
Dok. Unsplash
Tuntutan sosial, kehadiran media sosial hingga lingkungan sekitar yang tak mendukung memberikan tantangan ekstra keras pada para remaja era kini. Dampaknya, memengaruhi kesehatan mental para generasi muda kini yang memberikan ancaman terburuk untuk ingin bunuh diri.
Apa yang bisa kita lakukan untuk memproteksi para generasi penerus bangsa?
Mengenali tanda-tanda anak remaja memiliki keinginan untuk bunuh diri sangat terlihat samar. “Tandanya bisa tipis-tipis saja, kadang tak terlalu terlihat dengan jelas,” papar Psikolog Anak dan Keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si..
Hal ini juga diamini oleh Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, dokter spesialis kedokteran jiwa sekaligus mantan anggota DPR 2014 - 2019, yang melakukan sebuah penelitian tentang ide bunuh diri pada remaja, yang menurutnya remaja yang memiliki ide bunuh diri tak melulu muncul dengan gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan.
Terlebih lagi, kadang keluarga atau orang tua memiliki kesibukan sendiri, yang membuat tak punya energi untuk memerhatikan perubahan yang terjadi pada anak. Hal ini semakin membuat sulit untuk mendeteksi apakah seorang remaja memiliki risiko bunuh diri.
Namun Nina mengingatkan bahwa tanda-tandanya dapat terlihat dengan terjadinya perubahan pola makan, pola tidur, perilaku menjadi sedih atau murung, menarik diri, malas untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dulunya digemari, psikosomatis, hingga nilai akademis yang menurun.
“Terkadang ada juga yang menunjukan tanda seperti tulisan atau gambar di buku catatan anak yang menandakan keinginan untuk bunuh diri, seperti gambar pisau atau tulisan ‘aku ingin mati’. Ini yang penting untuk dipantau oleh orang tua atau keluarga di sekitarnya,” tambah Nina.
Biasanya, sebagian orang menganggap bahwa perubahan perilaku yang dilakukan oleh para remaja hanyalah bentuk ‘cari perhatian’. Namun menurut Nova dan Nina penting untuk orang tua dan keluarga menanggapinya dengan tepat agar tidak berakhir buruk.
Nina menyarankan untuk para orang tua yang sudah menangkap tanda-tanda adanya perubahan perilaku agar menjalin hubungan yang baik dengan anak-anak remaja ini.
“Bisa ngobrol-ngobrol atau sekadar santai-santai tanpa harus bicara hal yang serius. Hal yang penting adalah di saat mereka patah semangat, tunjukkan bahwa kita ada untuk dia,” tutur Nina.
Ditambahkan olehnya bahwa ketika sang anak sedang bercerita, jangan menghakimi ataupun menyalahkan. Karena yang dibutuhkan adalah simpati dan empati. Jangan lupa untuk menawarkan bantuan kepadanya jika ia menginginkannya.
Hal praktis lain yang perlu dilakukan adalah untuk menjauhkan benda-benda yang mungkin dipakai untuk percobaan bunuh diri. Misalnya seperti tali panjang, pisau atau benda-benda tajam dari sekitarnya. Termasuk jangan sampai anak mengunci dirinya di kamarnya.
Di sisi lain, penting bagi orang tua memiliki wawasan tentang kesehatan mental yang benar, sehingga ketika anak ada masalah bisa ditangani sedini mungkin dengan cara yang tepat. Ini juga dikemukakan oleh Nova yang mengatakan bahwa orang tua yang tahu tentang informasi tentang kesehatan mental akan meminimalisir munculnya stigma pada remaja-remaja ini.
“Ketika keadaan memburuk atau kita tidak bisa menanganinya, jangan malu untuk minta bantuan profesional. Jangan merasa karena membutuhkan bantuan profesional berarti kita tidak bisa mengurus anak sendiri,” tutur Nina mengingatkan.
Karena memang, ada fase dimana remaja tak mau bercerita pada keluarga, melainkan dengan orang-orang lain di luar lingkup tersebut. Maka dari itulah, selain meminta bantuan pada profesional, penting juga untuk mengenal atau menjalin hubungan baik dengan sahabat anak, untuk mendapatkan informasi penting terkait dengan anak.
Para remaja ini adalah generasi penerus bangsa. Penting untuk menjamin kesehatan mental mereka. Maka seharusnya, pemerintah memiliki sistem yang mampu menangani masalah ini.
Seperti saran Nova, “Kita bisa revitalisasi lagi hotline 500454 yang pernah ada di tahun 2010. Kita harus mempermudah remaja untuk mendapatkan akses informasi kesehatan jiwa. Kementerian Kesehatan seharusnya siap dengan ini dengan menyiapkan organisasi profesi, dokter jiwa, hingga psikolog,” tutur Nova. Jika perlu dilakukan pelatihan pada masyarakat tentang bagaimana menangani menghadapi masalah kesehatan mental, setidaknya dalam lingkup keluarga.
Termasuk juga di lingkungan sekolah. Masih menurut Nova, sekolah punya peranan penting untuk menjadi lingkungan ramah anak dan positif. Mulai dari menghilangkan budaya bullying sampai mengembalikan kapasitas guru BK untuk konseling perkembangan kognitif, sosial dan kepribadian siswa, bukan hanya pengembangan karier saja.
Pada intinya, semua dari kita memiliki peranan untuk menjadikan anak-anak atau adik-adik remaja kita untuk sehat secara mental. Menjauhkan mereka dari perasaan stres dan depresi yang membuat mereka merasa tak bahagia atau tak berarti. Karena anak-anak remaja ini adalah generasi penerus bangsa. (f)
BACA JUGA :
Cegah Bunuh Diri Seperti Yang Terjadi Pada Sulli Menurut Psikiater
Sulli, Aktris dan Mantan Idol Korea Diduga Bunuh Diri
Perundungan Bisa Jadi Pemicu Bunuh Diri Pada Anak
Topic
#AnakRemaja, #KesehatanMental, #BunuhDiri