
Kebaya, selalu dapat beradaptasi dan bertahan dengan zaman yang makin maju. Pada Masa Presiden Soekarno, Fatmawati tersohor dengan baju kurung dan kerudung putihnya. Kebaya tersebut menyiratkan daerah asal Ibu negara itu yaitu Bengkulu.
Lain lagi dengan kebaya Hartini sebagai istri keempat Bung Karno. Beliau tampak anggun menggunakan kebaya kutubaru yang dilengkapi selendang tipis tersampir di bahunya. Tak jarang ia tampil nyentrik dengan kacamata hitam.
Ibu Negara Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto turut meninggalkan jejak keanggunan. Semasa hidupnya, ia selalu tampil dengan kebaya kutubaru, selendang tipis dan melati putih yang diselipkan di gelungan.
Kini Ibu Negara Irina Jokowi juga terlihat sering berkebaya untuk acara di dalam dan luar negeri.
Kebaya memiliki makna yang dalam. Siluet simpel menyiratkan kesederhanaan wanita. Sedangkan jarit atau kain yang dikenakan bersama kebaya membuat penggunanya dapat lebih menahan diri. Ada nilai filosofi sehelai kebaya sebagai lambang kepatuhan, kehalusan, kekuatan, dan tindak tanduk seorang wanita yang harus serba lembut.
Kebaya tak pernah kalah pamor dengan gaun pendek atau panjang. Siluet kebaya menampilkan citra anggun cocok dikenakan pada berbagai acara formal.
Yang terpenting saat mengenakan kebaya adalah mengedepankan pola klasik kebaya, pilihan bahan yang prima dan selalu padankan kebaya dengan sanggul, selop, dan kain batik atau wastra Indonesia lainnya.
Kebaya mengalami perubahan sesuai budaya masyarakat setempat. Contoh, kebaya Betawi dipengaruhi beberapa negara yang pernah menduduki Batavia. Di daerah yang kental Islam, kebaya tampil lebih longgar dan panjang. Meski demikian, kebaya memiliki ciri khas: bersiluet sederhana, memiliki bukaan depan, dengan panjang bervariasi mulai dari pinggul hingga lutut.
Modifikasi kebaya berlebihan membuat penampilan tampak ‘berteriak’ yang berlawanan dengan esensi berkebaya. (f)
Topic
#trenbusana