerima sang pria apa adanya adalah bentuk rasa sayang.
"Seringkali wanita berada dalam posisi dan situasi demikian, banyak kali timbul rasa tidak nyaman dan kebingungan serta keraguan dalam melakukan hal yang diminta oleh pasangannya terutama dalam sebuah relasi seksual. Namun wanita dikondisikan, dimanipulasi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan pasangannya semata. Padahal dalam sebuah relasi, yang namanya cinta tidak akan mungkin terasa manipulatif bagi salah satu pihak," tutur Ika. (f)
BACA JUGA :
Pernikahan Anak Bukan Solusi Keluar dari Jeratan Kemiskinan
Jasa Pernikahan Dini Melanggar UU Perlindungan Anak
RUU PKS Kembali Masuk Prolegnas DPR 2021, Berikut Pentingnya Segera Sahkan RUU Ini
Topic
#kekerasan, #kekerasanseksual