
Foto ilustrasi: Petty Galuh
Nama Sonya Depari terus menjadi perbincangan sejak minggu kemarin. Tepatnya sejak video dirinya membentak polwan, dan mencatut nama Irjen Arman Depari beredar. Dalam sekejap dia menjadi bulan-bulanan di media sosial, salah satunya pada akun Instagramnya @sonyadepari. Berbagai komentar tidak menyenangkan bisa dibaca pada setiap postingan Sonya.
Apa yang dialami Sonya jelas mengarah pada cyberbully. Menurut Nukman Luthfie, pakar media sosial dan digital marketing, ketika banyak yang berkomentar, menghujat, dan mencaci, yang terjadi adalah bully secara massal dan viral. Yang membedakan cyberbully dari bully yang lain adalah pelaku cyberbully bisa jadi tidak menyadarinya. Padahal dengan sekali berkomentar atau sekadar nyinyir saja, dia sudah menjadi bagian dari cyberbully.
“Ada kecenderungan orang ikut mengomentari sesuatu yang dikomentari orang lain. Padahal belum tentu mengerti benar masalahnya. Ketika komentarnya banyak berupa hujatan, pemilik akun yang di-bully akan merasa diserang.”
Komentar pedas sedikit saja sudah bisa mengganggu kondisi psikis seseorang. Menurut hasil riset Vodafone dan YouGov, sebuah lembaga riset online yang berbasis di Inggris, terhadap 5.000 remaja dari 11 negara, ditemukan bahwa 1 dari 5 remaja tersebut mengaku telah mengalami cyberbullying. Bahkan setengahnya mengaku lebih takut terhadap bully di media sosial daripada di kehidupan nyata.
Jika dibiarkan terus-menerus, cyberbully berpotensi membuat seseorang nekat mengakhiri hidupnya karena mereka tidak kuasa menerima penghinaan, intimidasi dan ancaman. Sudah banyak kasus bunuh diri gara-gara cyberbully, seperti kasus Amanda Todd (Kanada), Audrie Pott (Amerika Serikat) hingga Yoga Cahyadi (Jawa Tengah).
Untuk kasus Sonya, dampaknya sudah berpengaruh pada kondisi psikis, tersirat dari tindakan Sonya yang menutup akun Instagramnya. Selain itu, melalui akun Facebooknya, kakak Sonya, Friska Ulina Sembiring Depari, mengungkapkan kesedihannya, terutama tekanan batin yang diterima ayah Sonya sebelum dia meninggal dunia.
“Buat kalian yang udah mencaci maki adek kami dari semalam.. udah puaskah kalian? apakah hidup kalian smua sudah benar? apakah di antara kalian tdk pernah melakukan kesalahan? Sekarang bapaknya meninggal dunia karena gak tahan membaca berita2 di medsos dan mendengar cacian kalian kawan2 medsos.. Selamat jalan pak tengah, ku kenal kam sosok ayah yg baik, tenang di sorga,” tulis Friska, Kamis, 7 April 2016, pukul 17.58 WIB.
Karena cyberbully dilakukan banyak orang, antara yang salah dan benar menjadi kabur. Untuk itu, seperti disebutkan Rizki Halida, dosen psikologi sosial Universitas Indonesia, perlu ada latihan dan dukungan dari lingkungan agar bisa membedakan ruang privat dan publik serta bertingkah laku sesuai ruang tempat kita berada.
Karena sebagian besar tempat kita beraktivitas dan sumber daya yang digunakan adalah milik publik, maka latihan tersebut menjadi penting. Berada di ruang publik memerlukan kontrol diri, yang berbasis kepentingan publik tentunya, bukan hanya karena takut dihukum atau terkena sanksi dari komunitas saja.
“Akun media sosial dan smartphone mungkin milik pribadi, tapi Internet punya publik. Sekali mengunggah sesuatu, akan terbaca oleh publik yang beragam dan berefek pada mereka. Di sinilah perlu kematangan untuk menyadari hal itu,” jelas Rizka. (f)
Apa yang dialami Sonya jelas mengarah pada cyberbully. Menurut Nukman Luthfie, pakar media sosial dan digital marketing, ketika banyak yang berkomentar, menghujat, dan mencaci, yang terjadi adalah bully secara massal dan viral. Yang membedakan cyberbully dari bully yang lain adalah pelaku cyberbully bisa jadi tidak menyadarinya. Padahal dengan sekali berkomentar atau sekadar nyinyir saja, dia sudah menjadi bagian dari cyberbully.
“Ada kecenderungan orang ikut mengomentari sesuatu yang dikomentari orang lain. Padahal belum tentu mengerti benar masalahnya. Ketika komentarnya banyak berupa hujatan, pemilik akun yang di-bully akan merasa diserang.”
Komentar pedas sedikit saja sudah bisa mengganggu kondisi psikis seseorang. Menurut hasil riset Vodafone dan YouGov, sebuah lembaga riset online yang berbasis di Inggris, terhadap 5.000 remaja dari 11 negara, ditemukan bahwa 1 dari 5 remaja tersebut mengaku telah mengalami cyberbullying. Bahkan setengahnya mengaku lebih takut terhadap bully di media sosial daripada di kehidupan nyata.
Jika dibiarkan terus-menerus, cyberbully berpotensi membuat seseorang nekat mengakhiri hidupnya karena mereka tidak kuasa menerima penghinaan, intimidasi dan ancaman. Sudah banyak kasus bunuh diri gara-gara cyberbully, seperti kasus Amanda Todd (Kanada), Audrie Pott (Amerika Serikat) hingga Yoga Cahyadi (Jawa Tengah).
Untuk kasus Sonya, dampaknya sudah berpengaruh pada kondisi psikis, tersirat dari tindakan Sonya yang menutup akun Instagramnya. Selain itu, melalui akun Facebooknya, kakak Sonya, Friska Ulina Sembiring Depari, mengungkapkan kesedihannya, terutama tekanan batin yang diterima ayah Sonya sebelum dia meninggal dunia.
“Buat kalian yang udah mencaci maki adek kami dari semalam.. udah puaskah kalian? apakah hidup kalian smua sudah benar? apakah di antara kalian tdk pernah melakukan kesalahan? Sekarang bapaknya meninggal dunia karena gak tahan membaca berita2 di medsos dan mendengar cacian kalian kawan2 medsos.. Selamat jalan pak tengah, ku kenal kam sosok ayah yg baik, tenang di sorga,” tulis Friska, Kamis, 7 April 2016, pukul 17.58 WIB.
Karena cyberbully dilakukan banyak orang, antara yang salah dan benar menjadi kabur. Untuk itu, seperti disebutkan Rizki Halida, dosen psikologi sosial Universitas Indonesia, perlu ada latihan dan dukungan dari lingkungan agar bisa membedakan ruang privat dan publik serta bertingkah laku sesuai ruang tempat kita berada.
Karena sebagian besar tempat kita beraktivitas dan sumber daya yang digunakan adalah milik publik, maka latihan tersebut menjadi penting. Berada di ruang publik memerlukan kontrol diri, yang berbasis kepentingan publik tentunya, bukan hanya karena takut dihukum atau terkena sanksi dari komunitas saja.
“Akun media sosial dan smartphone mungkin milik pribadi, tapi Internet punya publik. Sekali mengunggah sesuatu, akan terbaca oleh publik yang beragam dan berefek pada mereka. Di sinilah perlu kematangan untuk menyadari hal itu,” jelas Rizka. (f)
Topic
#mentalmerdeka