Trending Topic
Bebasnya Brock Turner, Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus Stanford Disambut Protes Massa

6 Sep 2016


Foto: AFP PHOTO / Santa Clara County Sheriff's Department
 
Jumat (2/9) lalu, Brock Allen Turner (21), mantan mahasiswa Universitas Stanford yang dikenakan sanksi pidana ringan atas kasus kekerasan seksual di kampusnya bebas dari penjara setelah menjalani hukuman 3 bulan kurungan dari total vonis 6 bulan penjara karena dinilai berperilaku baik.

Brock divonis 6 bulan penjara pada Maret lalu setelah terbukti sedang berusaha memerkosa korbannya, seorang mahasiswi (22) yang sedang tidak sadarkan diri pada malam tanggal 18 Januari 2015. Upaya pemerkosaan itu digagalkan oleh dua orang mahasiswa yang kebetulan lewat saat sedang bersepeda. Saat melihat ada gerakan mencurigakan di balik bak sampah, kedua mahasiswa itu langsung menghampiri dan menyelamatkan si korban.

Insiden malam itu berlangsung selama 20 menit, namun seperti kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, telah menimbulkan efek trauma psikologis pada korban. Sementara kasus itu bergulir, naskah pernyataan yang dibacakan oleh korban kasus tersebut di pengadilan sempat beredar luas lewat Buzzfeed.
Dalam pernyataan itu, sang korban dengan segenap keberaniannya memaparkan bagaimana tragedi malam itu telah mengubah drastis hidupnya. Suara hati sang korban seolah mewakili jeritan hati para penyintas kekerasan seksual di mana pun mereka berada. Ia juga menyampaikan, selain dihantui trauma, korban kekerasan seksual juga masih harus berhadapan dengan stigma dari masyarakat.

”To girls everywhere, I am with you. On nights when you feel alone, I am with you. When people doubt you or dismiss you, I am with you. I fought everyday for you. So never stop fighting, I believe you.”

Anda bisa membaca naskah lengkapnya di sini.

Meski Brock dituntut hukuman 6 tahun penjara, namun Hakim Aaron Persky hanya memberi hukuman 6 bulan penjara, dengan pertimbangan hukuman penjara akan memberikan dampak buruk pada masa depan Brock yang tadinya adalah perenang di tim kampus. Kasus Brock mengingatkan kita betapa banyaknya pelaku kasus kekerasan seksual yang hanya mendapatkan sanksi ringan, bahkan lebih banyak kasus yang tidak sampai ke ranah hukum dengan berbagai alasan. Dalam kasus Brock, ia dinilai mendapatkan perlakuan istimewa karena berkulit putih dan berasal dari keluarga berada.

Keputusan Hakim Aaron yang dianggap bias dan tidak adil memicu kemarahan publik internasional. Lebih dari satu juta orang menandatangani petisi daring yang meminta agar sang hakim dipecat. Desakan publik mendorong sang hakim mengundurkan diri dan mengajukan permohonan untuk tidak terlibat dalam kasus kriminal di masa mendatang. Mulai 6 September, Hakim Aaron hanya akan terlibat menangani kasus-kasus sipil.

Baca juga:
Waspadai Percobaan Pemerkosaan Dari Orang Terdekat

Bebasnya Brock disambut dengan protes belasan warga di depan rumah orang tuanya di Ohio, beberapa di antaranya membawa senjata. Para pelaku protes ada yang membawa tulisan yang menuntut Brock dihukum kebiri.

Kami takkan membiarkan ia melupakan perbuatannya,” kata seorang pelaku protes, seperti yang diberitakan oleh Independent.co.uk. Di Amerika Serikat (AS), hukuman kebiri kimiawi sudah dilakukan oleh beberapa negara bagian, seperti California, Florida, Montana, dan Louisiana.

Ada pula seorang ibu yang membawa anaknya menonton aksi protes tersebut. Ia mengaku sangat berang pada keluarga Brock. “Kami sengaja membawa anak ke sini untuk mengajari mereka, perbuatan jahat 20 menit yang dilakukan Brock itu bisa menghancurkan hidup seseorang selamanya,” katanya tegas.

Baca juga:
Pro dan Kontra Hukuman Kebiri untuk Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak.
Hukuman Kebiri, Benarkah Solusi Tepat Menekan Angka Perkosaan?

Setelah lima hari bebas, Brock harus melakukan perekaman data diri dan domisilinya di National Sex Offender Public Website milik pemerintah federal AS. Namanya akan tercatat sebagai pelaku kekerasan seksual dan bisa diakses oleh publik. Situs ini merupakan salah satu upaya pemerintah AS mengatur kewajiban pelaku kekerasan seksual terhadap anak untuk memberitahukan perpindahan tempat tinggal atau tempat kerjanya ke aparat penegak hukum. Hal itu diatur lewat Megan’s Law sejak 1996.

Pihak Universitas Stanford merespons kasus Brock dengan melarang minuman beralkohol di semua pesta di kampus untuk menghindari ‘perilaku berisiko tinggi’, kecuali yang dilangsungkan oleh organisasi mahasiswa atau alumni. Kebijakan baru itu tetap menuai kritik karena dianggap bukan cara tepat untuk melawan para pelaku kekerasan seksual, terutama di Amerika Serikat. Tercatat 1 dari lima wanita korban pelecehan dan kekerasan seksual mengalami serangan oleh pelaku saat berada di kampus.

Menurut Michele Dauber, profesor ilmu hukum dari Universitas Stanford, kebijakan itu justru menggambarkan pihak Stanford seolah sepakat dengan Brock Turner yang menyalahkan perbuatannya sebagai akibat buruk dari alkohol dan budaya pesta di kampus.

Kini, Brock takkan kembali ke kampusnya, Universitas Stanford dan telah masuk daftar hitam USA Swimming. Meski demikian, pemberitaan yang beredar tentang dirinya terus mengundang kritik karena dinilai terlalu menyoroti potret Brock sebagai atlet renang kampus yang bermasa depan cerah, bukannya menonjolkan adanya tindakan kekerasan seksual terhadap wanita. (f)


Topic

#KekerasanSeksual