Trending Topic
Hal yang Melekat Dalam Ingatan tentang Film Pengkhianatan G30S/PKI

24 Sep 2017


Foto: Dok. Femina Group

Menjelang penghujung September ini, topik mengenai PKI kembali mengemuka. Dari ajakan pimpinan TNI AD untuk mengerahkan jajarannya di berbagai daerah untuk mengajak masyarakat kembali menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI, hingga kericuhan di gedung LBH pada acara pagelaran music bertajuk #DaruratDemokrasi pada 18 September lalu. Masalahnya, beredar berita bahwa acara tersebut membahas tentang PKI.
 
Tentu, kita yang lahir sebelum masa reformasi, masih ingat bagaimana setiap tanggal 30 September film Pengkhianatan G30S/PKI ditayangkan di stasiun televisi nasional secara masal?l. Bahkan dulu dari anak SD, SMP, SMA hingga dewasa diwajibkan untuk menyaksikan film yang digarap oleh sutradara Arifin C. Noer ini di bioskop.
 
Film yang pertama kali rilis tahun 1984 ini bercerita tentang peristiwa percobaan kudeta pada tahun 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang akrab dikenal sebagai Gerakan 30 September. Diceritakan pula bagaimana dalam kondisi kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan dibunuh, sebagai permulaan untuk kudeta melawan Presiden Soekarno yang saat itu memimpin. Mayor Jenderal Soeharto, diceritakan sebagai tokoh yang menghancurkan kudeta tersebut. Ia juga mengajak masyarakat untuk melawan komunis.
 
Ketika masa reformasi tiba tahun 1998, film ini kemudian berhenti ditayangkan karena berbagai alasan. Kini, dua dekade berselang, film ini masih menimbulkan kontroversi, dengan kedua belah pihak yang pro dan kontra dengan alasan masing-masing.
 
Di balik kontroversi film G30S/PKI, bagi generasi yang menonton film ini tentu ada kesan tersendiri. Lima sahabat femina berbagi pengalaman mereka menonton film G30S/PKI, bagaimana dengan Anda?
 
“SD kelas 3 adalah pertama kali saya menonton film Pengkhianatan G30S/PKI yang ditayangkan di sekolah. Masih ingat saat itu saya nonton bersama teman-teman sekelas. Usai menonton sebenarnya tak ada kesan apapun, maklumlah masih kecil, jadi tidak mengerti apa-apa. Tapi beranjak dewasa, saya justru cenderung tidak percaya dengan apa yang digambarkan dalam film tersebut. Keluarga saya juga termasuk yang tidak yakin bahwa apakah benar PKI seburuk yang diceritakan. Apalagi ayah saya juga mengajarkan saya untuk kritis dengan membaca buku-buku sejarah. Setelah dewasa film ini justru terkesan lucu, karena ternyata banyak hal yang janggal.” Aditya Putri, Penulis.
 
“Dulu pernah sekali nonton saat masih TK. Saya ikut nonton karena saat itu orang tua juga sedang menontonnya di televisi. Tapi, yang teringat adalah apa yang dijelaskan oleh guru tentang PKI, bahwa jenderal-jenderal dibunuh PKI dan dibuang di Lubang Buaya. Dan sebagai anak kecil, saya sempat percaya hal itu selama bertahun-tahun. Baru setelah era reformasi, saya mulai dapat banyak informasi penyeimbang. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa film tersebut seperti alat propaganda, karena tidak melihat dari dua sisi. Tapi, sayangnya seperti itulah sejarah, selalu ‘ditulis oleh pihak yang menang’.” Wulan Kusuma, Jurnalis Olahraga.
 
“Waktu kecil, setiap tahun wajib nonton di sekolah. Padahal jujur saja saya takut setiap kali menontonnya. Tapi setelah besar, saya malah nonton ulang film tersebut beberapa kali. Saat itulah saya menyadari bahwa film ini sarat dengan kekerasan dan kesadisan, tapi harus ditonton anak kecil berulang kali. Nggak heran kalau kemudian banyak orang menganggap film ini sebagai propaganda pemimpin yang sedang berkuasa.” Sarwina, Karyawan Swasta.
 
“Setiap selesai nonton film ini, pasti besoknya ada tugas dari guru untuk menceritakan ulang. Karena penasaran, saya selalu bertanya pada ibu soal PKI. Namun, ibu mengingatkan untuk tidak bicara sembarangan tentang PKI, karena takut diculik. Dulu, saya memahami PKI sebagai sekelompok orang kejam yang menghabisi apapun yang menghalangi misi mereka. Tapi kini saya justru penasaran, adakah sudut pandang lain tentang sejarah ini? Apa yang sebenarnya terjadi?” Bintang Angkasa, PR.
 
“Karena tinggal di pulau Nias, penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI dilakukan dengan menggunakan layar tancap yang dipasang di lapangan area kantor Kecamatan. Tapi pernah juga beberapa kali sebelum masa reformasi tahun 1998, saya menonton ulang film tersebut di televisi. Walau PKI digambarkan sebagai kelompok yang kejam, kami sekampung saat itu tidak takut sama sekali. Bahkan, kami punya tetangga yang diduga PKI, tapi kami tidak membencinya sama sekali.” Desiyusman Mendrofa, Jurnalis. (f)
 
 


Topic

#G30S/PKI, #filmindonesia