
Foto: Fotosearch
Disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dalam sidang paripurna (12/10), ternyata masih menyisakan sedikit skeptisisme. Penambahan sanksi kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual anak masih diragukan efektivitasnya.
Menurut Andi Yuliani Paris, Ketua Koordinator Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bidang Perlindungan Perempuan, Anak dan Remaja, jeratan hukuman kebiri ini dikhawatirkan akan berdampak lebih buruk pada pelaku nantinya. “Hukuman ini menimbulkan dampak traumatis berkepanjangan secara medis, psikologis, dan sosial bagi yang terkena hukuman. Dikhawatirkan, pelaku bisa saja membuat kejahatan yang lebih parah akibat efek yang dirasakan,” ungkapnya.
Baca juga:
Menurut Andi Yuliani Paris, Ketua Koordinator Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bidang Perlindungan Perempuan, Anak dan Remaja, jeratan hukuman kebiri ini dikhawatirkan akan berdampak lebih buruk pada pelaku nantinya. “Hukuman ini menimbulkan dampak traumatis berkepanjangan secara medis, psikologis, dan sosial bagi yang terkena hukuman. Dikhawatirkan, pelaku bisa saja membuat kejahatan yang lebih parah akibat efek yang dirasakan,” ungkapnya.
Baca juga:
- Ini Isi PERPPU yang Memuat Tentang Hukuman Kebiri untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak
- Pro dan Kontra Hukuman Kebiri untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak
- Hukuman Kebiri, Benarkah Solusi Tepat Menekan Angka Perkosaan?
Kekhawatiran tentang kebiri kimia ini juga memiliki alasan lain. Menurut anggota Lembaga Pengkajian Konstitusi ini, belum ada kejelasan institusi mana yang akan memutuskan seseorang harus dikebiri. Begitu pula masih mengambangnya dasar-dasar pertimbangan seseorang harus diamputasi alat vitalnya. “Belum tentu juga kedokteran mau melakukan karena negara sendiri belum menyiapkan pelaksanaan eksekusi. Intinya, pasal kebiri tidak akan berjalan optimal, jika penegak hukum tidak menjalankan fungsinya,” ucapnya, mantap.
Di sisi lain, fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) awalnya menolak, lalu menyetujui Perppu Kebiri, tapi dengan catatan, akan ada muatan pasal yang lebih baik di dalamnya. Catatan tersebut berisi bujukan agar pemerintah membuat data kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Data itu nantinya bisa digunakan untuk menilai urgensi pembentukan aturan.
Catatan lain adalah perlunya revisi UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 agar isinya lebih komprehensif. Tujuannya tidak hanya sekadar memberikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan di bawah umur, tetapi juga perhatian terhadap masa depan mereka.
Terhadap segelintir kontra yang berlanjut, meski Perppu Kebiri sudah disahkan, sebenarnya bukan berarti tidak mendukung pemberian efek jera kepada pelaku. Karena Andi sendiri menyatakan bahwa fenomena pemerkosaan massal pada anak yang mengakibatkan kematian merupakan peristiwa luar biasa yang menggambarkan kerusakan moral bangsa.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise, juga meminta semua pihak agar menaati keputusan yang telah ditetapkan. Tak terkecuali Ikatan Dokter Indonesia yang dari awal menolak menjadi eksekutor kebiri. Meski demikian, ia memastikan kementeriannya akan segera menyiapkan peraturan pemerintah untuk mekanisme pelaksanaan. Di antaranya dengan membuat aturan rehabilitasi sosial dan pemasangan chip di tubuh pelaku. Untuk pelaksanaannya akan ada koordinasi dengan Kementerian Sosial, Kesehatan, dan Kemenkum HAM.
Ia juga akan menindaklanjuti catatan revisi UU Perlindungan Anak yang dikeluarkan PKS dan Gerindra sebagai fraksi yang keberatan. Yohana berharap pelaksanaan UU ini bisa memberi efek jera dan mengurangi tingkat kekerasan seksual pada perempuan dan anak. (f)
Topic
#KekerasanSeksual