Trending Topic
Indonesia Targetkan Ekonomi Digital Tumbuh Hingga Rp 4.500 Triliun di 2030

13 Dec 2021

digital economy
Foto: Shutterstock 
 

Inklusi keuangan digital yang ditunjang oleh literasi keuangan yang memadai bisa menjadi  indikator pemahaman masyarakat terhadap fasilitas maupun risiko produk dan layanan  fintech. Apalagi, fintech terbukti berkontribusi positif dan mampu membawa Indonesia  memimpin ekonomi digital di Asia Tenggara, bahkan dunia.  Hal tersebut menjadi pesan utama yang disepakati antara pemerintah dan asosial fintech dalam acara penutupanThe 3rd Indonesia Fintech Summit (IFS) 2021 di Nusa Dua,  Bali, pada Minggu (12/12/2021). 

Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dalam sambutannya mengungkapkan pentingnya upaya-upaya peningkatan  literasi, sembari mendorong peningkatan model bisnis yang ditopang oleh kebijakan yang afirmatif. “Seluruh  pemangku kebijakan, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKominfo), Bank Indonesia  (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan asosiasi-asosiasi, saya minta untuk berperan aktif dalam membantu  terciptanya kebijakan yang afirmatif. Kita ingin bersama-sama memajukan industri ekonomi dan keuangan  digital yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” ungkap Wapres.

Upaya-upaya ini tidak lain untuk menyambut perkembangan fintech di masa depan. Wapres juga mengutip  proyeksi Kementerian Perdagangan (Kemendag), bahwa sektor keuangan digital akan tumbuh delapan kali  lipat di 2030, dari sekitar Rp 600 triliun menjadi Rp 4.500 triliun. 

Sementara itu, pada sambutannya yang bertema “Innovation and Investment in Indonesia’s Digital Economy  and Finance Ecosystem (Inovasi dan Investasi dalam Ekonomi Digital dan Ekosistem Keuangan Indonesia)”, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut B. Panjaitan menyatakan bahwa tingkat inklusi  keuangan digital di Indonesia sudah berada pada indikator yang sangat baik. Sayangnya, grafik tersebut belum  ditunjang dengan tingkat literasi keuangan, yang menurut Luhut, masih sangat jauh dibanding negara tetangga  seperti Singapura dan Malaysia.  

“Berdasarkan data OJK pada 2019 Indeks Literasi Keuangan baru mencapai 38,03% dan Indeks Inklusi  Keuangan 76,19%. Angka ini berbanding jauh dari Singapura di angka 98%, Malaysia 85%, dan Thailand 82%.  Tingkat inklusi tinggi dengan literasi rendah menunjukkan potensi risiko yang begitu tinggi. Karena, meski  masyarakat memiliki akses keuangan, sebenarnya mereka tidak memahami fungsi dan risikonya. Peningkatan  literasi menjadi kunci agar tingkat inklusi yang sudah terjadi bisa berdampak lebih produktif dengan risiko minim. Inilah yang jadi pekerjaan kita bersama, antara pemerintah dan asosiasi,” ungkap Luhut. 

IFS 2021 yang digelar selama dua hari berhasil mengumpulkan lebih dari 80 pembicara nasional dan global. Permaisuri Belanda, Queen Maxima, yang juga adalah Advokat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Keuangan Inklusif untuk Pembangunan dalam pidatonya yang berjudul “Digital Finance Innovation Role in Increasing Global Financial Inclusion (Peran  Inovasi Keuangan Digital dalam Meningkatkan Inklusi Keuangan Global)”, menekankan, pentingnya peran pemerintah untuk mengembangkan visi untuk masa depan dunia digital,  termasuk mengidentifikasi tata kelola yang dibutuhkan dan infrastruktur yang dibutuhkan. 

“Memberikan  infrastruktur yang terstandardisasi akan sangat mendukung sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).  Salah satunya yang telah dilakukan di Indonesia dengan inovasi QRIS (Quick Response Code Indonesian  Standard) yang diluncurkan di 2019,” ujar Queen Maxima. 

Namun, ia juga mengingatkan para pelaku fintech di Indonesia agar berhati-hati pula seiring dengan makin  majunya inovasi teknologi. “Teknologi yang maju, misalnya dengan kehadiran super-app, akan makin  meningkatkan celah risiko. Para pemangku kepentingan harus terus memantaunya dengan memanfaatkan  kemajuan teknologi untuk memitigasi risiko yang ada. Antisipasi-antisipasi terhadap risiko ini dapat  dilakukan dengan kolaborasi erat bersama asosiasi yang kuat, seperti yang telah dimiliki di Indonesia,”  tambahnya. Ia pun yakin sektor keuangan digital di Indonesia akan semakin tumbuh dan  menyediakan inklusivitas bagi masyarakat, termasuk pula UMKM.  

Bicara tentang peran fintech bagi UMKM, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengungkapkan, BI bersinergi dengan  Pemerintah serta para pelaku usaha mendorong upaya digitalisasi UMKM secara end-to-end di berbagai aspek,  antara lain dari sisi produksi untuk meningkatkan produktivitas, memperluas akses pemasaran melalui  onboarding, dan memanfaatkan transaksi pembayaran digital untuk menciptakan UMKM yang berdaya saing  dan berkelas, melalui QRIS yang saat ini telah mencapai 13,4 juta merchant di seluruh Indonesia, dengan 95%  merupakan UMKM. 

“Bank Indonesia juga telah menyusun kerangka kerja Kebijakan Pengembangan UMKM BI yang bertujuan  mendorong UMKM Indonesia agar memiliki daya saing, salah satunya adalah melalui program UMKM go digital.  Selain itu, Bank Indonesia juga telah memiliki beberapa detail program digitalisasi UMKM yang disusun secara  end-to-end untuk mengakselerasi inisiatif Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI),” ungkap Destry pada Fintech Visionary Talk II di IFS 2021. 

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Nurhaida mengungkapkan, sebagai regulator, OJK  telah menginisiasi akselerasi Transformasi Digital Sektor Jasa Keuangan, yang tertuang dalam Master Plan  Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) 2021-2024 dan Roadmap & Action Plan Inovasi Sektor Jasa  Keuangan 2020-2024.  

Sejak 2021 OJK telah menyiapkan sejumlah inisiatif strategis untuk menghadapi berbagai perkembangan dan  tantangan di sektor jasa keuangan. Salah satu yang menjadi prioritas adalah percepatan digitalisasi serta  optimalisasi ekosistem digital, dan peningkatan literasi digital. 

Nurhaida juga menyoroti perkembangan pada sektor teknologi, terutama dengan penggunaan aplikasi Big  Data, Artificial Intelligence yang memunculkan berbagai produk dan model bisnis baru, antara lain hadirnya  Bigtech, Neo Bank, Lifestyle Center dan Super-Apps.  

“Perkembangan pada sektor teknologi menyadarkan kami bahwa terdapat tiga isu utama yang perlu menjadi  perhatian regulator dalam membawa transformasi digital ke depan, yaitu integrasi, disrupsi, dan kapasitas antara fintech, regulator dan pelaku dari berbagai sektor ekonomi.” kata Nurhaida. 

Pandu Sjahrir, Ketua Umum AFTECH, menyebutkan bahwa selama Bulan Fintech Nasional yang berlangsung mulai 11 November hingga 12 Desember 2021, yang merupakan kolaborasi BI, OJK, AFTECH, AFSI, dan AFPI ini, telah berlangsung lebih dari 111 kegiatan virtual yang terdiri dari webinar,  IG Live, dan podcast dengan lebih dari satu juta partisipasi aktif masyarakat yang menonton dan mengikuti kegiatan ini. 

Pandu menilai, BFN dan IFS ini dapat menjadi titik awal yang baik untuk  memperlihatkan perkembangan digital di Indonesia menuju G20 yang akan dilangsungkan pula di Bali di 2022 mendatang. (f) 


Baca Juga: 
Paylater Jadi Metode Pembayaran Populer di E-Commerce, Cermati 4 Hal Ini
Jelang Akhir Tahun, Ini Jurus Atur Keuangan Pribadi Agar Bisa Investasi
Jurus Mengunci Hati Konsumen


Faunda Liswijayanti


Topic

#literasi, #keuangan, #bisnis