
Foto: Fotosearch
Yang menarik, dalam pertemuan tersebut, tiap tokoh partai dijamu dalam acara makan yang menunya ditentukan langsung oleh Presiden. Semua makanan yang disajikan dipilih berdasarkan kesukaan para pemimpin partai tersebut, seperti diungkap Kepala Biro Pengelolaan Istana Sekretariat Presiden dan Pelaksana Tugas Kepala Bagian Jamuan, Darmastuti Nugroho, kepada Tempo, seperti dilansir tempo.co (22 November 2016).
Melihat reaksi para pemimpin partai yang dijamu oleh Presiden, tidak ada kesan kecewa dari para tamu. Sepertinya, ini satu langkah yang dilakukan Presiden untuk menggalang saling pengertian diantara para pemimpin politik penting Indonesia. Presiden Jokowi berhasil menjadikan jamuan makan sebagai media untuk saling mengenal lebih baik sambil berdiplomasi untuk urusan-urusan bersama.
Sebenarnya, mengundang makan sudah menjadi kebiasaan Presiden Jokowi sejak masih menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga berlanjut ketika ia menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ketika akan merelokasi pedagang di Pasar Triwindu, Solo, Jokowi menggunakan strategi ‘lobi meja makan’ dengan mengundang para koordinator paguyuban pedagang Pasar Triwindu makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas Wali Kota Solo.
Di pertemuan pertama tersebut, Jokowi sama sekali tidak membicarakan soal rencana relokasi. Setelah makan, semua orang pulang dengan heran. Beberapa hari kemudian mereka kembali diundang untuk makan siang.
Selama tujuh bulan Jokowi mengajak para pedagang makan siang bersama. Hingga di jamuan ke-54, ketika semua pedagang datang untuk makan siang, Jokowi menyampaikan rencana relokasi tersebut. Saat itu, tidak ada pedagang yang membantah, mereka menerima rencana tersebut. Relokasi Pasar Triwindu pun berjalan aman, tanpa perlu buldoser dan kawalan satuan polisi pamong praja (satpol PP).
Terkesan humanis, apa yang dilakukan Presiden ini sebenarnya banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh politik di dunia. Menurut Indra Ketaren, Pendiri dan Presiden Indonesia Gastronomy Association (IGA), inilah yang dikenal dengan istilah diplomasi lewat makanan atau gastro-diplomasi.
“Gastro-diplomasi adalah sarana interaksi untuk mengomunikasikan ide-ide atau informasi dalam kepentingan mengakses tokoh atau elite politik di luar jalur birokrasi yang kaku,” ujar Indra.
L. Morgan, Master of Arts (Gastronomy) dari School of History and Politics Adelaide, The University of Adelaide and Le Cordon Bleu dalam bukunya, Diplomacy Gastronomy: Style and Power at The Table, memperkenalkan istilah gastro-diplomasi sebagai simbol dari kekuatan makan diplomatik. Dalam hal ini makanan sebagai media untuk berinteraksi. Tesis ini berangkat dari pemikiran Brillat-Savarin (1970) yang mengungkap tentang makanan sebagai bagian dari pemerintah.
Dalam bahasa politik, diplomasi berarti strategi, taktik, dan siasat untuk melakukan pengorganisasian lobi dan negosiasi dalam menyelesaikan perbedaan atau menyamakan (memperkuat) persamaan posisi.
“Perjamuan makan bersama yang dilakukan dalam sebuah pertemuan diplomasi, yang dipresentasikan melalui makanan dengan keramahtamahan budayanya, merupakan simbol dari bentuk kewibawaan pemerintahan yang bersangkutan,” tambah pria yang juga mantan Diplomat Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia ini.
Pengertian serupa diungkapkan pula oleh Dr. Sri Murni, M.Kes, Sekretaris Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Menurut Murni, diplomasi makanan dapat diartikan sebagai suatu cara, taktik, strategi bernegosiasi membahas berbagai kebijakan sosial, politik, ekonomi, lingkungan, kesehatan, hubungan internasional, dan lain-lain, baik bilateral maupun multilateral melalui kuliner (yang mencakup jenis, cara memasak, cara penyajian, dan cara menyantap makanan).
Sejarah telah membuktikan bahwa makanan menjadi alat diplomasi yang baik, koneksi yang menghubungkan antarmanusia, budaya, dan masyarakat. Makanan juga menawarkan orang kesempatan untuk saling berkomunikasi dan bertukar ide serta informasi. “Sejak zaman kerajaan di Indonesia, raja-raja dahulu selalu menjamu dan memberi makanan yang terbaik kepada tamu-tamunya sebagai ungkapan penghormatan sekaligus menunjukkan kekayaan kulinernya,” ungkap Murni.
Dalam buku Warisan Kuliner Keraton Yogyakarta karya BRAy Nuraida Joyokusumo, menantu Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dijelaskan tentang secang dan beer Jawa yang merupakan minuman kesukaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Konon, secang dan beer Jawa menjadi minuman diplomasi para raja di Jawa kala kedatangan tamu asing. Ketika para tamu bersulang dengan anggur atau bir, para raja Jawa bersulang dengan minuman secang yang berwarna merah sebagai pengganti anggur merah. Sedangkan beer Jawa dipakai untuk mengganti anggur putih atau bir.
Diplomasi melalui makanan juga dilakukan oleh banyak negara. Jepang dan Cina misalnya, memiliki ritual makan bersama rekan bisnis ketika memulai suatu kerja sama bisnis dengan tujuan agar negosiasi berjalan lancar. Amerika Serikat juga memiliki kebiasaan menjamu tamu-tamu negara di White House dengan kuliner khas negari Paman Sam dan sajian makanan dari asal negara sang tamu.
“Lain lagi dengan negara-negara di Timur Tengah yang menjamu tamu-tamu negaranya dengan makanan terbaik, sebagai bentuk penghormatan sekaligus kelancaran dalam membahas suatu kebijakan,” ungkap Murni.
Dalam masyarakat, makanan adalah benda yang tak pernah bisa hilang dan bersifat komunal. Selain dikonsumsi tiap hari untuk mempertahankan hidup seseorang, makanan juga punya makna sekunder dan simbolis. Bahkan, sejak tahun 1900 makanan (boga) mulai dikaji para akademisi yang kontribusinya sangat signifikan, terutama bagi disiplin ilmu politik.
Menurut ilmu folklor dalam antropologi, makanan bukan hanya sekadar untuk dimakan atau sebagai pengisi perut. Makanan memiliki fungsi yang lebih dari itu. Setidaknya ilmu folklor mencatat ada empat fungsi makanan. Pertama, makanan sebagai simbol bahasa. Seperti sebuah senyuman yang manis, makanan diumpamakan sebagai orang yang tersenyum kepada orang lain.
Kedua, makanan sebagai pengikat hubungan kekerabatan. Pada tiap suku bangsa, selalu ada ritual makan bersama. Jika dilakukan secara periodik dan rutin, makanan bisa menjadi penguat hubungan kekerabatan dan kesukuan.
Ketiga, makanan sebagai penanda solidaritas. Dalam hal ini, kegiatan makan bersama disinyalir dapat menguatkan atau melemahkan solidaritas. Misalnya, makan bersama di antara rekan kerja bisa lebih mengakrabkan, tapi di sisi lain bisa saja seseorang menolak makan bersama untuk menghindari orang lain yang tidak disukai yang ikut hadir dalam makan bersama tersebut.
Keempat, makanan sebagai pengobat stres. Seseorang yang sedang stres bisa saja jadi enggan makan atau justru porsi makannya meningkat di luar kebiasaan sehari-hari.
Melihat fungsi makanan sebagai penanda solidaritas, tidak berlebihan jika kemudian makanan juga digunakan sebagai alat diplomasi yang cukup penting dan efektif. “Dalam bernegosiasi membahas isu-isu yang strategis, yang mungkin diprediksi akan menimbulkan ketegangan dalam pembahasannya, makanan dapat digunakan untuk mencairkan suasana, menjadi santai dan penuh keakraban,” ungkap Murni.
Lewat makanan, banyak hal bisa terjadi. Makanan bisa dipakai untuk bergaul, berbicara dengan orang lain, hingga mengenal seseorang dengan lebih baik. Sebagai media yang universal, makanan dapat mendekatkan siapa saja, dari kalangan politik, bisnis, hingga masyarakat. Makanan juga menjadi sarana untuk memperkuat sebuah hubungan.
Selain itu, secara simbolis, jamuan makan menjadi lambang dari sebuah kehormatan. Ada wibawa yang dimiliki seseorang (tokoh dan elite politik) yang membuat dirinya istimewa bila dibandingkan dengan orang lain. Bagi elite politik atau penguasa, jamuan makan bisa menjadi kendaraan untuk dapat berinteraksi dengan berbagai pihak. Tujuannya, tentu saja untuk mengubah perilaku tokoh atau elite politik lain dengan cara bernegosiasi secara halus.
Dari kacamata politik, ibarat cermin, gastro-diplomasi memungkinkan kita membaca seberapa penting elite atau tokoh tersebut di mata pemerintahan yang bersangkutan. Selain itu, makanan juga memperlihatkan sifat keramahtamahan, kekuatan, sekaligus kelembutan dalam berdiplomasi.
Menurut Murni, dengan jumlah ratusan suku bangsa yang dimiliki negara Indonesia, tentunya ada ribuan jenis kuliner tradisional. Maka, sudah selayaknya pemerintah Indonesia menggunakan makanan sebagai alat diplomasi, baik antardaerah maupun antarbangsa. “Dengan demikian, ada kebanggaan dari tiap daerah jika kuliner tradisionalnya disajikan dalam perjamuan-perjamuan nasional maupun internasional,” kata Murni.(f)
Baca juga:
Twitter Ungkap 3 Fakta Menarik tentang Debat 1 Pilkada DKI Jakarta
Wujud Politik Identitas Kini: Atribut Mode untuk Pemimpin Modis
Cukupkah UU ITE Menjadi Solusi Penyebaran Hoax dan Hate Speech?
Faunda Liswijayanti
Topic
#Pemimpin