Trending Topic
Kasus Nikah Muda Alvin Faiz, Benarkah Soal Mencari Jati Diri? Ini Kata Para Pakar

21 Sep 2016


Foto: Fotosearch

Bulan Agustus lalu, hashtag #nikahmuda bergulir lebih deras di linimasa media sosial. Begitu juga jika Anda mengetik kata kunci ‘nikah muda’ di kolom pencarian Google. Kurang dari 1 detik, sekitar 3.840.000 hasil pencarian akan muncul di hadapan Anda.

Pada halaman pertama pencarian, Anda akan menemukan nama Alvin Faiz (17) dan Larissa Chou (20), serta ayah Alvin, ustaz Arifin Ilham, bersama dengan berita-berita berjudul nikah muda atau nikah dini. Alvin dan Larissa pun makin laris diundang menjadi pembicara di berbagai forum diskusi nikah muda, termasuk di beberapa sekolah.

Ya, tidak sedikit yang menganggap pernikahan mereka sebagai kabar gembira, bahkan solusi untuk menjawab kegalauan cinta. Namun, di sisi lain, berita-berita mengenai pernikahan mereka terasa seperti ganjalan di tengah upaya banyak pihak untuk mengurangi dan menghapuskan tingkat perkawinan anak di Indonesia. Mengapa demikian?

Saya memilih jalan halal demi menyalurkan fitrah/nafsu di jalan yang halal, bahkan menghasilkan pahala dan ridho Allah #nikahmuda.” Begitu tulis Alvin pada salah satu post di Instagram-nya yang diikuti oleh 409.000 followers. Tidak butuh waktu lama, post itu dihujani 39.900 likes, diikuti 2.735 komentar yang pro maupun kontra. Di antara ribuan komentar itu, bahkan ada followers yang menulis, “Mending nikah muda... daripada pacaran... nambah dosa….

Alvin berteguh bahwa kehidupan pernikahannya yang disebarkan melalui #nikahmuda serta dakwah dan forum diskusi itu tidak dimaksudkan untuk memotivasi anak-anak dan remaja agar segera menikah seperti dirinya. Meski begitu, menurut Iklilah Muzayyanah, S.Th.I., M.Si., pakar gender dan Agama Islam, Kepala Pusat Riset Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia, seseorang dalam posisi seperti Alvin perlu menyadari bahwa kata-katanya memiliki daya provokasi. Sebab, ia menggunakan sudut pandang agama saat berbicara mengenai topik pernikahan. Terlebih lagi, ia adalah anak dari seorang tokoh agama yang cukup populer di layar kaca Indonesia. “Mayoritas masyarakat Indonesia yang multikultural ini masih sangat mendengarkan suara atau pendapat tokoh-tokoh agama,” ujar Iklilah.
 
Kekhawatiran Iklilah sebenarnya sudah tergambar dalam pemikiran Émile Durkheim, filsuf dan sosiolog yang hidup pada tahun  1858-1917, yang menyebutkan agama sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Agama juga berfungsi sebagai penguat solidaritas sosial, bukan sekadar diyakini dalam hati.

Menurut Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., psikolog dari Yayasan Pulih, fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial itulah yang dapat berdampak cukup kuat pada anak-anak yang sedang dalam pertumbuhan dan pencarian jati diri. Menunjukkan solidaritas untuk diterima dalam suatu kelompok masyarakat adalah sesuatu yang penting untuk identitas mereka. 

Pada masa pencarian jati diri, anak-anak yang beranjak remaja akan mudah sekali menyerap informasi, termasuk gagasan tentang perkawinan anak yang dibalut dalam label nikah muda. Contoh, ketika seorang anak mendengar seorang tokoh agama di televisi atau internet mengucapkan, “Mending nikah, daripada zina dan dosa,” kemudian anak itu juga mendengar hal serupa dari teman-teman sepermainannya. Kata zina dan dosa yang mengandung nilai-nilai keagamaan itu akan ditangkap si anak,   kemudian akan dia olah menjadi sebuah pemikiran di dalam dirinya.

“Nah, jika pemikiran tanpa definisi yang jelas itu dibiarkan berkembang tanpa bimbingan orang dewasa yang tepat, maka anak itu cenderung akan terus meyakini gagasan itu dan berisiko untuk mengambil keputusan yang salah, salah satunya keinginan untuk segera menikah. Pemikiran anak-anak pada umumnya  belum matang atau belum dewasa untuk mencerna risiko jangka panjang,” papar Gisella.

Sudut pandang berbeda disampaikan oleh Ainul Yaqin (33). Pengalamannya sebagai guru bimbingan konseling di Sekolah Cikal di Surabaya membuat Ainul meyakini bahwa kedewasaan seorang anak itu relatif, tidak selalu bergantung pada usia. “Ada beberapa murid saya yang masih berusia 15 tahun, tapi kematangan berpikirnya sudah seperti anak usia 20-an. Jadi, belum tentu anak-anak berusia belasan tahun belum siap menikah,” ungkap Ainul.

Pernikahan pada anak-anak bukan sesuatu yang paling mengkhawatirkan, Ainul menambahkan, justru kehamilan tidak direncanakan (KTD) dan perceraian pada anaklah yang harus lebih diperhatikan. Keprihatinan serupa disampaikan oleh Iin Arinta (46). Selama 26 tahun menjadi bidan di Puskesmas Cigandamekar di Kuningan, Jawa Barat, Iin menangani banyak kasus kehamilan remaja usia 13-18 tahun.

“Dari tahun ke tahun  jumlahnya  makin meningkat. Sebagai contoh, pada tahun 2012 lalu saya menangani 9 remaja perempuan berusia belasan tahun yang mengalami KTD. Pada tahun 2015, jumlahnya meningkat menjadi 12 orang. Ujung-ujungnya, banyak juga yang cerai,” ujar Iin.

Organ reproduksi anak-anak yang belum berkembang secara penuh sebenarnya belum siap untuk persetubuhan dan kehamilan. “Kondisi itu menyebabkan risiko keguguran berulang, bayi lahir cacat, kelahiran prematur, dan berat badan rendah. Sementara pada ibu yang masih berusia anak-anak, risiko depresi, anemia, kanker mulut rahim, dan perdarahan yang berujung pada kematian bisa makin meningkat,” jelas Nafsiah. (f)


Topic

#pernikahanremaja